26 C
Singkawang
More
    BerandaSosokDyan Nuranindya: Dunia dan Karya

    Dyan Nuranindya: Dunia dan Karya

    | Penulis: Dyan Nuranindya

    Catatan Redaksi:

    Si pengarang novel beken itu pernah jadi rekan-dosen R. Masri Sareb Putra, di sebuah perguruan tinggi swasta elite di bilangan elite di Tangerang, Banten. Mereka sama-sama mengampu mata kuliah “Creative Writing”, atau penulisan kreatif.

    Masri secara khusus meminta Dyan mengisahkan proses kreatifnya mengarang. Simak selengkapnya.

    “Dealova novel perdana yang lahir tak sengaja. Setelah terbit satu, tumbuh seribu. Inilah proses kreatif dan kisah kepenulisan saya,” akunya.

    Redaksi

    Tak pernah terbayangkan di benak saya akan menjalani profesi sebagai seorang penulis. Orang tua saya bukan berasal dari dunia kepenulisan. Almarhum ayah adalah seorang wiraswasta, mantan atlet voli DKI Jakarta. Sementara ibu saya adalah ibu rumah tangga biasa. Sangat jauh dari dunia tulis menulis.

    Saya lahir di Jakarta, 14 Desember 1985 dari keluarga yang sederhana. Dari kecil saya mempunyai hobi menggambar. Saya senang bercerita melalui gambar. Berbagai perlombaan kerap saya ikuti. Bahkan beberapa kali membuat orang tua saya bangga karena membawa piala pulang ke rumah. Saya termasuk pribadi tertutup pada waktu itu. Apa yang saya lihat dan saya rasakan lebih sering saya tuangkan dalam media gambar.

    Satu hal yang saya masih ingat ketika saya kecil, hampir setiap malam menjelang tidur, ibu selalu mendongeng untuk saya. Dongeng tentang apa saja. Tapi lebih sering tentang cerita pewayangan atau legenda-legenda dari tanah Jawa. Karena ibu berasal dari Jawa. Pengetahuan ibu tentang cerita pewayangan memang patut diacungi jempol. Mungkin itu yang melatih saya dalam berimajinasi.

    Sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar, saya dibelikan buku harian.  Mungkin itu pertama kalinya saya mulai senang menulis. Saya mulai menuangkan apa yang lakukan sehari-hari ke dalam buku harian. Hingga sampai di lembar terakhir buku harian, saya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

    Saya menutup buku harian dengan sebuah pertanyaan, “Apa sih yang sudah saya tulis selama ini?”

    Saya membuka lembar pertama buku harian saya itu dan mulai membacanya. Setelah saya baca keseluruhan isi buku harian saya itu, saya menyadari kalau ternyata isi yang saya tulis di dalam buku harian itu kebanyakan adalah hal-hal yang tidak menyenangkan.

    Lalu saya berpikir, bagaimana kalau saya menulis cerita saya sendiri? Cerita yang saya inginkan. Cerita yang saya sukai.  Bagaimana kalau saya membuat dunia saya sendiri? Bagaimana kalau saya menjadi Tuhan atas dunia yang saya ciptakan sendiri?

    Lalu mulailah saya menulis novel pertama saya berdasarkan pada hal-hal yang saya inginkan. Dulu saya ingin sekali cepat mengenakan seragam putih-abu, menjadi kapten basket sekolah, memiliki kakak yang begitu sayang, hingga memiliki pacar dengan kriteria tertentu. Maka terangkumlah hal-hal yang saya sukai itu ke dalam novel pertama saya.

    Minat baca pada waktu saya SMP memang masih sangat rendah. Perpustakaan hanya dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas sekolah atau meminjam buku pelajaran. Jangankan membaca novel dari orang yang ‘sok jadi penulis’ seperti saya waktu itu. Membaca novel karya pengarang terkenal saja mereka enggan.

    Jadi ketika novel pertama saya selesai dan saya coba tawarkan ke teman-teman sekolah saya untuk membacanya, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membacanya. Bahkan ketika ada salah satu kawan yang bersedia membaca, novel itu saya temukan tergeletak begitu saja di meja kantin.

    Saat itu saya berpikir kalau memang saya tidak memiliki bakat menulis. Maka novel pertama saya itu sempat terbengkalai beberapa tahun.

    Namun ketika saya masuk SMU kelas dua, saya menemukan naskah itu kembali. Saya baca ulang, saya revisi bagian-bagian tertentu, dan saya sesuaikan cerita dengan kondisi saat itu. Ketika selesai, saya buat naskah itu layaknya novel sungguhan dengan desain sampul yang saya buat sendiri.

    Kemudian pada suatu hari, dengan percaya diri saya minta teman-teman sekolah saya membacanya. Ternyata tanggapan teman-teman saya ketika SMU itu sungguh berbeda dengan teman-teman saya sewaktu SMP. Saat itu mereka berganti-gantian membaca novel saya.  Bahkan saya ingat betul ada daftar waiting list di bagian belakang novel.

    Atas permintaan teman–teman juga, novel itu saya buat lanjutannya. Dengan semangat saya menuliskan lanjutannya di rumah. Paginya, teman-teman sudah menunggu di gerbang sekolah untuk membaca lembaran selanjutnya. Ya, mereka membaca dalam bentuk lembaran per halaman.

    Melihat banyaknya teman-teman yang membaca novel saya, selanjutnya saya berpikir untuk mencoba memasukan novel saya ke penerbit. Karena informasi yang sangat minim tentang bagaimana cara menerbitkan novel, maka saya mencoba browsing di internet. Lalu dari hasil browsing tersebut, saya berhasil mendapatkan salah satu email penerbit. Dengan keberanian penuh, saya coba mengirimkan naskah lewat email (saat ini pengiriman naskah melalui email tidak dianjurkan karena banyaknya naskah yang masuk ke penerbit).

    Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, pihak penerbit menelepon saya. Mereka menyatakan kalau naskah saya diterima dan saya diundang ke penerbit untuk membicarakan soal kontrak, desain sampul, dan editing. Kaget? Jelas. Tapi senang bukan main.

    Tanggal 26 April 2004, novel pertama saya yang saya tulis ketika SMP terbit dengan judul Dealova. Novel saya adalah novel lokal pertama yang mengusung logo teenlit di Indonesia. Tanggapan pasar sangat di luar dugaan. Novel saya berhasil cetak ulang hingga lebih dari 15 kali dengan jumlah sekali cetak sebesar 7000 – 10.000 eksemplar.

    Semenjak tahun 2004, banyak penulis-penulis remaja yang bermunculan. Penerbit-penerbit mengadakan banyak sekali lomba penulisan novel untuk menjaring penulis baru. Bahkan toko buku menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan untuk remaja. Pilihan bacaan juga semakin beragam. Penulis menjadi sebuah profesi yang menjanjikan. Beberapa media menulis kondisi tersebut sebagai sebuah fenomena.

    Melihat penjualan novel Dealova yang semakin meningkat, membuat beberapa produser menelepon saya untuk mengangkat cerita novel tersebut ke layar lebar. Maka pada tahun 2005, Dealova berhasil diangkat ke layar lebar.

    Tahun berikutnya, penerbit dari negeri seberang, Singapore dan Malaysia tertarik untuk menerbitkan novel pertama (Dealova) dan kedua saya (Rahasia Bintang) dengan bahasa Melayu. Selain itu, tahun 2007, saya mewakili Indonesia dalam International Visitor Leadership Program dari U.S Embassy ke 6 kota di Amerika Serikat untuk melihat dunia kepenulisan di sana.

    Salah satu hal yang membuat saya terkejut saat di sana adalah ketika teman-teman berkata bahwa mereka kagum dengan Indonesia karena kebanyakan penulis novel remaja di Amerika biasanya ditulis oleh orang dewasa yang berusia rata-rata di atas 30 tahun.

    Sejak novel pertama saya terbit, saya mulai mendalami dunia penulisan. Baik fiksi maupun non fiksi. Saya mulai menulis skenario untuk beberapa film, biografi tokoh, artikel, puisi, jurnal dan lain sebagainya. Saya selalu haus akan ilmu karena masih merasa belum apa-apa sebagai penulis. Saya selalu senang mendengarkan cerita dan saran para penulis-penulis senior. Karena dari membaca karya merekalah saya bisa menulis.

    Saat ini saya masih aktif diundang sebagai pembicara seminar atau workshop mengenai topik penulisan kreatif dari mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi. Saya memang senang berbagi ilmu sejauh yang saya bisa. Karena itu wujud rasa terima kasih saya kepada Tuhan yang telah memberikan saya talenta yang tak terduga di bidang kepenulisan.

    Dari menulis, saya juga berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 saya di jurusan Komunikasi Universitas Indonesia dari Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia. Alhamdulillah…

    Setiap orang punya cara masing-masing dalam menulis. Cara penulis satu, belum tentu sama dengan penulis lain. Saya pun memiliki tahapan tersendiri dalam menulis novel. Berikut tahapan yang biasa saya lakukan:

    Pertama, saya biasa menentukan target pembaca tulisan saya terlebih dahulu. Hal ini berguna untuk membuat tema tulisan yang akan diangkat. Apakah target pembaca novel saya adalah anak-anak, remaja, dewasa, atau keluarga.  Ketika tema dan target pembaca sudah ditentukan, maka judul akan lebih mudah saya dapatkan.

    Kedua, saya selalu membuat detail karakter, kerangka penulisan dan plot untuk menjaga agar tulisan yang saya buat tidak bercabang kemana-mana dan karakter yang saya tulis tetap konsisten dari awal hingga akhir cerita.

    Ketiga, saya lebih senang memulai tulisan dengan cara free writing namun harus tetap berpegangan pada kerangka penulisan dan plot yang telah dibuat. Saya selalu menulis apa yang ada di dalam kepala dulu sebelum nantinya saya perbaiki jika ada kata-kata yang tidak sesuai.

    Keempat, saya senang menulis paragraf pembuka (opening) dan penutup (ending) yang menarik terlebih dahulu. 

    Kelima, ketika naskah telah selesai saya tulis, bukan berarti novel tersebut sudah benar-benar selesai. Ada satu tahapan lagi yang biasa saya lakukan, yaitu mengedit dan merevisi naskah. Editing berkaitan dengan pembetulan aspek kebahasaan dan penulisan. Sementara revisi berkaitan dengan isi. Misalnya konflik yang datar, cerita yang tidak masuk akal, alur yang tidak terstruktur dengan baik, dan lain sebagainya.

    Sering kali dalam menulis novel, penulis mengalami kebuntuan di tengah-tengah proses menulis. Saya pun begitu. Biasanya saya memancing ide-ide baru dengan berjalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi, membaca buku atau majalah, menonton film, atau berkenalan dan mengobrol dengan orang-orang baru.

    Biasanya setelah itu ide-ide akan mengalir dengan deras. Setelah pikiran kembali segar, saya akan baca sekilas novel yang tadi sempat tertinggal, lalu kembali menulis kelanjutannya dengan ide-ide baru yang ditemukan.

    Semoga tahapan menulis yang saya bagi ini bisa bermanfaat untuk kalian yang ingin mencoba menulis novel. Tapi jangan jadikan tahapan ini sebagai patokan. Karena masing-masing penulis punya cara sendiri. Pilihlah yang menurut kalian sesuai dan jangan pernah berhenti belajar. Sampai saat ini saya pun masih belajar.

    Satu hal yang perlu diingat, ketika karya tulis kita terbit, itu artinya kita harus siap dengan berbagai tanggapan baik positif atau negatif. Karena karya tulis itu adalah bagian dari seni, punya penggemarnya masing-masing. Kita tidak bisa memaksa orang untuk menyukai karya kita semua.

    Kalau ada orang yang tidak suka dengan karya kita, itu wajar saja. Tandanya dia tidak satu selera dengan kita. Yang terpenting jangan pernah takut berkarya. Karena dengan berkarya, kita dapat membuktikan kalau kita pernah ada.

    Mari kita berkontribusi dalam meningkatkan minat dan budaya membaca dengan memberikan pilihan bacaan yang beraneka ragam bagi masyarakat. Semoga dengan begitu, taraf pendidikan di Indonesia semakin berkembang. Ayo kita terus berkarya!

    ***

    
    detikborneo.com – 03/07/2021, 08.42 WIB
    
    
    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita