26.5 C
Singkawang
More
    BerandaSastraAmji Attak: Orang Dayak Ikon Pasukan Elit Polisi

    Amji Attak: Orang Dayak Ikon Pasukan Elit Polisi

    | Penulis: Christina Lomon Lyons

    Berbagai peristiwa besar seperti Hari Bhayangkara yang diperingati hari ini dan biasanya selalu dirayakan lapangan Markas Komando (Mako) Brimob, Ksatrian Amji Attak di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

    Ketika kita akan masuk di depan penjagaan akan disambut Patung Amji Atak Tokoh Pejuang Brimob Polri gugur saat menjalankan tugas negara. Namun tidak banyak yang tahu, jika Amji Attak yang menjadi pahlawan Brimob, pasukan elit kepolisian Republik Indonesia itu adalah lelaki Dayak Anjungan, Kalimantan Barat.

    Tidak ditemukan literatur siapa Amji Attak di internet. Kiprahnya sebagai pahlawan korp Brigade Mobil sama sekali tak disebut. Jika meng-googling nama Amji Attak, yang muncul adalah kelompok komunitas keluarga besar korps Brimob Pelopor. Ada pula komunitas Keluarga Besar Amji Attak di Facebook. Tetapi tak ada sama sekali keterangan tentang sosok Amji Attak.

    Hingga awal Juli lalu Tahun 2015, Suara Borneo (Tabloid menjadi cikal bakal detikborneo.com) bertandang ke Ksatrian Brimob ini. Berikut kisah awal menelusuri jejak Amji Atak lewat Suara Borneo (Christina Lomon) atas arahan pimpinan Redaksi Lawadi Nusah mengali sejarah Pejuang Dayak.

    Suara Borneo (SB) diterima 3 orang penjaga dengan wajah tegang. Setelah memberi tahu ingin bertemu Brigadir Kepala (Bribka) Hendri Rimbun, anggota FDKJ yang tinggal di asrama tersebut, kami langsung dihalau keluar.

    “Ibu tahu ya, tidak boleh sembarang masuk ke sini (Mako Brimob), ”ujar seorang di antara mereka, namun kemudian membuka portal jaga dan mempersilahkan SB meminggirkan mobil.

    Tak lama kemudian, datang rekan Rimbun. Ia baru selesai apel jaga. Pria Dayak asal Pahuman, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat ini kemudian meminta izin pada anggota penjaga untuk memberi ijin, SB memotret patung yang berdiri tegak menghadap gerbang utama Mako Brimob. Patung dua ikon Brimob, Aiptu Amji Attak dan Aiptu Yakobus Takobi Takuda.

    “Saya bilang saja, kalian cucu Amji Attak mau ambil foto kakeknya, ”bisik Rimbun pada kami yang kemudian tak melewatkan kesempatan memotret dari berbagai sudut, termasuk berpose selfie di sana. Tercatat 33 nama anggota Menpor (Resimen Pelopor) yang gugur dalam rangka tugas Dwikora di Malaysia. Nama Ipda Amji Attak tertera paling atas di monument.

    Setelah puas mengambil gambar, Rimbun kemudian mengajak kami masuk ke komplek ksatrian (asrama) Amji Attak. Sebuah komplek tempat tinggal yang cukup nyaman di area yang sangat luas. Tidak tampak rumah-rumah berdempet sempit, gambaran asrama polisi di daerah. Tapi berdiri megah sebuah gedung tinggi bertingkat menghadap sebuah danau yang airnya bergemericik jernih. Walau ada papan bertuliskan dilarang memancing, tampak beberapa lelaki berambut cepak duduk memancing di pinggir danau. Sementara tampak beberapa anak kecil bersepeda roda tiga keluar dari depan asrama berbentuk flat itu.

    “Kalau saya meminta tinggal di luar flat. Lebih nyaman rasanya tinggal di rumah, walau kecil,” ujar Rimbun yang kemudian mengajak kami mampir ke rumahnya.

    “Maaf, mamanya anak-anak lagi menyusui di kamar,” ujar Rimbun lagi, seraya mempersilahkan kami duduk. Dua anak gadis kecilnya segera sigap menyediakan air minum dan kue kaleng bermerk Monde.

