
Jakarta, detikborneo.com – Borneo adalah Paru-paru dunia. Inilah alasan moral dan spiritual mengapa bangsa Dayak sangat kuat menjaga hutan dan habitat alami Pulau Borneo.
Berdasarkan ekskavasi situs Gua Nipah di Sarawak, Malaysia yang menunjukkan jejak keberadaan manusia sejak 40.000 tahun yang lalu, penduduk asli dan the First Nation Borneo adalah Dayak (Dayaktoday.com).
Terminologi “DAYAK” pertama kali diperkenalkan oleh Controleur Belanda di Banjarmasin, Hogendorff tahun 1757. Hogendorff menggunakan istilah “DAYAK” sebagai padanan kata Belanda “Binnenland” yang berarti: Manusia dari sini dan ditempat ini (Borneo), bukan dari mana pun!
Ada sebuah buku pelajaran berjudul Ilmoe Boemi, yang diterbitkan pada tahun 1875. Buku ini buku resmi untuk pelajaran di masa Kolonial Belanda.
Ilmoe Boemi disusun oleh L.K. Harmsen. Buku ini dicetak oleh penerbit Ogilve di Batavia, terdiri dari tujuh bab dengan total 93 halaman.
BACA JUGA : Kongres PWI 2025 Siap Digelar, Syarat Ketum dan DPT Ditetapkan
Buku Ilmoe Boemi meletakkan dasar pemahaman mengenai identitas serta suku-suku (orang asal) di kepulauan Hindia Belanda, yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda tentu tidak sembarangan dalam menerbitkan buku ajar seperti ini. Materi yang dirangkum berasal dari catatan para penjelajah dan ilmuwan. Misalnya, catatan Carl Schwaner menjadi sumber utama untuk Kalimantan, sementara tulisan Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864)—seorang ahli botani dan geografer—menjadi rujukan penting untuk Jawa dan Sumatra.
Selain itu, para pejabat Belanda seperti Controleur dan gezaghebber diwajibkan melakukan perjalanan lapangan dan menyusun laporan yang kemudian digunakan sebagai dasar pengetahuan dalam buku ini.
Penjelasan mengenai suku Dayak dalam Ilmoe Boemi disampaikan secara eksplisit dan tidak memerlukan penafsiran tambahan, karena memang ditujukan sebagai buku pelajaran.
Bab pertama buku ini membahas pengertian ilmu bumi. Bab kedua menjelaskan Kepulauan Hindia Belanda bagian timur (Asia), menyebutkan bahwa jumlah penduduk Asia pada tahun 1875 mencapai 755 juta jiwa.
Kala itu, Asia tidak hanya berada di bawah kekuasaan Belanda dan Inggris, tetapi juga Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman Empire), yang menguasai wilayah seperti Suriah, Irak, Palestina, Lebanon, Yaman, dan Hijaz (termasuk Makkah dan Madinah). Persia dan Rusia pun menguasai sebagian besar Asia Tengah.
Bab ketiga membahas pulau-pulau besar di Hindia Belanda seperti Sumatera, Djawa, dan Borneo.
Bab keempat membahas Pulau Djawa, dengan keterangan bahwa jumlah penduduk Jawa dan Madura pada tahun 1875 telah mencapai 18 juta jiwa.
Pembahasan mengenai Dayak dan Pulau Borneo terfokus dalam Bab V, dari halaman 58 hingga 68, yang dibagi ke dalam delapan pelajaran.
Pada pelajaran pertama (halaman 58), dijelaskan bahwa Borneo juga disebut sebagai Pulau Borneo (kini Kalimantan). Penduduk asli pulau ini jelas disebutkan adalah suku Dayak. Suku Dayak terdiri dari berbagai kelompok bangsa dan bahasa. Mereka tidak menganut agama formal, tetapi mempercayai adanya sumber segala kebaikan dan kejahatan.
Bab VI membahas Pulau Tjelebes (Celebes/Sulawesi), menjelaskan bahwa suku-suku asli pulau ini mencakup Bugis, Makassar, Alifuru, dan Mandar.
Bab VII membahas pulau-pulau kecil seperti Bali, Timor, Flores, Adonara, dan lain sebagainya. Bab VIII kemudian membahas Kepulauan Maluku (Molucas).
Apa yang menarik dari buku ini? Melalui pelajaran Ilmoe Boemi, disebutkan secara eksplisit bahwa penduduk pribumi satu-satunya di Pulau Borneo adalah suku Dayak. Tidak ada disebutkan pribumi lain di Borneo. Sementara itu, Melayu diakui sebagai pribumi Sumatera, dan Bugis sebagai pribumi Sulawesi.
Pada tahun 1843–1848, Carl Schwaner melakukan ekspedisi menjelajahi daerah -daerah. Schwaner mencatat secara rinci siapa yang dianggap sebagai penduduk asli dan siapa yang disebut sebagai pendatang.
Berangkat dari perdebatan yang tidak tuntas-tuntas soal definisi Tanah Dayak itu, maka kita mengupas pelajaran Ilmu Bumi dalam satu buku, disertai sumber-sumber pendukungnya (tulisan Schwaner, Hikayat Banjar, Perjanjian Raja-Raja Kalimantan dengan Belanda, dsb) bahwa Dayak adalah penduduk asli Pulau Borneo.
Borneo merupakan tanah yang diturunkan dari Surga untuk manusia Dayak. Karena itu, tanggungjawab terbesar guna menjaga Pulau Borneo dari kehancuran sebagai Paru-paru dunia terletak pada bangsa Dayak.
Karena itu, Dayak harus berani menghidupkan fungsi ritual kutukan pada para perusak Pulau Borneo sebagai bukti tanggungjawab Sorgawi. Karena hanya dengan cara supranatural saja yang mungkin bisa menghentikan para perusak tanah Borneo itu saat ini.
Salam Dayak Berdaulat
(Note: saduran dari beberapa sumber).





