| Penulis: Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom
Banyak istilah yang dipakai untuk menyebut Pendidikan Agama Kristen sesuai dengan budaya dan lingkungan sosial yang dihadapi para peneliti. Ada yang menyebut dengan istilah Christian Education (Pendidikan Kristen), Religious Education (Pendidikan Agama). Ada pula yang lebih senang dengan sebutan Christian Religious Education (Pendidikan Agama Kristen) atau Religious Instruction (Pengajaran Agamawi). Namun ada pula yang menyebutnya Christian Nurture (Asuhan Kristen).
Tentu istilah yang memiliki konotasi konsep tersebut terlahir dari latarbelakang yang berbeda-beda. Apapun istilah yang digunakan, pada umumnya pendidikan adalah suatu proses belajar mengajar yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik.
Entah menggunakan alat bantu atau tidak, baik itu di dalam ruangan maupun di luar ruangan, entah itu secara pribadi maupun komunitas. Tetapi yang pasti, kegiatan belajar mengajar ini memiliki tujuan, bahan belajar, metode, sumber pelajaran evaluasi yang akhirnya melakukan review atas kegiatan tersebut.
Menurut E.G. Homrighousen dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama Kristen terbitan BPK Gunung Mulia, Jakarta mengatakan: “Pendidikan Agama Kristen berpangkal pada persekutuan umat Tuhan.”
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika berbicara mengenai pendidikan yang kemudian dikaitkan dengan sebuah agama, maka tidak dapat dipungkiri bahwa isi atau materi pembelajaran tentunya mendoktrin peserta didik untuk dapat lebih mengenal dan memahami sebuah agama yang diajarkan itu.
Salah satu dosen di Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia Petamburan, Jakarta saat menyampaikan materi mengenai Psikologi Pendidikan Agama Kristen mengatakan bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah sebuah kegiatan belajar mengajar dimana diharapkan adanya perubahan atas peserta didik. Mengapa? Karena inti dari Pendidikan Agama Kristen adalah hidup pendidik itu sendiri.
Dengan kata lain bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah sebuah proses pembelajaran yang bukan hanya mengenalkan ‘ilmu pengetahuan’ yang menyentuh pada area kognitif, namun diharapkan adanya perubahan karakter dari peserta didik dan itu melalui sentuhan-sentuhan afektif, sehingga perubahan karakter tersebut terlihat secara nyata (psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari. Inilah hakekat pendidikan agama yang sesungguhnya.
Pernah suatu ketika anak diminta menyusun liturgi atau tata ibadah di gereja. Tugas sekolah yang sudah dibuat dinyatakan salah karena ternyata tidak sesuai dengan tata ibadah yang ‘dimiliki’ guru tersebut. Bukankah masing-masing gereja memiliki tata ibadah yang berbeda?
Apakah tepat menggunakan istilah ‘benar atau salah’ dalam menilai tugas sekolah yang dimaksud itu? Akhirnya hanya bisa memberi penjelasan pada anak dengan harapan mereka dapat mengerti peran guru memberikan ilmu untuk masa depan. Benarkah argumen ini? Ataukah sikap ini menunjukkan arogansi terselebung dalam sebuah tulisan?
Bila dilakukan pengamatan, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan rokok, narkoba, alkohol dan seks bebas. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk dengan maraknya penyebaran berita-berita hoax.
Semakin rendahnya rasa hormat pada orangtua dan guru. Rendahnya rasa tanggungjawab individu. Membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga serta kebencian di antara sesama menunjukkan masih lemahnya dunia pendidikan. Ataukah memang sulitnya mendidik generasi saat ini?
Menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa realita ini benar-benar terjadi dan bila hal ini dibiarkan, apa jadinya negara Indonesia 10 tahun mendatang? Karakter menjadi sorotan tajam atas hal ini bukan?
Karakter mengacu pada kebiasaan berpikir, berperasaan, bersikap, berbuat, membentuk tekstur dan motivasi kehidupan seseorang. Karakter erat dengan pola tingkah laku, kecenderungan pribadi. Karakter sebagai sesuatu yang melekat pada personal yaitu totalitas ide, aspirasi, sikap yang terdapat dalam individu dan telah mengkristal pada pikiran dan tindakan. Hanya individu itu sendiri yang tahu dirinya.
Untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Ia menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Masih menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral attitude), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan baik.
Berkaca pada hal tersebut di atas, tentunya sekolah adalah salah satu tempat pembentukan iman dan karakter yang baik sehingga diharapkan terciptanya manusia-manusia berpendidikan yang memiliki sikap dapat menentukan masa depan bangsa. Inilah impian semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan.
Namun permasalahannya adalah ruang lingkup sekolah bukanlah homogenitas yang hanya terdiri atas kelompok orang yang memiliki kesamaan dalam sisi budaya, bahasa, adat, suku dan agama. Banyaknya ragam dari stakeholders yang terlibat di dalamnya, baik stakeholder internal maupun eksternal yang masing-masing pihak memiliki kepentingan.
Bukankah ini akhirnya menjadi tugas berat guru untuk meramu kepentingan masing-masing pihak tersebut agar semuanya dapat terlaksana dengan baik? Terlebih bagi guru agama yang seringkali ajarannya dikaitkan dengan karakter peserta didiknya.
Guru (Agama) oh Guru (Agama), begitu beratnya tugasmu.
(Trust & Obey)
Sumber gambar: https://assets-a1.kompasiana.com/items/album/2016/09/02/guru-profesional-www-tugasmakalah-com-jpg-57c8b20b6223bdf95ee107e8.jpg
***
Bionarasi
Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom lahir di Jakarta pada 1 Juni 1977.
Bekerja di PT. Asuransi Central Asia. Penulis merupakan Pendiri dan Pelaksana Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.
Menikah dengan Sri Hati Ningsih dan dikarunia anak: Euaggelion, Euridyce, Eulogia.
Saat ini sedang menempuh Magister Pendidikan Agama Kristen di STT Bethel Petamburan, Jakarta