BEDANYA MENYADAP & MEREKAM: PENJELASAN HUKUM TENTANG PEREKAMAN KEJADIAN PUBLIK

Jakarta, detikborneo.com – Apa perbedaan antara menyadap dan merekam? Pertanyaan ini sering muncul, terutama dalam konteks hukum ketika seseorang merekam pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian. Berikut penjelasan dari praktisi hukum Gerai Hukum Art & Rekan, Arthur Noija, SH.
Perekaman vs. Penyadapan dalam UU ITE
Pertanyaan utama yang sering diajukan adalah apakah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang merekam tindakan polisi saat melakukan pelanggaran?
Menurut Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal, perekaman langsung atas kejadian nyata dengan kamera bukan merupakan pelanggaran Pasal 31 UU ITE. Hal ini karena perekaman tersebut tidak termasuk dalam kategori “intersepsi” atau “penyadapan” yang dilarang oleh UU ITE.
Pasal 31 UU ITE sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 mengatur intersepsi ilegal, yaitu:
- Penyadapan atas Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dalam suatu sistem elektronik tanpa hak atau melawan hukum.
- Penyadapan atas transmisi informasi elektronik yang tidak bersifat publik tanpa hak atau melawan hukum.
Berdasarkan pasal tersebut, menyadap adalah intersepsi komunikasi atau informasi elektronik yang sedang ditransmisikan. Sedangkan merekam adalah mendokumentasikan suatu kejadian nyata secara langsung menggunakan alat rekam tanpa melakukan intersepsi terhadap sistem elektronik.
Apakah Perekaman Termasuk Informasi atau Dokumen Elektronik?
UU ITE membedakan antara Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik:
- Informasi Elektronik: Data dalam bentuk digital yang memiliki arti atau dapat dipahami.
- Dokumen Elektronik: Wadah yang menyimpan informasi elektronik, seperti file dalam format .doc, .mp3, atau .mp4.
Realita yang direkam langsung oleh kamera bukan merupakan informasi elektronik sebelum diolah dan disimpan dalam bentuk file digital. Oleh karena itu, perekaman kejadian nyata tidak termasuk intersepsi ilegal sebagaimana dimaksud dalam UU ITE.
Apakah Rekaman Bisa Dijadikan Alat Bukti?
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, informasi elektronik dan dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah dalam konteks penegakan hukum.
Namun, terdapat perbedaan antara:
- Penyadapan: Harus dilakukan oleh penegak hukum berdasarkan izin. Jika tidak, hasil penyadapan tidak sah sebagai alat bukti.
- Perekaman umum: Rekaman yang dilakukan tanpa intersepsi terhadap sistem elektronik tetap dapat dijadikan alat bukti, terutama dalam kasus dugaan pelanggaran hukum oleh aparat.
Kesimpulan
- Perekaman kejadian nyata menggunakan kamera tidak termasuk penyadapan karena tidak ada intersepsi terhadap sistem elektronik atau transmisi komunikasi.
- Perekaman secara diam-diam masih menjadi perdebatan hukum, tetapi secara umum dapat dijadikan bukti asalkan bukan bagian dari penyadapan ilegal.
- Rekaman dapat dijadikan alat bukti, kecuali jika diperoleh melalui penyadapan yang melanggar hukum.
Dengan demikian, jika seseorang merekam pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian di ruang publik, maka rekaman tersebut bukan merupakan penyadapan dan dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses hukum.
Dasar Hukum:
- UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2016.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.(Lawadi)