    Nyonya Rimbun baru sebulan melahirkan bayi ketiganya. ”Anak saya 3 perempuan, sudah cukup, gak mau nambah lagi,” ujar Rimbun lagi.

    Image In3
    Foto: Amji Attak

    Ia sedang bersiap-siap akan berangkat tugas ke Poso, Sulawesi Tengah, dalam waktu dekat. Selama menjadi anggota Brimob, Rimbun boleh dibilang spesialis bertugas di daerah-daerah rawan konflik. Ia pernah ditugaskan di Aceh, Timor-timur, Ambon, Papua dan tentu Kalimantan Tengah ketika sedang bergolak konflik antar etnis di sana. Kini siap ke Poso, kawasan yang juga rawan konflik sentimen agama.

    “Anggota-anggota saya, orang Dayak, Sulawesi, Ambon dan Nusa Tenggara Timur itu terkenal pemberani dan nekad-nekad,” ujar Silvanus Yulian Wenas, Komandan Korps Brimob periode 1998-1999 dan 2002-2009.

    Besar di Brimob

    SY Wenas, terakhir berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen). Pria kelahiran Minahasa, Manado,15 Juli 1952 ini adalah mantan kepala Korps Brimob Polri dua periode. Sebelumnya ia menjabat sebagai Kapolres Jakarta Selatan, kemudian Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Kalimantan Timur. Ia alumni AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Kepolisian di Sukabumi pada tahun 1974.

    Wenas mengakui, ia besar di bawah panji-panji Brimob. Sejak tamat dari Akabri Desember 1974, ia langsung ditempatkan pada korps Brimob pada tahun 1975.

    “Saya lahir di Brimob. Tamat Akabri 1974 Desember. Tahun 1975 langsung masuk latihan resimen pelopor. Yang melatih saya ya teman-teman Amji Attak itu. Dari mereka lah saya tahu termasuk sejarah kepahlawanan Amji Attak dan Tobaki,” tutur Wenas.

    Ia adalah komandan Brimbon kedua, setelah Komisaris Jenderal Polisi Dr H. Mohammad Yasin, yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri. Sejarah Brimob mencatat, pada 21 Agustus 1945, Inspektur Polisi Mohammad Yasin, Komandan Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa) Surabaya, menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai Surabaya menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan segera melakukan tindakan polisionil untuk mempertahankan kemerdekaan RI.

    Sosok kelahiran Sulawesi ini menunjukkan semangat juang dan prestasi cemerlang ketika menjalankan tugas dari Kapolri Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo untuk membentuk Brigade Mobil. Saat itu, 1946, Mohammad Jasin menjabat Kepala Kepolisian di Karesidenan Malang.

    Kesatuan yang diresmikan pada 14 November 1946 di Purwokerto ini sejak awal berdirinya berjasa mengatasi ancaman keamanan dan ketertiban seperti pada peristiwa Agresi Militer Belanda dan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, serta pengamanan jalan di wilayah Jawa Barat dari ancaman gerombolan DI/TII. Mohammad Jasin diangkat sebagai Bapak Brimob Kepolisian RI. Dan nama Muhammad Yasin, menjadi nama jalan di depan Mako Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.

    Pada saat peringatan hari ulang tahun Brimob 14 Nopember 1961, sebutan Corps Mobile Brigade (Mobrig) telah diganti oleh Presiden Soekarno dengan nama Korps Brigade Mobil (Brimob). Dan pada saat itu pula Korps Brigade Mobil Polri mendapatkan penghargaan “Nugraha Sakantijana Utama”. Karena Korps Brimob dalam jangka waktu 15 tahun sejak didirikannya dengan penuh kewaspadaan telah berbakti dan berdarma guna kepentingan tugas kepolisian. Sehingga sebagai kesatuan yang terpercaya patut menjadi tauladan yang dapat memajukan sifat-sifat kepolisian sejati (Surat Keputusan Presiden RI No. 591 tahun 1961). Dengan penghargaan ini Korps Brigade Mobil adalah satu-satunya kesatuan yang pertama mendapatkan penghargaan dari pemerintah.

    Pasukan Brimob Rangers ini kemudian mengalami perubahan nama menjadi Pelopor tahun 1961 pada masa Kapolri Soekarno Djoyonegoro. Hal ini sesuai dengan keinginan Presiden Soekarno yang menghendaki nama Indonesia bagi satuan-satuan TNI/Polri. Pada masa ini pula, Rangers/Pelopor menerima senjata yang menjadi trade mark mereka yaitu AR-15.

    Penugasan selanjutnya dari pasukan ini adalah menyusup ke Irian Barat/Papua dalam rangka menjadi bagian dari Komando Trikora. Pasukan ini berhasil mendarat di Fak-fak pada bulan Mei 1962 dan terlibat dalam pertempuran dengan Angkatan Darat Belanda. Pasukan ini juga terlibat dalam konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964. Pada masa ini pasukan Brimob-Rangers Indonesia berhadapan dengan unit elite SAS dari Inggris, termasuk Amji Attak dan rekan-rekannya di perairan Malaysia pada Maret 1965.

    Tercatat, beberapa komandan Brimob ini berasal dari Sulawesi. Termasuk yang saat ini menjabat Irjen Pol Robby Kaligis. Rekan Amji Attak, Tobaki Takuda juga berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan.

    “Nama Amji Attak dipakai karena ia paling senior di antara pasukan Brimob yang saat itu ditugaskan dalam konfrontasi Malaysia. Bayangkan mereka itu yang dulu disiapkan dari Resimen Pelopor untuk menyusup diam-diam ke Malaysia, dengan menggunakan perahu sekoci, lewat Belakang Padang, Batam. Saat sudah dekat daratan di pesisir Malaysia, mereka mendayung. Saat itulah bertemu patroli Inggris. Amji Attak dan teman-temannya gugur di laut dekat pesisir Malaysia itu,” tutur Wenas kepada SUARA BORNEO.

    Pendayung Ulung

    Amji Attak memimpin pasukannya, karena ia paling diandalkan dalam urusan mendayung perahu. Sebuah keahlian yang memang dimiliki banyak pemuda Dayak di pedalaman, yang dekat dengan kehidupan di banyak sungai di Kalbar, yang dijuluki provinsi Seribu Sungai. Amji Attak, Tobaki dan rekan-rekannya yang lain, mereka semua berjumlah 33 orang gugur di perairan laut China Selatan.

    “Model-model Amji Attak ini begitu lihat patroli, bukannya dia lari, tapi justru dia tantang, dia serang balik, ya disikat balik. Dari teman-temannya yang bercerita sama saya, Amji Attak sangat berani tapi saat itu kurang beruntung. Ada pasukan yang berhasil menyusup sampai ke dalam hutan Malaysia dan menjadi tawanan, Herman Kayun dari Jawa Barat, sekarang tinggal di Pontianak, istrinya orang Pontianak. Mereka adalah pahlawan-pahlawan dari Brimob,” tutur Wenas bangga.

    Wenas sempat dikirim ke Timor-timur ketika menghadapi referendum pada tahun 1999. Anggota-anggota yang disebut Wenas berdarah panas dari suku di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Timur, lagi-lagi menjadi andalan. Dalam peristiwa lain, Irjen Dinar yang waktu itu berpangkat Letnan Satu, Kapolsek di Rembang, Jawa Tengah, juga sempat memimpin pasukan Brimob di Los Palos, Timor Timur.

    Seperti diungkapnya kepada Christina Lomon dan Masri Sareb Putra dalam buku Jenderal Dinar dari Pabayo untuk Kejayaan Dayak, saat sebagai Kapolsek (Kepala Kepolisian Sektor) Kragan, Jawa tengah, Dinar diberangkatkan ke Timor-Timur dengan mengemban tugas sebagai Kapolsek Luro yang termasuk dalam lingkup Polres (Kepolisian Sektor) Los Palos.

    Kapolsek yang sekaligus memimpin anggota Brimob, Dinar menjadi bagian dari penugasan operasi di Timor Timur sesuai perintah Menteri Pertahanan dan Keamanan yang mengeluarkan perintah operasi tempur di Timor Timur selama tahun 1979 -1980. Bukan kebetulan jika Dinar ditunjuk memimpin Brimob, selain karena imej yang sudah terbentuk, prajurit apalagi perwira dari etnis Dayak, terkenal karena keberanian dan intuisi mereka yang tajam.

