
Pontianak, detikborneo.com – Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) menilai tindakan pematokan lahan adat oleh Tim Penataan Kawasan Hutan (PKH) di Kabupaten Kapuas Hulu sebagai langkah keliru dan bertentangan dengan semangat perlindungan hukum adat di Indonesia.
Sekretaris Jenderal MADN, Drs. Yakobus Kumis, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2025 yang memperkuat perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Ia menegaskan, putusan tersebut memperkuat Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012, yang telah menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara.
“Putusan ini memberi kepastian bagi masyarakat adat untuk mengelola lahan turun-temurun tanpa takut dikriminalisasi,” ujar Yakobus Kumis.
Yakobus menyerukan agar Tim PKH segera mencabut seluruh patok yang telah dipasang di wilayah adat masyarakat, serta melakukan penataan ulang berdasarkan prinsip pengakuan dan perlindungan hukum yang telah ditetapkan oleh negara.
“Kami harapkan agar areal-areal yang sudah dipatok oleh Tim PKH itu segera dicabut dan dilakukan penataan kembali. Jangan sampai hukum negara justru menindas masyarakat yang sudah turun-temurun hidup dan bekerja di tanah adat mereka,” tegasnya.
Ia menambahkan, upaya penataan kawasan hutan seharusnya difokuskan pada areal yang dikuasai korporasi besar, yang kerap melakukan pelanggaran izin dan perambahan hutan, bukan pada tanah masyarakat adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Masyarakat adat tidak mencari kekayaan seperti perusahaan besar. Mereka hanya mempertahankan kehidupan di tanah yang diwariskan sejak sebelum negara ini ada,” lanjut Yakobus.
Yakobus juga menegaskan, apabila pematokan sepihak terhadap tanah adat masih dilakukan, masyarakat adat berhak melakukan perlawanan hukum, karena kini mereka memiliki perlindungan konstitusional yang kuat berdasarkan putusan MK tersebut.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Barat, Drs. Cornelis Kimha, M.Si, dalam pernyataan terpisah, menyambut positif langkah MK yang memberi ruang lebih besar bagi masyarakat adat untuk mengelola lahan secara adil dan bermartabat sesuai nilai-nilai kearifan lokal.
“Putusan ini adalah tonggak penting bagi keberlanjutan masyarakat adat dan keadilan sosial di Kalimantan serta seluruh Indonesia,” ujar Kimha.
Kimha juga menegaskan bahwa seluruh aparatur pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, wajib mematuhi dan menindaklanjuti putusan MK tersebut, karena keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
“Tidak boleh ada lagi aparat pemerintah, termasuk tim teknis seperti PKH, yang bertindak seolah-olah hutan adat masih bagian dari hutan negara. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan semua pihak wajib tunduk padanya,” tegasnya.
Ia menambahkan, kepatuhan terhadap putusan MK bukan hanya bentuk penghormatan terhadap konstitusi, tetapi juga langkah nyata menjaga keharmonisan antara masyarakat adat dan negara.
“Kita ingin negara hadir untuk melindungi, bukan menakuti rakyatnya sendiri. Sudah saatnya aparat menunjukkan sikap adil dan menghormati hak-hak adat,” Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mengintruksikan kepada seluruh jajaran pengurus DAD Kabupaten dan DAD Kecamatan seKalimantan Barat untuk mengawal dan menindaklanjuti keputusan MK tersebut di dalam kawasan masyarakat adat masing masing, dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintahan Desa atau Kecamatan. Selain itu dapat melalukan tata batas kawasan yg memang milik masyarakat adat bersama perangkat adat dengan pemerintahan Desa masing. Ini sebagai upaya nyata lembaga adat untuk melindungi hak hak masyarakat adat, tutup Kimha.(Bajare007)