| Penulis: Amon Stefanus
Namanya Matsjam. Lengkapnya Maximilianus Matsjam. Pria ini terkenal dengan jenggot dan rambut putih gondrongnya. Kemana-mana selalu membawa tas yang yang di dalamnya terdapat obat-obatan. Di Kalangan orang-orang yang mengenalnya ia selalu dipanggil Pak Mantri.
Sebagai seorang perawat, ia sangat terkenal dengan jarum suntiknya. Setiap orang berobat pasti disuntik. Kalau tidak disuntik tidak abdol, katanya. Padahal yang disuntik itu kadang hanyalah vitamin. Begitu pengakuannya.
Meloncat Kelas
Lahir di Dusun Tiang Aji, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak pada 19 Desember 1946. Sebenarnya adik beradik mereka ada 8 bersaudara. Tapi dari kedelapan bersaudara tersebut hanya 3 orang yang hidup hingga dewasa. Sedangkan 5 orang meninggal ketika mereka masih bayi dan balita. Dari 3 orang yang hidup hingga dewasa, beliau adalah anak yang kedua.
Ketika berusia 7 tahun bapaknya meninggal dunia. Pada tahun 1955 ketika berumur 9 tahun dia dibawa oleh abang ipar sepupunya yang bernama Baning untuk tinggal di tempat mereka di Sebadu. Oleh abang iparnya ia dimasukkan ke SD Sebadu. Pekerjaan sehari-hari ketika ia SD adalah memembantu pekerjaan rumah tangga abang iparnya, terutama mengasuh keponakannya.
Abang iparnya sangat menyayangi Matsjam karena ia rajin bekerja dan belajar. Prestasinya di sekolahnya membanggakan abangnya. Ia selalu meraih juara 1 di kelasnya. Ketika kelas 3 SD ia meloncat naik ke kelas 5 karena nilainya sangat bagus.
Setelah tamat SD di Sebadu, oleh abangnya ia didaftarkan masuk SMP di Pahuman. Di Pahuman ia tinggal di asrama. Yang membiayai sekolah dan uang asramanya adalah abang iparnya. Salah satu teman seangkatan beliau di SMP adalah Fulgentius Loegen.
Karena nilainya bagus, maka oleh abangnya yang sangat baik tersebut, ia didaftarkan masuk sekolah perawatan kesehatan (SPK) di Pontianak. Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1971. Sebelum bertugas ia dan beberapa kawannya harus menjalani pelatihan khusus untuk penanganan penyakit lepra/kusta di Tangerang.
Mengambil Resiko Di Tengah Pandemi
Pada tahun 1972 Matsjam mulai bertugas di wilayah Ketapang. Pada awal tahun 1970-an Kabupaten Ketapang dilanda wabah (pandemi) penyakit kusta/lepra. Penyakit ini sangat ditakuti oleh masyarakat karena menular. Orang yang menderita kusta kulitnya mati rasa. Dalam keadaan yang parah orang bisa lepas jari-jari dan pergelangan tangannya tanpa merasa sakit.
Sebagai orang yang sudah dilatih untuk penanganan penyakit menular ini, Matsjam mengambil resiko mengobati penderita kusta dari pesisir hingga ke pelosok-pelosok Ketapang. Ia pergi menjemput bola. Datang-datang ke kampung-kampung, mencari orang-orang yang menderita penyakit kusta.
Dalam perjalanannya itu kadang-kadang ia menjumpai seorang penderita kusta diasingkan di tengah hutan. Sang penderita dibuat rumah sendiri di tengah hutan.
10 Jam Di Tengah Hutan Belantara
Sebagai orang yang memiliki keahlian menangani penyakit kusta, di masa mudanya ia sudah pernah pergi ke semua kecamatan yang ada di Ketapang. Perjalanan menuju ke kampung-kampung di pedalaman ditempuh dengan naik perahu, motor klotok dan berjalan kaki.
Tentang petualangannya ke kampung-kampung di pedalaman beliau mempunyai banyak cerita. Ia bercerita pernah berhari-hari berjalan sendiri lewat hutan belantara, selama berjam-jam tidak pernah bertemu orang. Ia bercerita pernah berjalan kaki selama 10 jam dari kampung Randau menuju Sepotong.
Mantri Hingga Akhir Hidupnya
Setelah wabah lepra sirna pada akhir tahun 1970-an, beliau bertugas di Kantor Kesehatan Ketapang. Menjelang pensiun ia banyak bertugas di daerah pesisir.
Setelah pensiun Matsjam masih aktif mengobati orang. Bahkan sampai akhir hayatnyapun ia masih mengobati orang. Sampai hari ini di tas obatnya masih tersimpan banyak obat-obatan.
Tahun 2010 untuk pertamakalinya Matsjam menderita sakit. Pada waktu itu sempat masuk RS Sudarso lebih dari seminggu. Diagnosa dokter beliau menagalami pneumonia. Penyakit ini, menurut beliau, ada hubungannya dengan kebiasaanya sebagai seorang perokok berat.
Setelah sakit itu, ia kerap kali keluar masuk rumah sakit. Pernah ketika dirawat di RS Fatima ia masuk ICU dan tidak sadar hampir sehari semalam. Sempat berhenti merokok beberapa bulan, tapi kembali lagi.
Pada Sabtu malam, tanggal 7 lalu beliau mengeluh sakit di dada. Karena sakitnya tak tertahankan, ia dibawa ke RS Fatima. Setelah dites antigen dan PCR ternyata negatif. Dari pemerikasaan rontgen, ia mengalami masalah di paru-paru dan jantung. Hasil pemeriksaan darah ternyata gula darahnya tinggi. Karena itu beliau harus dirawat dengan isolasi khusus.
Ternyata apa yang terjadi di luar rencana manusia. Kami baru satu kali Novena 3 kali Salam Maria. Senin, 9 Agustus pukul 08.40 sakitnya sembuh untuk selama-lamanya.
Selamat jalan Pak Mantri. Selamat jalan bapak mertua. Semoga engkau beristirahat dalam keabadian.
***
Bionarasi
Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.
Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.