Singkawang, detikborneo.com — Kemeriahan dan sukses terselenggaranya Gawai Dayak DAD Kota Singkawang Tahun 2025 mendapati catatan penting dari Wakil Presiden Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN), Dr. Andersius Namsi, Ph.D., mengungkapkan rasa kecewa mendalam atas ketidakhadiran unsur pimpinan DPRD Kota Singkawang dalam acara pembukaan dan penutupan Gawai Dayak Kota Singkawang 2025.
Padahal, menurut Dr. Namsi, Gawai Dayak bukan sekadar seremoni adat, melainkan simbol pengakuan, persatuan, dan eksistensi masyarakat Dayak di tengah keberagaman kota Singkawang. Apalagi, acara ini tak hanya dihadiri oleh masyarakat Dayak, tapi juga diramaikan oleh warga dari berbagai etnis yang membaur dan menikmati kemeriahan budaya bersama.

“Ini pertama kali saya hadir di Gawai Dayak Singkawang—kota di mana saya dibesarkan. Saya saksikan sendiri ribuan orang hadir setiap malam. Tapi sangat disayangkan, wakil rakyat kita justru tidak hadir. Ini menyakitkan,” ujar Dr. Namsi dengan nada kecewa.
Acara Gawai Dayak tersebut dibuka dan ditutup secara resmi oleh Wali Kota Singkawang, Ibu Tjhai Chui Mie, dan dihadiri langsung oleh Dr. Namsi bersama Ketua DAD Kota Singkawang serta jajaran pengurus lainnya.
Wapres MADN pun mengapresiasi kerja keras seluruh panitia di bawah kepemimpinan Dr. Yudha Sasmita, S.T., MT, MM, serta dukungan penuh dari DAD Kota Singkawang dan jajaran. Ia juga memberikan penghargaan atas pengamanan yang solid dari unsur TNI dan Polri, terutama Dandim dan Kapolresta bersama jajarannya, sehingga acara berlangsung aman, tertib, dan membanggakan.

Namun, ketidakhadiran pimpinan DPRD Kota Singkawang menjadi catatan serius bagi MADN.
“Kita bicara tentang budaya asli tanah ini. Kalau pimpinan legislatif kita tidak hadir, apa itu artinya bagi masyarakat adat? Ini bukan soal undangan, ini soal penghormatan. Soal kepedulian,” tegas Dr. Namsi.
Menurutnya, absennya para pimpinan DPRD menunjukkan rendahnya komitmen wakil rakyat terhadap pelestarian budaya dan nilai-nilai lokal, khususnya budaya Dayak yang merupakan bagian dari identitas Kota Singkawang itu sendiri.

“Ini keprihatinan kita bersama. DPRD seharusnya menjadi garda depan dalam merawat keberagaman dan memperkuat budaya lokal, bukan malah abai di saat yang paling penting,” tutupnya.
Kritik tajam ini diharapkan menjadi pemicu refleksi dan perbaikan dalam relasi antara pemerintah, wakil rakyat, dan masyarakat adat ke depan. Budaya bukan tontonan tahunan semata, melainkan ruh hidup masyarakat yang perlu dihormati dengan tindakan nyata. (Bajare007)





