28.1 C
Singkawang
More
    BerandaLumbung2 Makanan Terunik dan Ekstrim di Asia

    2 Makanan Terunik dan Ekstrim di Asia

    | Penulis: Afri ST. Padan

    1. Kimchi

    Kimchi adalah makanan tradisional khas Korea Selatan yang terbuat dari sayur-sayuran dan berbagai bumbu yang difermentasikan. Tradisi pembuatan kimchi dimulai sebagai cara untuk memfermentasi sayuran seperti kubis dengan garam dimasukkan ke dalam gentong guci tanah liat.

    Lalu di pendam di dalam tanah sebagai persediaan makanan di musim dingin. Ditandai pada saat angin dingin mulai bertiup sekitar awal bulan November sampai pertengahan bulan Desember dan bertahan sampai musim semi tiba.

    Pada awalnya Kimchi Korea ini diawetkan dengan garam, namun kemudian terbentuklah inovasi dari berbagai macam bumbu untuk mengawetkan Kimchi Korea selain garam, antara lain asinan seafood, daging dan juga cabe merah. Di zaman dulu, kimchi diucapkan sebagai chim-chae yang berarti “sayuran yang direndam”.

    Pada awalnya kimchi berwarna hijau karena pada saat itu cabai belum dikenal dikorea. Literatur tertua yang memuat tentang kimci adalah buku puisi Tiongkok berjudul Sikyeong (hangul: 시경 hanja: 詩經). Pada waktu itu, kimci disebut “Ji” sebelum nantinya dikenal sebagai “chimchae”. Asinan berwarna hijau merupakan bentuk awal kimci sewaktu cabai belum dikenal di Korea.

    Orang Korea baru mengenal cabai diabad 16 setelah pedagang portugis datang dari Jepang. Tahun 1498 kapal-kapal Portugis berlayar melewati Tanjung Harapan di Afrika hingga sampai di India. Selanjutnya cabai asal Amerika Selatan dibawa ke Asia melalui pelabuhan-pelabuhan di Afrika atau bisa juga langsung menyebrang ke Samudera Pasifik.

    2. Telu

    Telu adalah makanan khas orang dayak yang dibuat dari bahan dasar ubi atau nasi, daging babi atau ikan sungai dan garam kemudian dicampur dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat selama beberapa minggu atau bulan sampai mengeluarkan aroma yang khas tanda proses fermentasi berjalan dengan baik.

    Sebagai makanan khas orang dayaknya telu telah lama diperkenalkan oleh nenek moyang menjadi hidangan utama yang biasa dikonsumsi dalam rumah tangga maupun pada acara-acara adat.

    Pada zaman dulu kala orang dayak ada yang biasanya menyimpan telu dalam wadah dari bambu betung yang ditutup rapat ditaruh ditempat yang bersuhu agak dingin atau dapat juga menggunakan tempat penyimpanan dari jenis tong kaleng atau plastik yang biasanya digunakan para pembuatnya sekarang ini.

    Kebiasaan menyimpan makanan berupa telu pada orang Dayak ini merupakan bentuk pengetahuan pertahanan hidup. Di samping itu ada kebiasaan menyimpan daging buruan dari hutan dan tangkapan dari sungai yang di panggang di atas tempat memasak menggunakan kayu api (tetel tempat memasak tradisonal Dayak).

    Daging ditaruh pada tempat yang dibentuk untuk menaruh kayu api di atasnya dan dedengan/potongan daging model sate (narar dalam bahasa lundayehnya) dibawanya dikala tidak ada makanan atau adanya kelebihan bahan makanan berupa hasil panen padi berupa beras. Dan terutama musim perburuan babi hutan agar bahan makanan yang lebih ini tidak mubazir. Maka dibuatlah teknik fermentasi makanan yang diawetkan menggunakan garam.

    Bahan utama dalam pembuatan telu memiliki variannya tersendiri yang dapat dibedakan tujuan pembuatannya, baik untuk kebutuhan konsumsi tumah tangga maupun untuk dipasarkan.

    Untuk bahan dasar telu yang dikonsumsi dalam rumah tangga biasanya bahannya lebih simple yaitu nasi, daging babi atau ikan sungai dan garam. Sedangkan telu yang dibuat untuk dipasarkan biasanya bermacam-macam bahan campurannya seperti nasi atau ubi, daging babi atau ikan sungai, jagung tua dan garam.

    Teknik pembuatannya yang disampaikan dalam tulisan ini lebih fokus kepada telu yang dijual karena cara pembuatannya lebih rumit dibandingkan telu yang dibuat untuk kebutuhan rumah tangga. Di mana berdasarkan pengalaman seorang penjual telu yang ada di desa wisata Pulau Sapi Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau. Cara membuat telu sebagai berikut:

    1. Daging babi hutan mentah yang dipotong kecil-kecil ukurannya sesuai selera,
    2. Ubi (yang bisa dikonsumsi) dikupas lalu diiris tipis-tipis lalu dijemur sampai kering (biasanya cuaca panas 2 hari) kemudian ditumbuk/digiling kering menggunakan blender sampai menjadi tepung dan setelah itu disangrai sampai berwarna agak kecoklatan.
    3. Biji jagung (tua) digiling sampai agak halus lalu siap disangrai sampai mengeluarkan aroma jagung bakar.
    4. Garam untuk bahan pencampur rasa.

    Setelah semua bahan olahan telu berdasarkan kebutuhan ini disiapkan. Maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses pencampuran bahan-bahan. dimulai dengan mencampurkan daging yang sudah dipotong kecil-kecil dengan garam. Kemudian ditambahkan dengan tepung ubi dan jagung yang sudah disangrai secara merata.

    Terakhir adalah proses memasukan olahan telu kedalam wadah berupa tong yang ukurannya menyesuaikan dengan banyaknya telu yang dibuat kemudian ditutup rapat agar tidak mudah dimasuki oleh serangga atau udara langsung. Simpan ditempat yang teduh selama 2-3 minggu atau sampai beberapa bulan tergantung proses fermentasinya matang dengan tanda aromanya yang kuat.

    Untuk mengkonsumsi telu harus dimasak dan baiknya diatas perapian yang menggunakan kayu bakar agar mendapatkan aroma dan cita rasa yang khas agak asam dimana hal ini tergantung lidah masing-masing orang bagi yang terbiasa tidak terlalu mempermasalahkannya malah semakin merangsang nafsu makan, apalagi jika ditambah dengan bawang putih atau cabai.      

    Pada saat sekarang ini orang dayak yang masih mengkonsumsi telu umumnya dikarenakan ikatan emosional yang kuat dengan budaya Dayak. Ikatan yang terbangun oleh karena kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Dan adanya preferensi menikmatinya terutama dikalangan perempuan Dayak yang umumnya mengelola dapur.

    Sebagai makanan khas yang juga biasa diperjualbelikan saat ini pemasarannya sudah melalui sistem online karena stok yang terbatas. Dalam komunitas Dayak telu sangat digandrungi justru karena keunikan aroma dan cita rasanya yang menghasilkan sensasi tersendiri bagi penikmatnya.

    Budaya makanan khas telu ini dapat juga sebagai tanda masih melimpahnya daging binatang di hutan. Terutama daging babi dan sejenisnya serta hasil tangkapan di sungai dan pertanian. Kebiasaan memakan makanan tertentu di kalangan masyarakat pada zaman sekarang ini bukan lagi menjadi sebuah tradisi yang tabu. Dibicarakan dan dimunculkan karena berawal dari mengenal kebiasaan makan inilah kita bisa mengetahui tentang sejarah dan pengetahuan lokal.

    Pada beberapa orang, kelompok maupun suku bangsa tertentu dalam menggunakan garam, misalnya sebagai bahan dasar mengawetkan dan memfermentasikan makanan yang bukan saja garam dari laut akan tetapi garam digunung. Garam gunung ada di wilayah Krayan Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara dapat juga digunakan sebagai bahan campuran rasa membuat telu.

    Dengan mengetahui tentang makanan tradisional Dayak lundayeh ini. Maka akan menambah wawasan kita tentang jenis-jenis makanan tradisional yang ada didunia. Dan di Indonesia yang masih banyak untuk digali dan dipertahankan karena memiliki nilai khas dan unik sebagai perekat budaya.

    Dan menjadi gambaran sosial dan ekonomi masyarakatnya. Termasuk pula dapat menjadi parameter dalam melihat kelestarian hutan adat Dayak yang terjaga sampai hari ini. Karena mampu menyediakan dan menyimpan segala sumber makanan dan pengetahuan lokal bagi orang Dayak terutama untuk membuat telu.

    ***

    Bionarasi

    Dr. Afri ST Padan 4

    Dr. Afri ST Padan, lahir di Desa Tanjung Lapang Kabupaten Malinau pada 3 April 1974.

    Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.

    Menulis dan menerbitkan buku: Sawah Sebagai Kearifan Lokal Manusia Dayak di Desa Pulau Sapi, Kaltara (2021)

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita