
Balikpapan, detikborneo.com – Kejadian yang menimpa Af, warga dan pengurus Sabang Merah Borneo Kota Balikpapan yang juga merupakan bagian dari masyarakat adat Dayak, menimbulkan gelombang protes. Pasalnya, pria tersebut dijemput secara paksa oleh Tim Jatanras (Kejahatan dan Kekerasan) Polda Kalimantan Timur pada Jumat, 24 Oktober 2025, sekitar pukul 15.03 WITA, tanpa prosedur hukum yang jelas.
Menurut keterangan Mariati, SH, selaku penasihat hukum Af, proses penjemputan tersebut jauh dari prinsip Presisi Polri yang mengedepankan pelayanan dan transparansi berkeadilan.
“Tidak ada surat panggilan resmi, tidak ada surat perintah penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Hanya selembar kertas yang bahkan tidak sempat dibaca oleh klien kami. Keluarga tidak diberi penjelasan apakah statusnya saksi atau tersangka. Bahkan penjemputan dilakukan di depan anak kandungnya yang masih di bawah umur,” ungkap Mariati.
Lebih lanjut, Mariati menjelaskan bahwa anak Af yang berusia 7 tahun ditinggalkan sendirian di rumah, sementara anak sulungnya masih berada di sekolah. Tindakan tersebut, kata Mariati, melanggar prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014.
“Kami menghormati proses hukum, tapi pelaksanaannya harus menjunjung asas kemanusiaan dan proporsionalitas. Klien kami bukan buronan. Cara penjemputan seperti ini justru menyerupai penangkapan teroris,” tegasnya.
“Lebih terhormat cara penjemputan koruptor dibanding perlakuan terhadap rakyat kecil seperti ini,” tambahnya.
Setibanya di Polda Kaltim, baru diketahui bahwa Af diperiksa hanya sebagai saksi dalam kasus dugaan pengeroyokan dan penganiayaan terkait sengketa lahan yang melibatkan pelapor bernama AA alias Oj. Dua nama lain yang dilaporkan yaitu Aa dan Rg saat ini juga ditahan pihak Polri.
Kronologis Kejadian di Lokasi Adat Belian
Menurut keterangan Mariati, peristiwa yang menjadi dasar laporan tersebut berawal dari kegiatan adat Belian di area Pondok Wisata Danau Cermin, Lamaru, milik Hartoyo Sengoq. Kegiatan adat itu berlangsung selama 3 hari (3–5 Oktober 2025) dan dilanjutkan dengan masa pantang selama 7 hari sesuai tradisi adat Dayak.
Namun, pada hari ketiga masa pantang, beberapa orang dari pihak lain justru masuk ke lokasi dan memasang patok^ serta mendirikan pondok, seolah-olah menantang larangan adat. Warga adat memilih diam hingga masa pantang berakhir.
Setelah masa pantang selesai, keluarga Hartoyo dan warga melakukan gotong royong membersihkan lokasi Belian, termasuk pondok-pondok yang didirikan pihak luar. Saat kegiatan pembersihan berlangsung, seorang pria tak dikenal datang membawa parang sambil berteriak dan mengayunkan senjata tajam di depan para ibu-ibu dan orang tua di lokasi tersebut.
“Tindakan itu menimbulkan kepanikan. Para ibu-ibu menjerit ketakutan, lalu warga spontan datang membela. Terjadilah keributan. Itu bukan pengeroyokan yang direncanakan, tapi spontanitas pembelaan diri terhadap ancaman senjata di rumah adat,” jelas Mariati.
DAD Kaltim: Tangkap-Menangkap Bukan Solusi Sengketa Adat
Menanggapi kejadian ini, Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Timur menyampaikan keprihatinan^ mendalam dan protes keras terhadap cara aparat menangani masyarakat adat.
“Kami berharap persoalan seperti ini diselesaikan secara persuasif dan bermartabat, bukan dengan cara tangkap-menangkap. Karena akar masalahnya adalah sengketa lahan, bukan tindak pidana murni. Tindakan represif tidak akan menyelesaikan akar persoalan,” ujarnya.
DAD Kaltim juga menegaskan bahwa aparat seharusnya menghormati nilai-nilai kearifan lokal dan mekanisme adat yang masih hidup di tengah masyarakat, terlebih bila peristiwa terjadi dalam konteks kegiatan ritual adat.
“Kami mendukung penegakan hukum, tapi hukum harus dijalankan dengan rasa keadilan. Masyarakat adat dan semua warga harus diperlakukan sebagai warga negara yang dilindungi, bukan seolah-olah penjahat,” pungkasnya. (Bajare007)





