Jakarta, 30 Oktober 2024, detikborneo.com — Pernyataan Haikal Hassan, yang baru saja ditunjuk oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), tentang kewajiban label halal pada seluruh produk di Indonesia telah menuai kontroversi besar. Usulan ini dikhawatirkan dapat mengganggu keharmonisan masyarakat plural, terutama bagi kalangan masyarakat adat, termasuk suku Dayak, Minahasa, Papua, Timor, Batak, Ambon, dan suku-suku lainnya. Wacana ini dinilai bisa mengabaikan keberagaman budaya dan identitas lokal yang kaya di Indonesia.
Menurut Sekretaris Umum Dewan Adat Dayak Khusus Jakarta, Lawadi Nusah, penerapan label halal pada setiap produk tanpa memperhatikan keberagaman budaya dan tradisi lokal merupakan langkah yang berisiko terhadap tatanan sosial.
“Indonesia adalah negara dengan keberagaman luar biasa, baik dalam budaya, suku, maupun agama. Memaksakan label halal pada semua produk dapat mengancam kelestarian budaya kami yang tidak selalu sejalan dengan konsep halal dalam Islam,” ujar Lawadi.
Lawadi menambahkan bahwa masyarakat adat Dayak sangat menghormati keberagaman agama, termasuk Islam, namun kebijakan yang menyangkut identitas budaya dan produk lokal harus peka terhadap keragaman.
“Prinsip Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi landasan dalam setiap kebijakan publik. Kebijakan yang tidak peka terhadap keberagaman bisa memicu perpecahan di tengah keharmonisan yang selama ini dijaga,” lanjutnya.
Thoesang TT Asang, budayawan Dayak Ngaju dari Kalimantan Tengah, melalui media sosial TikTok, juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan tersebut. Menurut Asang, label halal sebaiknya bersifat opsional dan diterapkan pada produk yang memang ditujukan bagi konsumen Muslim, tanpa mengharuskan seluruh produk nasional mengikuti standar halal.
“Ini adalah cara yang lebih inklusif dan bisa menghindari ketegangan yang tidak perlu,” tegas Asang.
Pengamat sosial dan politik, Mahfud MD, menyatakan bahwa kebijakan seperti ini, jika diterapkan, berpotensi memperburuk polarisasi di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dan beragam agama, Indonesia memerlukan kebijakan yang mampu mengakomodasi semua kelompok, bukan memecah-belah. Ia mengimbau agar pemerintah mempertimbangkan dengan hati-hati usulan ini agar setiap kelompok masyarakat merasa terwakili dan dihormati.
Pernyataan dan tanggapan ini menyoroti pentingnya kebijakan yang inklusif dan menghargai keberagaman Indonesia. Pendekatan yang lebih peka terhadap keberagaman budaya dan agama dipandang sebagai kunci untuk menjaga keharmonisan dan memperkuat persatuan bangsa. (Bajare007)