26.2 C
Singkawang
More
    BerandaSosokDari Pondok Ladang Menjadi Doktor (1)

    Dari Pondok Ladang Menjadi Doktor (1)

    | Penulis: Amon Stefanus

    Nama Saya Maran. Lengkapnya Yuvenalis Maran. Saat ini saya adalah dosen di Universitas Widya Dharma Pontianak. Tidak pernah terpikirkan bahwa saya bisa meraih pencapaian yang saya dapat saat ini. Apa yang saya capai saat ini di luar ekspektasi yang saya miliki.

    Puji Tuhan, tanggal 7 Juli 2021 yang lalu saya diperkenankan mencantumkan “Dr” di depan nama saya. Tidak pernah terbayangkan bahwa saya yang merupakan anak seorang peladang bisa menjadi dosen bahkan bisa meraih gelar doktor. Berikut pengalaman saya sekolah dari SD hingga perguruan tinggi.

    Sekolah Dari Ladang

    Pada ada tahun 1975 bersama Bapak,  saya pergi ke SDS Banjur Karab untuk mendaftar di SD. Karena bertubuh kecil, oleh Kepala Sekolah waktu itu, saya diminta untuk masuk pada tahun berikutnya. Tanpa beban saya pulang bersama Bapak saya untuk melanjutkan aktivitas keseharian saya bermain.

    Pada tahun 1976 saya masuk SDS Banjur Karab. Di kelas 1 kami masih menggunakan batu tulis dan grif. Baru di kelas dua kami menggunakan buku tulis dan pensil. Ketika menginjak kelas 3 SD pada tahun 1978 ada perpanjangan tahun ajaran menjadi 1 ½ tahun.

    Pada saat itu saya tidak bisa menerima rapor karena tidak mampu membayar SPP. Waktu itu SPP kami Rp 300,00.  Semenjak kelas 3 saya sekolah dari “Dukuh” (belas pondok ladang yang digunakan terus menerus dalam jangka cukup panjang), karena ikut kakek angkat saya.

    Dari dukuh memerlukan waktu 1 ½ jam untuk sampai ke sekolah. Lokasi dukuh kakek kami bernama Dian Bale. Dian Bale diambil dari dua nama, Dian dan Bale. Dian merupakan sebutan orang Dayak Simpang untuk durian, sedangkan Bale adalah tempat perhentian sementara, untuk beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan. Jadi Dian Bale itu tempat perhentian dari aktivitas seperti berburu, memancing, berladang sambal menikmati buah durian.

    Setiap hari saya harus berjalan kaki dari dukuh (ladang) menuju sekolah. Dari ladang harus melalui  jalan setapak melewati hutan dan semak belukar yang seringkali menimbulkan banyak tusukan duri dan goresan di kaki. Ada beberapa teman waktu itu yang juga sekolah dari ladang. Dari Dian Bale ada kami 4 orang yang setiap pagi pergi ke sekolah yakni saya, Rindu, Lajim dan Kacim. Selain itu ada beberapa teman yang ladangnya lebih dekat seperti: Suder, Tani, Nata, Banatn, Renatn dan Koban.

    Sebagai anak yang paling kecil, biasanya saya disuruh berjalan paling dulu. Anak-anak yang lebih besar tidak mau berjalan duluan karena pagi-pagi di sepanjang perjalanan banyak embun yang biasa kami sebut dengan tonta, yang menempel di di dedaunan. Sebagai orang yang berjalan paling depan sering badan dan pakaian saya basah karena embun pagi.  

    Ketika tinggal di ladang kami di Dian Bale, saya menanam kopi dan durian. Saat ini durian yang saya tanam sudah berbuah. Selama tinggal di ladang saya belajar dengan kakek angkat saya memasang belantik, belajar membuat penjerat. Saya juga sering diajak kakek berburu di hutan belantara.