    “Selama 17 bulan saya bertugas di sana. Sungguh suatu pengalaman berharga, karena saya bertugas di daerah operasi, memimpin pasukan Brimob yang bukan berasal dari Polda (Kepolisian Daerah) tempatku semula bertugas di Jawa Tengah. Tapi berasal dari Jawa Timur. Sungguh memerlukan kesabaran dan kedewasaan bagi diriku,” cerita Dinar dalam buku yang di launching 22 Agustus 2015 itu.

    Wenas juga bertutur, anak-anak buahnya yang menurutnya rata-rata berdarah panas ini, biasanya kerap membuat keributan jika sedang berada di asrama.

    “Mereka-mereka inilah yang jadi andalah saat ditugaskan di Aceh. Kalau di asrama mereka biasanya bandel, tukang berantem kalau lagi suasana damai. Tapi kalau sedang hadapi perang seperti di Aceh, merekalah pasukan andalan. Jika ada tembakan musuh, mereka bukannya sembunyi, tapi justru berlari mengejar musuh sambil terus memberondong peluru ke arah musuh. Yang lain, lari balik sembunyi, mereka justru mengejar musuh, sehingga musuh yang lari tunggang-langgang,” cerita Wenas antusias.

    Menurut Wenas, orang-orang seperti ini harus dipimpin dengan bijak dan taktik tersendiri, sehingga mereka menjadi pasukan andalan. Tak sekadar nekad dan berani, tetapi juga dibekali dengan strategi dan perhitungan yang matang saat dalam kerusuhan dan perang.

    “Makanya jika mereka sedang berantem di asrama, mereka tidak saya hukum, tapi saya panggil dan beri nasihat. Mereka mau mendengar dan kita beri banyak kegiatan seperti olahraga,” tandas Wenas.

    Pahlawan dari Kapayakng Anjungan

    “Amji Attak, dari kampung Kapayakng, sekitar 20 km dari pasar Anjungan, kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Amji anak ke 7 dari 8 bersaudara. Orang tuanya bernama Attak,” kata Andreas Mitro atau Olon, keponakan Amji Attak kepada Lawadi Nusah, dari Suara Borneo saat investigasi pertama menelusuri jejak Ksatria Amji Atak, Adik Amji Attak, bernama Darmawi Attak, pernah menjadi kepala desa Kapayakng.

    Amji Attak, dari kampung Kapayakng, sekitar 20 km dari pasar Anjungan, kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Amji anak ke 7 dari 8 bersaudara. Orang tuanya bernama Attak.

    “Setelah Amji Attak dikabarkan wafat di medan perang, waktu itu, barang-barangnya dikirim ke Kapayangk, baju-bajunya, ada granat, sangkur dan foto yang dikirim oleh Brimob,” tutur Olon.

    Image In4
    HUT BRIMOB POLRI Tahun 2019 Bersama Komandan Brimob

    Orang tua pernah ke markas Brimob di Kelapa Dua, Jakarta, ingin mencari tahu tentang Amji Attak, tetapi kurang mendapat sambutan berarti.

    “Hanya diberi biaya pulang. Penghargaan atau santunan lain tidak pernah diberikan,” kata Olon lagi Amji Atak.

    Tidak banyak yang dapat bersaksi tentang Amji Attak. Dari yang langka itu, seorang Brimob yang berhasil menyusup ke Malaysia adalah R. Soenarjo, pensiun dengan pangkat terakhir AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi).

    “Sepengetahuan saya, Amji Attak adalah komandan pleton berpangkat letnan dua. Dia dari sekolah agen tahun 1958, dan saat itu sudah masuk Mobrig (mobil brigade),” ujar Soenarjo, saat ditemui di rumahnya di jalan Kol. Pol. Pranoto, Kelapa Dua, Depok, tak jauh dari ksatrian Amji Attak.

    Ditemani istrinya, Sri Sulastri,63 tahun, Raden Soenarjo, berbagi cerita ketika ia juga termasuk dalam pasukan Mobrig Ranger yang ditugaskan dalam konfrontasi yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia” pada era pemerintahan Presiden Soekarno.

