26.3 C
Singkawang
More
    BerandaSosokCornelis Mengubah Mentalitet “Ulun” Orang Dayak

    Cornelis Mengubah Mentalitet “Ulun” Orang Dayak

    | Penulis: R. Masri Sareb Putra

    “Selama jadi camat, bupati, gubernur, “Presiden Dayak” (MADN), dan kini anggota DPR-RI Komisi II. Saya berusaha menghapus mental-kolektif itu dari orang Dayak. Mental ulun itu yang membuat tidak maju-maju,” ketus Cornelis, mengingatkan.

    Ngabang pada siang yang baru saja meninggalkan pagi. Hari itu, cuaca benderang.  Kalender berada di pengujung tahun. Pertengahan November 2020.

    Terminal  Ngabang yang dahulunya hiruk pikuk penuh keramaian, terasa sepi. Satu dua bus dan beberapa angkot lalu lalang di sana. Kernet memanggil penumpang. Namun, jarang ada yang datang.

    Tak tampak banyak kerumuman di terminal itu, seperti dahulu lagi. Kontras pemandangan di terminal Ngabang yang sepi itu.

    Di jalan raya, di atasnya, kendaraan pribadi lalu lalang tak berhenti. Sesekali klakson bebunyi. Ramai bukan lagi di terminal, melainkan di jalan raya. Aneka jenis kendaraan ada. Dari roda dua. Mobil pick up mengangkut hasil kebun,  sawit, dan sayuran. Beberapa mobil mewah pun hilir mudik menyusuri jalan Ngabang-Sidas, pergi pulang.

    Siapa pemilik mobil Land Cruiser, Pajero, Kijang, CRV, Avanza, dan Hillux itu?

    Orang Dayak! Bahkan, yang terlihat cukup eksotik. Mobil Hillux dijadikan alat angkut buah sawit. Sungguh, kehidupan orang Dayak di Tanah Landak dan Kalimantan Barat pada umumnya kontras berbeda dengan 20, atau 30, tahun yang lalu.

    Mentalitet dan Mind set

     Tak jauh dari terminal Ngabang. Mengalir Sungai  Landak. Dahulu kala, sungai ini menjadi urat nadi kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Selain tempat untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), sungai Landak adalah sarana transportasi. Sungainya, di masa lalu, jarang kering di waktu kemarau dan menjadi banjir di musim hujan seperti saat ini karena alam lestari dan keseimbangan lingkungan terjaga.

    Sungai Landak ini mengalir dari hulu hingga bermuara di Sungai Kapuas, Pontianak. Praktis, peradaban pra hingga kemerdekaan, sampai awal tahun 1980-an, ada di pesisir sungai. Keraton dan kerajaan-kerajaan berada di tepi sungai, di mana orang Dayak praktis tidak ada yang tinggal dan bermukim di pusat peradaban itu.

    Orang Dayak, sesuai dengan namanya yang berarti: hulu, atau udik, membangun rumah panjang dan bermukim di daratan atau di hulu-hulu. Mereka sangat jauh dari pusat peradaban! Sedemikian rupa, sehingga identik dengan tertinggal, terbelakang, termiskin, dan ter ter lainnya yang serba kurang.

    “Lama hal ini menjadi bahan renungan saya,”  kata Cornelis. “Suku kita ini sebenarnya punya potensi. Bisa menjadi apa saja. Dapat melakukan pekerjaan apa saja. Dan sanggup berbuat apa saja.”

    Hanya saja, tambah Cornelis. “Kita tidak punya, dan tidak diberi,  kesempatan. Kita ini dijajah berlapis-lapis. Pertama-tama oleh kompeni Hindia Belanda. Kompeni menjajah dan memeras raja-raja lokal.  Upeti dan belasting (pajak) yang wajib diserahkan ke kompeni adalah buktinya. Lalu kita, suku Dayak ini, diperas raja-raja lokal. Jadi sebenarnya, kita Dayak ini dijajah berlapis-lapis.”

    Perbincangan siang itu di ruang tamu. Lalu kemudian pindah ke ruang kerja di rumah tinggal Cornelis di  Taman Bukit Cornelis, Ngabang, semakin seru. “Sejak menjadi Camat. Kemudian bupati. Lalu gubernur. Dan kini anggota DPR-RI, Komisi II.  Aku renung-renung. Gagal aku ini!” katanya.

    Kaget, sudah tentu,  mendengar pernyataannya yang mengaku “gagal”.

    “Ya,” katanya. “Sebab belum berhasil aku ubah semua mental orang kita. Masih banyak yang bermental ulun,” cetusnya. “Ini yang membikin suku kita tidak maju-maju. Pangkal soal mengapa kita ini tidak maju-maju karena masalah mentalitet. Soal mind set,” tegasnya.

     Lalu keluarlah analisis. Sekaligus jurus-jurus pamungkas. Cornelis lalu membeberkan khasanah dan pustaka yang dia baca. Satu buku babon terkait mentalitet dan pembangunan yang amat sangat ia hafal di dalam kepala. Yakni karya Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Pustaka ini, meski talah lama terbit (1974), isinya masih sangat relevan hingga hari ini.

    “Koentjaraningrat  di dalam buku itu mengupas kaitan antara kebudayaan, atau kebiasaan, suatu masyarakat terkait dengan menatalitet dan pembangunan. Satu hal yang saya sagat setuju. Dan sering saya ulangi dalam berbagai orasi dan kesempatan. Yakni kaitan antara mentalitet dan pembangunan,” kata Cornelis. “Dan terus terang saya bilang, mental kita itu mental ulun. Mental kuli. Mental hamba. Jika kita mau maju, ubah itu!”

    Mental yang diubah itu adalah mental budak belian. Atau servus pada zaman Romawi kuno. Abdi dalem di kalangan Jawa. Hamba sahaya, dan jongos adalah istilah yang setali tiga uang dengan ulun (atau ulutn) dalam khasanah Dayak.

    Hegemoni kolonoial, dan kaki tangannya, melalui raja-raja lokal dan penguasa setempat sekian abad secara kumulatif berdampak pada mentalitas orang Dayak. Mental “ulun” ini membuat orang Dayak inferior. Rendah diri. Minder bila berhadapan dengan orang asing.

    Mentalitet itu, perlu segera dihapuskan dari muka bumi Borneo!

    ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita