| Penulis: Fidelis Saputra
Hari ini Selasa, tanggal 23 Maret 2021. Setahun lebih dunia mengalami masa pandemi. Aku memulai pagi dengan menyalakan sepeda motor untuk berangkat memberikan tugas dalam bentuk Luar Jaringan (Luring) kepada peserta didik di Dusun Ketori, salah satu dusun terpencil di kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Dusun Ketori sudah mafhum diketahui sebagai dusun terluar dari kecamatan Jangkang karena di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Belitang Hulu di Kabupaten Sekadau dan di utaranya berbatasan dengan kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang. Jarak yang ditempuh cukup lumayan, sekitar 32 Kilometer jauhnya dari rumahku di dusun Landau. Kondisi jalan yang rusak parah membuat waktu tempuh melebar menjadi kira-kira dua jam perjalanan dengan roda dua.
Kenapa harus Luring, bukan memakai moda Daring?
Jawaban yang paling masuk akal adalah karena mayoritas siswa kami belum mempunyai smart phone atau tablet. Kondisi yang tidak bisa disamakan dengan daerah perkotaan yang sudah baik infrastrukturnya. Jika dipaksakan memakai moda Daring maka sama saja memaksa kondisi karena pasti materi yang disampaikan tidak akan sampai kepada peserta didik.
Tempat aku bertugas adalah SMP Negeri 4 Satu Atap Jangkang. Sekolah ini berdiri tahun 2010 berdasarkan SK Bupati Sanggau tertanggal 14 September 2010. Tujuan didirikan tentunya mempermudah akses warga di pedalaman untuk bersekolah setara SMP. Hal itu karena dahulunya, sebelum sekolah ini ada, siswa bersekolah di ibu kota kecamatan Jangkang, yakni Balai Sebut yang berjarak sekitar Tiga Puluhan Kilometer dari tempat tinggal mereka.
Pukul 06.00 pagi aku start dari rumah. Pagi masih diselimuti kabut tebal. Maklum malamnya kecamatan Jangkang diguyur hujan lebat sehingga perjalanan kali ini sedikit terhambat kondisi jalanan yang licin. Sepeda motor dipacu cukup hati-hati melewati alur jalan yang sudah mengering. Di dusun Jambu, tepatnya kurang lebih 6 kilometer lagi sampai ditempat tugas, aku dihadapkan pada situasi alam yang menantang yakni banjir. Spot banjir ini adalah daerah persawahan warga dusun Jambu, karena dilewati alur sungai maka mudah sekali air pasang jika hujan tercurah cukup lebat.
Dihadapkan pada situasi demikian, saya dituntut harus bisa mengambil alternatif. Tentu ada solusi jika dihadapkan dengan situasi demikian. Pertama, knalpot motor diikat dengan menggunakan kantong kresek lalu diseret perlahan tanpa menghidupkan mesin motor melewati area banjir. Ketika sudah sampai di penghujung banjir baru motor dihidupkan kembali untuk melanjutkan perjalanan.
Atau bisa juga dengan cara yang kuno, namun masih relevan hingga saat ini, yakni jika di sekitaran banjir cukup banyak orang yang terjebak, maka sesama pengendara harus saling bergotong-royong menyeberangkan motor dengan cara dipikul beramai-ramai. Nah, bukan orang yang naik kendaraan, tapi kendaraan yang naik orang!
Sampai di tempat, waktu telah menunjukkan pukul 08.27. Semestinya, perjalanan ditempuh kurang lebih satu setengah jam karena jalan licin dan terjebak banjir sehingga waktu molor hingga dua setengah jam. Siswa sudah masuk ke ruangan sesuai protokol kesehatan. Cuci tangan dengan sabun dan wajib menggunakan masker.
Di ruang kelas, siswa duduk sesuai dengan standar jarak yang ditetapkan sekitar satu setengah meter dari yang lainnya. Mereka siap untuk mengumpulkan tugas minggu sebelumnya dan mengambil tugas untuk satu minggu ke depan.