    “Saya adalah Ranger gelombang 1. Saat itu ada 129 orang berlayar ke Natuna, berlayar dari Tanjung Pinang pada November 1964. Dua perahu berhasil masuk, termasuk saya. Tapi di hutan kami ditangkap patroli Inggris di Port Sehan. Saya ditawan, setelah disidang di pengadilan Kuala lumpur, masuk penjara di Johor selama 2 tahun 8 bulan di Port Sehan Malaysia,” cerita Soenarjo.

    Meski usianya sudah tidak muda lagi, 72 tahun, Soenarjo sangat bersemangat berbagi cerita heroiknya bersama rekan-rekannya dari pasukan Mobrig Ranger saat itu.

    “Pasukan diberangkatkan dari Pulau Berakit, sekarang namanya jadi Batam, oleh Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani. Pesan beliau ,jika bertemu tentara dengan bekas cacar air memanjang di lengan, maka itu orang Indonesia,” katanya.

    Kelompok Amji Attak masuk ke Malaysia pada Maret 1965 dengan 7 perahu mereka bergerak, dihantam dengan diberondong oleh kapal patroli Inggris. Dari pasukan Amji Attak ini berhasil lolos dari maut, seorang anggota Mobrig, Rubino.

    “Pak Rubino ini sempat jadi pelatih di Sekolah Kepolisian Nasional (SPN) di Megamendung. Tapi meninggal dalam usia tua karena stroke,” lanjut pria yang masih mengaliri darah biru dari trah ke-14 Kesultanan Amangkurat 1, Jogyakarta.

    Ia pun menjelaskan, Mobrig dulu hanya memiliki Kompi 5994.

    “Maknanya, tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94. Dan Amji Attak adalah anggota kompi 5994 dan tewas dalam pertempuran di laut. Dalam peristiwa Dwikora itu, 5perahu hancur semua,1 helikopter habis,18 orang yang mati di laut. Ada Marinir (TNI AL), Kopasgat (TNI AU) dan Menpor (Resimen Pelopor) Brimob. TNI AD hanya berjaga di perbatasan Indonesia, tak ada yang menyusup ke Malaysia,” tutur Soenarjo yang tertangkap tentara Malaysia pada 25 November 1964.

    Resimen Pelopor merupakan kesatuan khusus Brimob, yang berkualifikasi Ranger dengan keahlian pertempuran hutan, pergerakan tempur yang cepat dan kemampuan melakukan pertempuran jarak dekat. Resimen ini dibubarkan tahun 1974 setelah ikut malang melintang dalam beberapa operasi pertempuran, di antaranya dalam Operasi Trikora di Irian Barat dan Dwikora atau yang lebih dikenal dengan operasi Ganyang Malaysia.

    Pria kelahiran 5 Juni1944 ini mengenang bagaimana ia hanya mengenakan cawat (celana dalam) saat ditahan tentara Gurkha di hutan. Setelah di penjara, ia mengenakan baju tahanan berbentuk baju Koko dan celana putih. Karena ia Muslim dan rajin sholat, maka Soenarjo menjadi tawanan kesayangan kepala sipir penjara yang di Malaysia saat itu disebut Tuan Besar.

    “Saya jadi OB (office boy) di penjara. Nama sandi adalah Zakaria. Amji Attak pakai nama sandi Muhamad,” kata Soenarjo yang dipenjara hingga tahun 1967.

    Ia masih ingat, bersama tawanan lainnya pulang ke Jakarta, disambut Jenderal Soeharto di pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Selain itu, turut menjemput Rujito, Beny Moerdani, Cokropranolo dan Harmoko. Ksatrian Brimob Amji Attak sendiri sudah diresmikan pada tahun 1966.

    “Nama Amji Attak dipakai, karena ia paling senior cikal bakal pelopor Ranger dari kompi Resimen Pelopor. Mereka ini pahlawan kita semua. Dwikora membuat Malaysia, Singapura, dan Brunei merdeka,” ujar Soenarjo yang pernah menjadi anggota Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden) Soekarno pada tahun 1963.

    Saat itu Satuan Mobrig (Mobil Brigade) terdiri dari satu Batalyon dibawah pimpinan Komandan Batalyon Kolonel Pol. M. Satoto dengan tugas pokok penjaga Istana Kepresidenan baik yang berada di Bali, Jakarta dan Cipanas serta dua Detasemen Khusus Kawal Pribadi dan Kawal Kehormatan dengan tugas pokok sebagai pengawal pribadi dan keluarga Presiden dibawah pimpinan Kapten Pol. Sadiman dan Kapten Pol. Sumiran.

    Menurut Soenarjo, berdasarkan data-data yang ada di Departemen Sosial, ternyata para pejuang yang gugur dalam melaksanakan tugas Dwikora pada tahun 1964-1965, yang makamnya tersebar di Malaysia dan Singapura atau di laut, baru yang gugur di Sabah dan Serawak yang telah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Republik Indonesia. Sedangkan yang gugur di Semenanjung Malaysia dan Singapura atau di laut belum dipindahkan.

    “Dwi Komando Rakyat (Dwikora) waktu itu mempunyai kesamaan seperti Tri Komando Rakyat pada tahun 1962-1963, operasi militer merebut Irian Barat. Oleh karena itu pemerintah mengakui bagi peserta operasi berhak memperoleh tanda-tanda jasa, Satya Lencana serta piagam Veteran pembela kemerdekaan. Bagi mereka yang gugur dinyatakan sebagai pahlawan kusuma bangsa.

    Tadinya sudah dapat tempat tanah di Batam, tapi jadi komplek pendidikan intel. Pemerintah beralasan takut timbul permasalahan baru dengan Malaysia,” papar Soenarjo menyebut kendala proyek pemindahan makam para pejuang Dwikora yang gugur di laut Semenanjung Malaya dan Singapura ke Taman Makam Pahlawan di Indonesia.

    Para pejuang Dwikora yang gugur di luar Sabah dan Serawak ini terdiri dari 78 anggota militer dan 12 sukarelawan sipil di Semenanjung Malaya. Sementara di Singapura 4 anggota militer dan 20 sukarelawan sipil. Baru 2 orang anggota militer yang sudah dipindahkan ke TMP Kalibata. Dari jumlah itu, tidak termasuk yang gugur dari jatuhnya pesawat Hercules C-130 di laut.

    “Anggota Brimob masih beruntung dapat penghargaan kenaikan pangkat satu tingkat. Sementara AU dan KKO malah tidak ada penghargaan,” ujar kakek 3 cucu ini.

    Menurut Soenarjo, banyak para ahli waris karena dinilai memiliki kelemahan administrasi, tidak mendapat tunjangan veteran.

    “Ada 3 jenis Pejuang Veteran. Pertama, Veteran Pejuang 1945. Kedua, Veteran pembela kemerdekaan yaitu Trikora dan Dwikora. Dan ketiga, Veteran Pembela Perdamaian yaitu Pejuang Operasi Seroja dan tugas-tugas ke luar negeri. Baru satu tahun ini saya dapat tunjangan veteran pembela perdamaian seroja,” kata Soenarjo.

    Mewakili Ikatan Keluarga Ex-Tawanan Pejuang Dwikora, Soenarjo dan kawan-kawan masih terus berjuang mengusahakan kesejahteraan bagi keluarga pahlawan Dwikora dan ex-tawanan Dwikora.

    Saat ini dari hasil penelusuran terkait Ksatria Amji Attak Tokoh Pejuang Dayak yang bertugas di Brimob sudah di jadikan buku judulnya Amji Atak (Kisah Perjuangan Sang Bhayangkara Resimen Pelopor Korp Brimob Polri) Penulis Christina Lomon Lyons setebal 346 halaman.

    ***

    Buku Amji Atak (Kisah Perjuangan Sang Bhayangkara Resimen Pelopor Korp Brimob Polri) harga Rp 150 ribu

    Bisa dipesan di detikborneo.com

    HP 081213443841 (Adri) harga belum termasuk ongkos kirim. (Christina Lomon/ Lawadi Nusah)

    
    detikborneo.com – 01/06/2021, 14.10 WIB
    
    

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita