| Penulis: R. Masri Sareb Putra, M.A.
Pagi ini saya bertolak dari kampung ke ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Ada yang berubah, dan akan senantiasa berubah. Perikehidupan orang yang tinggal di pesisir dan yang tinggal di daratan.
Dan sepanjang jalan, dari Sekadau-Simpang Tanjung-Kembayan-Balai Sebut pergi pulang Pontianak, saya saksikan pemandangan unik. Sepanjang jalan, truk dan pick up penuh muatan. Mengangkut sawit dari petani ke , dan dari ke pabrik pengolahan sawit (CPO) terdekat.
“Itu tidak kurang dari tujuh ton,” kata kawan saya menunjuk truk di depan yang penuh muatan sawit.
“Itu tiga ton!” tunjukknya pada sebuah mobil Hillux yang disulap jadi pick up.
“Jika saat ini harga sawit tingkat petani a rp 2.650, maka kalikan saja berapa?”
Demikian pemandangan sepanjang jalan raya di Kalbar. Kita saksikan sepanjang perjalanan tiada putusnya sawit lalu lalang.
Baca juga: SAWIT | Kian Kuat dan Dibutuhkan di Masa Pandemi
Para petani bersukacita. Ladang-ladang yang dahulu kala ditanami padi, kini terlihat pandang/ tajar ukuran 9 x 9 meter berdiri di antaranya. Lima tahun ke muka, niscaya tanaman palma yang dijuluki “emas hijau” itu akan memakmurkan pemiliknya.
Setelah Pandemi melanda, Februari 2020, tak syak lagi, sawit menyumbang devisa terbesar negara. Dampak langsungnya, petani turut menikmati.
Ke muka, sawit akan semakin berjaya. Apalagi, kini, pesawat terbang pun akan “minum” dari minyak sawit yang sudah diolah. Kabar teranyar ini, makin membuat petani sawit bergiat.
Saya berjumpa dengan banyak petani sawit yang menjadi kaya di kampung-kampung. Memang dihitung dari sisi produktivitas, masih belum ideal. Idealnya, 1 hektare sawit per tahun produksinya mencapai 25 ton. Pemeliharaan, pupuk, pruning, serta tata kelola sawit dari para petani akar-rumput masih perlu ditingkatkan lagi.
Toh demikian, tetaplah sawit untuk saat ini memberi nilai tambah yang meyakinkan. Orang kampung banyak menebang karet, menggantinya dengan sawit.
Ke depan, akan sulit bagi peusahaan memiliki lahan lagi di Kalimantan. Petani akar rumput telah sadar akan nilai setapak lahan. Mereka tidak akan sudi menyerahkannya lagi ke perusahaan, seperti dahulu.
Kini para petani sawit, setidaknya di Kalbar, “terancam” kaya.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.