| Penulis: Hery Susanto
Sisa-sisa tenaga menjaga kedai sampai larut malam, menyisakan tenaga untuk memulai hari baru pagi ini. Berharap hari ini pengunjung yang datang lebih banyak lagi. Biasanya kalau pagi hari dimulai dengan gembira, maka sepanjang hari itu akan ramai dan penuh semangat.
Pagi ini lantai kedai sedang dibersihkan. Datang seorang pemuda dengan mata merah, langsung menuju sudut ruangan. Nampak bahwa dia tidak tidur semalaman. Kaosnya kumal dan nampak kacau. Tangannya menjadi tumpuan wajahnya yang terkulai menempel di meja. Dia tertidur. Aku biarkan dia tertidur sejenak di situ dan aku mengawasinya sambil terus mengepel lantai.
Satu jam kemudian, pemuda ini terbangun. Dengan setengah sadar, matanya menyapu ruangan dan menatapku lalu berkata,”Aku haus…”
“Mau kopi?” tanyaku.
“Terserah…”
Aku beranjak dan mulai membuatkannya segelas kopi hitam panas untuknya. Kusodorkan kopi itu di hadapannya dan aku pun duduk di hadapannya.
“Tampaknya Anda lelah sekali, kawan…” aku berusaha memulai percakapan. Kedai masih sepi jadi aku bisa menemaninya sejenak.
“Sekarang susah mencari kerja gara-gara corona, orang-orang di PHK, termasuk aku. Memang susah, tidak ada lagi yang peduli denganku. Istriku sudah dengan laki-laki lain, anakku terpaksa ikut orang tuaku dan mereka pun malah menyalahkan aku. Aku tidak punya sian siapa yang bisa menolong.”
“Ya itu benar kawan,” aku menimpali.
“Kenalkan, aku Jo,” Sambil kuulurkan tangan padanya.
“Mat”
“Kalau boleh tahu mengapa kamu menyalahkan keadaanmu?”
“Semua tidak ada yang peduli, orang tuaku melarang pulang sebelum aku mendapat pekerjaan. Anakku masih 3 tahun dan mereka bersedia mengurus. Tapi istriku benar-benar keterlaluan, pergi dengan pacarnya yang aktivis gereja. Alasannya pelayanan tetapi lama-kelamaan kudapati bahwa dia memang punya affair dengan temannya. Aku tidak tahan dan akhirnya kami makin sering bertengkar, hingga akhirnya kami pisah. Aku rasa Tuhan tidak adil terhadap aku.”
Aku terus memandang gerak-gerik matanya yang berurai air mata diusap dengan lengannya. Mat meminum kopi pahit itu dengan lemas. Bibirnya yang hitam dan sedikit bau rokok tercium hidungku.
“Bagaimana kopinya…,” Tanyaku untuk memecah topik pembicaraan.
“Mas Mat kalau boleh aku bertanya. Aku tidak setuju dengan pernyataanmu yang terakhir. Bisa jadi hidup memang terasa tidak adil, tapi Tuhan selalu adil.”
“Gak usah omong soal Tuhan… Dia mengijinkan istriku diambil orang lain dari mana letak adilnya…?” Mat menatap kosong ke jendela.
Aku pun berhati-hati memilih kata-kata, “Mat, kau lihat pantai itu? Ombak itu membawa pasir dan kerikil kecil ke laut dan mengembalikannya lagi ke tepi. Menurutmu adilkah itu?”
“Aku tidak tahu…,” kata Mat.
“Mat, tahukah kamu mengapa kedai ini menjual kopi pahit?”
“Aku suka kopi pahit.”
“Jadi keadilan juga bukan soal kamu suka atau tidak. Keadilan itu tidak butuh dimengerti atau tidak, tetapi harus diyakini bahwa keadilan itu selalu ada sumbernya. Tidak peduli orang suka atau tidak. Tuhan akan selalu adil, perkara kau suka atau tidak, Tuhan tidak memaksamu untuk mengerti. Ada hal-hal yang Tuhan mau jelaskan tapi ada juga yang dibiarkan-Nya tetap menjadi misteri. Kabar baiknya, Dia tetap adil dalam segala yang dikerjakan-Nya.”
“Lalu aku harus bagaimana, hidupku hancur, kacau…”
“Tergantung dari sisi mana kamu melihatnya.”
“Aku tidak tahu, semua kelihatan begitu rumit dan kacau…… di mana indahnya?”
“Sadarkah kamu bahwa dulu dunia diciptakan begitu indah tapi menjadi rusak dan kacau karena manusia dengan segala keinginannya. Itu bukan berarti Tuhan tidak adil bukan?”
Mat terdiam. Sunyi sejenak dan mataku menatap satu tulisan di dinding.
“Sebab TUHAN adalah adil dan Ia mengasihi keadilan; orang yang tulus akan memandang wajah-Nya”. (Mazmur 11:7)
Tulisan itu pun dibaca oleh Mat, dan seteguk kopi pahit di gelas pun dihabiskannya. Aku pun melanjutkan, “Mulai besok Mat boleh bantu aku kerja di sini, kita bisa mengobrol lebih banyak lagi…”
Wajah Mat pun berseri, matanya memandangku dengan pandangan bertanya. “Serius?… benarkah ini?”
Sambil tersenyum aku pun beranjak melanjutkan tugasku kembali.
***
Bionarasi
Dr. Hery Susanto, M.Th. dilahirkan di Salatiga, Jawa Tengah pada 21 Januari 1973.
Dosen di STT JKI. Aktif menulis dan berkiprah di bidang teologi dan filsafat.