27 C
Singkawang
More
    BerandaSosokIrjern Pol. (Purn.) Dinar dan Ukuran Kedayakan

    Irjern Pol. (Purn.) Dinar dan Ukuran Kedayakan

    | Penulis: Masri Sareb Putra

    Masuk AKABRI tanpa katabelece tahun 1970-an. Adalah sesuatu yang musykil. Tapi itulah seorang Dinar. Apalagi, calon taruna ini seorang Dayak.

    Ketika upacara pertama dilantik jadi taruna, seorang jendral, komandan upacara, bertanya, “Apakah orang Dayak makan orang?”

    “Siap! Tidak!” jawab Dinar, dengan sikap sempurna.
    Dan, grrrr…..Semua peserta apel tertawa.

    Anak muda berpangkat letnan dua itu mulai meniti karier di dunia kepolisian hingga bintang dua.Pangkat tertinggi yang pernah diraih orang Dayak.

    Tidak pernah menembak langsung penjahat, atau musuh polisi, dari laras senapan di genggam tangannya. Ketika bertugas, ia tidak mengenakan rompi. “Kaki satu di penjara, kaki lain di kuburan,” paparnya.

    Keperkasaan suku Dayak dari Kalimantan hingga benua Eropa. Dalam dokumen milik Troppen Museum di Amsterdam, Belanda, tercatat  delapan orang Dayak dilibatkan dalam ekspedisi tahun 1909, menyusuri sungai dan membelah hutan untuk mencapai puncak tertinggi di Irian Jaya dengan ketinggian 4730 meter yang dinamakan Wilhelmina.

    Kehebatan navigasi alam dan hutan suku Dayak yang misterius dan sampai kini belum ada rujukan akademisnya, ternyata menjadi pilar dalam ekpedisi-ekspedisi Kolonial Belanda, diakui banyak membantu mereka menemukan pertambangan di Papua pada masa lalu. Imej suku Dayak memiliki kekuatan supranatural atau dangerous magic, membuat keberadaan etnis ini kerap dianggap unik dan langka.

    “Karena saya dianggap dari etnis yang langka dan dinilai unik itu lah, mungkin salah satu faktor yang membuat saya lolos dari ujian AKABRI,” ujar Dinar, di suatu sore, di rumah persinggahannya di Kampung Anik, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

    Ukuran Dayak itu bukan semata dari sanguinis (darah/ keturunan) saja dilihatnya. Melainkan sejauh mana tingkah dan perbuatan kita mencerminkan kita ini orang Dayak.

    Di Akabri, Dinar satu kamar dengan Brigjen Polisi Suhartono. Begitu pula ketika di PTIK. Suhartono berpangkat Brigjen Suhartono. Yang kemudian bertemu dalam satu kesatuan tugas, menjadi wakilnya sebagai Wapolda Kalteng.

    Dinar kemudian meneruskan kisah. Saat ia pertama kali mengikuti apel upacara di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Magelang, tahun 1974.

    “Kamu orang Dayak?” begitu pertanyaan yang dilontarkan kepada Dinar oleh seorang Jenderal, pemimpin upacara saat itu.

     “Siap! Dayak,” jawab Dinar lantang.

    “Orang Dayak makan orang?”

    “Siap! Tidak”. Grrrr… Semua peserta apel tertawa.

    “Kenapa kamu tertawa?”

    “Siap! Jenderal tertawa, saya ikut tertawa hahaha…” Dialog itu masih terekam di benak Dinar, sebuah pengalaman yang tak terlupakan, saat ia pertama dilantik menjadi taruna AKABRI di Magelang, tahun 1974.

    Langkah awal, yatim piatu dari Kampung Anik menjejak kariernya di barak militer, hingga menggapai bintang dua di Kepolisian Republik Indonesia. Sebuah kesempatan yang langka. Karena meskipun sudah cukup banyak orang Dayak menjadi tentara atau polisi, namun belum banyak yang menjadi jenderal berbintang, seperti yang dicapai Inspektur Jenderal Polisi Drs. H. Dinar, SH, MBA.

    Kariernya di kepolisian, mulai dari bawah. Brpangkat Kolonel Polisi, Kapolres Agam tahun 1997. Terhitung sejak 10 Mei 1994, Dinar adalah Kapolda Kalteng yang ke-9. Sebelum itu, masih Polwil.

    Ada hal yang menarik dari Dinar. Ketika menjadi Kapolda Kalteng, Dinar mengumpulkan para petani tradisional Dayak.

    Di hadapan, dan disaksikan Gubernur, ia berkata, “Kalian boleh membakar ladang, tapi

    jangan ada asap! Jika sampai menimbulkan asap, saya tangkap!”

    Dan memang sehabis pertemuan itu, tak ada asap. Kebakaran hutan di Kalteng pun dapat

    dieliminasi. Apa rahasianya? “Itulah jika Kapoldanya orang Dayak,” papar Dinar yang ketika itu berpangkat Brigjen Polisi.

    Dan terjadilah. waktu itu, para petani Dayak merasa aman dan nyaman. Sebab dipahami dan dimengerti Negara. Yang diwakili aparat keamanan dan ketertiban.

    “Itulah jika Dayak yang menjabat,” papar Dinar.

    Menurutnya, ukuran Dayak itu bukan semata ditakar dari sanguinis (darah/ keturunan) saja dilihatnya. “Melainkan sejauh mana tingkah dan perbuatan kita mencerminkan kita ini orang Dayak. Bukan pula sebatas kata dan wacana saja. Tapi pada sikap dan perilaku.”

    Lelaki kelahiran Anik Denger, sebuah kampung terpencil di Kalimantan Barat pada 22 Agustus 1954 wilayah Darit ini, tak disangsikan lagi. Dari lahir hingga kini, hati dan pikirannya untuk Dayak.

    Ia bahkan merekam dan menyanyikan sendiri lagu-lagu Dayak, utamanya Kanayatan. Salah satunya “Bujakng Janggut”. Yang mendendangkan, sekaligus menuansakan ke-Dayakan.

    ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita