| Penulis: R. Masri Sareb Putra
Baru-baru ini, aktor senior kita ini diberitakan wafat. Ia santai saja menangapinya. Saya menerima responsnya via video. “Saya sehat-sehat saja. Tidak benar itu berita. Biasanya, yang diberitakan meninggal, panjang umurnya,” katanya.
Pagau seorang Dayak yang berani uji nyali. Selain berperawakan tampan dan menawan, berbekal bakal dan secuil pengalaman akting, ia nekad ke Jakarta. Memutuskan total terjun dalam dunia perfilman.
Sosok tinggi besar. Kekar. Sedikit legam. Itulah Tumenggung Hadiraksa dalam film “Singgasana Brama Kumbara” yang amat sangat ciamik itu yang barangkali tak banyak orang bafhum bahwa, ia orang Dayak.
Siapa tak kenal film serial TV produksi PT. Genta Buana Paramita (1996) yang ditulis oleh Niki Kosasih dan Imam Tantowi. Seri ini merupakan versi Saur Sepuh dengan alur cerita yang berbeda dari versi Radio itu?
Piet Pagau mulai dikenal bersamaan dengan mencuatnya film “Mandau dan Asmara” (1977) yang dibuat di Pontianak. Ia aktor senior Dayak yang profesional. Belum ada tandingannya.
Di film itulah Piet menunjukkan kepiawaiannya berakting. Seorang aktor profesional tiada banding yang fasih berbahasa Kanayatn. Lelaki berkumis lebat ini dilahirkan pada 1951 di Desa Batu Raya, Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Namanya mulai dikenal bersamaan dengan mencuatnya film “Mandau dan Asmara” (1977) yang dibuat di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak. Karena setting ceritanya menyangkut wilayah itu, maka ditampilkanlah artis daerah. Termasuk Piet Pagau, yang adalah asli mengalir dalam dirinya darah Dayak.
Kedatangannya ke Jakarta semula untuk mengisi suara (dubbing) film tersebut. Namun, Piet Pagau rupanya keterusan. Tampang modal cukup.
Selain fisik yang prima dan menawan, Pagau juga berpengalaman main sandiwara. Baik di pentas maupun RRI Pontianak. Tak heran bila Piet Pagau “awet” di film sampai “zaman sinetron” seperti saat ini. Peran yang dimainkannya pun macam-macam. Mulai dari patih hingga serdadu. Memerankan seorang tokh dari darah biru, hingga rakyat jelata.
Pria yang lebih dikenal luas sebagai aktor kawakan ini, sebenarnya mengawali karier di bidang pemerintahan dalam negeri. Lulusan APDN tahun 1974 dan selama tahun 1971 hingga 1976, pernah mengabdikan diri sebagai pegawai di kantor Pemda Kalbar.
Terakhir, dirinya ditugaskan di kantor Camat Batang Lupar, Lanjak, Kapuas Hulu. Sebelum kemudian memilih pensiun dini dan merantau ke Jakarta mencari pengalaman dan beberapa, bukan hanya sesuap nasi.
Sebagai aktor, Pagau telah membintangi puluhan film dan sinetron. Sekadar menyebut contoh, “Nada-Nada Rindu” (1987) “Tutur Tinular” (1997), “Bidadari-Bidadari Surga” (2012). Dan hingga kini pria berkumis tebal ini, banyak terlihat membintangi film-film reproduksi tahun 2.000-an, selain pemain sinema elektronika (sinetron) yang tetap eksis dalam berbagai peran.
Pagau menikah dengan penyanyi, yang juga aktris, Rita Zahara pada 30 september 1980. Pernikahan mereka dikaruniai delapan anak.
***
Di jakarta, Pagau aktif. Setiap kali ada acara, ia senantiasa menyempatkan diri hadir. “Nyocok tuak”, minum tuak tak ketinggalan. Sebab itu mengingatkannya pada kampung halaman.
Di Forum Dayak Kalbar Jakarta (PDKJ), Pagau dan saya di Seksi Seni Budaya.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.