Suasana kelas memang tidak seperti sebelum ada pandemi. Terasa ada kekosongan. Namun, hal itu bukan alasan untuk menciptakan blank generation, atau generasi yang kehilangan ilmu pengetahuan. Dahulu ada interaksi yang intens antara siswa dan guru. Ada Tanya jawab, Pembelajaran tatap muka, ulangan harian, praktikum, dan masih banyak lagi istilah akademik yang sulit diterapkan sementara waktu di tengah situasi Covid-19.
Pembatasan sosial masih diperlukan untuk menekan laju penyebaran. Namun, dalam situasi seperti ini, apakah mesti menyerah dengan keadaan? Belajar memang tidak mengenal tempat, baik itu di sekolah atau dimana saja. Belajar juga bukan tergantung guru di kelas, karena semua orang terlahir menjadi guru. Media belajar sudah semakin canggih dan variatif. Pembelajaran jarak jauh begitu banyak, Televisi atau Internet sudah menyediakannya. Tinggal bagaimana siswa mengambil makna blessing in disguise yakni bagaimana memanfaatkan situasi demikian menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka.
Pandemi dalam sejarah manusia sudah berulangkali terjadi, terakhir di awal abad ke-19 ada wabah flu Spanyol melanda dunia bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia pertama. Para pendahulu kita sudah memberikan contoh kepada kita bahwa wabah itu mampu mereka atasi dan berhasil dihentikan. Demikian juga seharusnya dengan kita saat ini. Dengan doa dan ikhtiar, tentu harapan kita wabah segera berlalu dan kehidupan kembali normal. Selaras dengan harapan dalam pembelajaran, kita berharap Belajar Tatap Muka kembali diberlakukan lagi setelah wabah ini berlalu.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan utama Pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di balik itu, tentu ada prestasi dan prestise menyertainya, namun di masa pandemi ini sementara waktu kita tinggalkan dahulu itu. Fokus dalam dunia pendidikan dikembalikan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu sudah sepatutnya di masa pandemi ini semangat mencerdaskan anak bangsa tidak putus hanya karena belum boleh melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka. Masih banyak cara lain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan siswa selagi prinsip Ki Hadjar Dewantara dilaksanakan, bahwasanya setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Adagium itu berlaku bagi setiap insan yang haus akan ilmu pengetahuan. Pembelajaran tidak bisa dihentikan meski pandemi masih saja menghantui setiap sendi kehidupan manusia secara global.
Setidaknya, saya percaya bahwa setiap manusia dapat mengatasi persoalan zamannya. Berkaca dari pengalaman dan sejarah umat manusia sebelumnya, pandemi (dahulu: endemi), berakhir seiring dengan waktu dan kecanggihan manusia menemukan solusinya.
Harapan adalah satu-satunya milik manusia yang paling berharga. Jika harapan itu pupus dan tidak ada, maka segalanya hancur lebur. Kita masih punya harapan akan masa depan yang lebih baik. Kita berharap pandemi segera berakhir dan sekolah tatap muka berlangsung seperti sediakala lagi.
Meski zaman berubah, kini zaman digital, tetapi peran guru tidak pernah tergantikan. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi bisa melalui media, namun penanaman nilai-nilai dan pembangunan karakter, tidak tergantikan dengan kehadiran fisik. Contoh hidup selamanya paling utama!
Sebagai guru yang bertugas di daerah terpencil, saya tetap bersemangat menunaikan tugas panggilan. Meski medan berat dan tantangan tidak kecil, senantiasa bergelora dalam diri saya panggilan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dalam suasana seperti ini, kembali terngiang di telinga saya hymne guru. Umbi tumbuh dalam sunyi. Bunga harum dalam diam. Guru berjasa karena tidak pernah berkeluh kesah, meski dalam kondisi apa pun juga.
***