    Guru-guru saya waktu SD adalah Pak Entji, Pak Tayso, Pak Lantang, Pak Andel, Pak Lukas Lagi, Pak Pantas, Pak Camping, Bu Marselina  dan Pak Buyung.  Dari guru-guru tersebut yang paling berkesan adalah Pak Tayso. Saya pernah dihukum berdiri di depan kelas karena memberikan jawaban PR matematika ke beberapa teman.  Waktu itu ada beberapa teman yang PR mereka benar, tapi ketika ditanya mereka tidak tahu. Ketika ditanya dari mana mereka mendapat jawaban, mereka bilang dari saya. Karena itulah saya dihukum.

    Ketika jam istirahat kami sering main berburu di samping lapangan bola. Satu orang menjadi babi hutan, beberapa orang menjadi anjing dan beberapa orang lainnya menjadi pemburu. Para “pemburu” dan “anjing-anjingnya” berlari mengejar “babi hutan” sampai tertangkap. Saking asyiknya main sampai tidak mendengar peluit masuk berbunyi. Habis bermain berburu biasanya badan penuh keringat dan kadang kepala masih membawa sampah-sampah dedaunan dari hutan.

    Ketika peluit tanda pelajaran berakhir, kami buru-buru berdoa kemudian berlari ke luar. Beberapa teman mengetok kepala beberapa kawan dari kampung lain sebagai “bekal” untuk besok paginya.

    Dalam perjalanan pulang hampir setiap hari kami mandi di jembatan Nek Nyekng. Jembatan Nek Nyekng terletak di tengah-tengah kampung Banjur. Di jembatan itu termasuk dalam airnya. Biasanya ketika sampai di jembatan Nek Nyekng kami melepas pakaian dan terjun dari jembatan yang tingginya sekitar 10 meter dari permukaan air sungai.  

    Pengalaman lainnya yang berkesan ketika pulang-pergi sekolah dari ladang adalah ketika musim buah. Bila musim buah tiba biasanya kami sering tidak makan siang. Di sepanjang perjalanan pulang ke ladang kami akan makan buah-buahan yang kami temui di sepanjang perjalanan. Buah-buahan yang biasa kami makan antara lain; durian, pekawai, duku, langsat, asam Kalimantan, metawak, gandaria, dan buah lainnya. Karena sudah banyak makan buah biasanya sampai ke pondok ladang kami tidak makan lagi karena sudah kenyang.

    Ketika ujian akhir SD pada tahun 1982 kami harus pergi ke Simpang Dua. Jarak dari kampung kami ke Simpang Dua sekitar 8 km. Memerlukan waktu 2 jam berjalan kaki untuk bisa sampai ke Simpang Dua. Ada beberapa teman yang kuingat sama-sama berjalan kaki dari Banjur antara lain: Pilin, Jonson, Johan, Rondah, Mara, dan Sudiarti.  Ketika di Simpang Dua saya menginap di tempat keluarga jauh. Malam-malam kami tidak belajar karena sibuk nonton TV. Waktu itu TV hitam putih baru hadir pertama kali di daerah kami.

    Tidak Pernah Mandi Pagi

    Pada tahun 1982 setelah tamat SD Banjur Karab, saya meneruskan ke SMP Usaba 5 St. Mikael, Simpang Dua. Selama 3 tahun saya dan teman-teman berjalan kaki dari Banjur ke Simpang Dua.  Setiap hari kami menempuh jarak 8 km dengan berjalan kaki selama sekitar 2 jam perjalanan. Beberapa teman yang sama-sama berjalan kaki dari Banjur antara lain: Pilin, Jonson, Sudiarti, Rondah, Mara, Johan dan Timban.

    Waktu itu Kalbar masih termasuk zona waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Sekolah masuk pukul 08.00 pagi (sekarang sama dengan pukul 07.00 WIB). Karena masuk jam 08.00 maka supaya tidak terlambat kami harus berangkat dari rumah pukul 06.00. Pada pukul 06.00 waktu itu masih gelap dan udara begitu dingin. Karena waktu masih terlalu pagi dan cuaca dingin, maka selama 3 tahun saya tidak pernah mandi pagi. Kalau mau sekolah biasanya hanya cuci muka.

    Selain kami para murid, ada satu orang guru yang pergi mengajar dari kampung Banjur. Beliau adalah Pak Landut. Nama lengkap beliau Vitalis Landut. Pak Landut lulusan sekolah guru di Nyarumkop. Beliau adalah guru Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia kami di SMP St. Mikael Simpang Dua. Pak Landut biasanya pergi mengajar dengan mengendarai sepeda. Kadang-kadang beliau memboncengi anaknya Johan yang juga sekolah di SMP St. Mikael. Tapi Johan lebih sering berjalan kaki bersama kami.

    Dalam perjalanan menuju sekolah kami berjumpa dengan kawan-kawan yang kampungnya lebih dekat yang juga sekolah ke SMP St. Mikael. Mereka berasal dari kampung Karab, Bukang, Karayapantoh dan Selantak. Kami kadang betemu dengan Herman, Romanus, Dominika dan Aliong di Karab, Rosalina, Sahara di Bukang, dan Mariawati di Karayapantoh.

    Tantangan yang sering kami hadapi adalah ketika kami sampai ke kampung Karayapantoh. Kami harus menyebrangi Sungai Banjur. Kalau dalam keadaan biasa kami bisa menyebrang tanpa kesulitan. Tetapi ketika air dalam maka kami harus berenang. Kalau banjir kami tidak berani menyeberang. Kami terpakasa berbalik pulang.

    Kadang ketika banjir, kami memanjat pohon kiompok atau sengkuang dari pinggir sungai satunya menuju pohon kiompok atau pohon sengkuang di seberangnya dengan berpindah dari ranting pohon satunya ke pohon lainnya. Bacangkah istilah bahasa Simpangnya. Bacangkah adalah pindah dari ranting pohon satu ke ranting pohon lainnya seperti halnya seekor monyet.

    Guru-guru kami selama SMP yang masih saya ingat antara lain: Pak Harjo, Bu Harjo (Bu Endang), Pak Landut, Pak Bambang, Pak Yoseph, Pak Djambi, Bu Saray, Pak Ritanto, Pak Uray, dan Pak Yustinus.

    Dari guru-guru tersebut yang paling berkesan bagi saya adalah Pak Bambang. Pak Bambang orangnya disiplin, tegas dan terkesan “garang”. Beliau adalah guru matematika kami. Jika ada soal yang mesti kami jawab, beliau selalu menunjuk anak yang duduk di kursi paling belakang, baik itu di pojok kiri maupun di pojok kanan.  Kalau ada siswa yang ngawur dalam menjawab pertanyaan beliau biasanya mengatakan “dengkulmu” atau “batokmu”. (maaf ya Pak Bambang).

    Bertahun-tahun berlalu ketika saya mengantar anak saya kuliah di Jogja, saya berjumpa lagi dengan Pak Bambang. Ternyata kesan “garang” dari Pak Bambang sama sekali sirna, beliau ternyata orang yang sangat baik. Beliau mengantar kami piknik ke mana-mana, termasuk menjemput Bu Harjo di rumahnya di Jogja.

    Dan ternyata walaupun sudah puluhan tahun meninggalkan Simpang Dua, ternyata pak Bambang sangat fasih berbahasa Dayak Simpang. Hingga saat ini pun komunikasi saya dengan Pak Bambang masih berjalan dengan baik. Kami masih sering berkomunikasi lewat telpon.

    Beliau satu dari sekian banyak guru saya yang menginspirasi dan mendidik saya untuk menjadi orang yang disiplin. Warisan beliau kepada saya dan itu nyata: saya mengajar matematika ekonomi di Universitas Widya Dharma Pontianak sekarang. Filosofi dasar matematika, jujur saya pelajari dari beliau. Terima Kasih Pak Bambang, atas didikan Bapak.

    Bersambung

    ***

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita