| Penulis: Masri Sareb Putra
Budaya bisa menjelma ke dalam 7 wujud. Salah dua di antaranya, dalam bentuk bahasa dan kesenian. Adakah kita sadar? Sedang tergerus arus krisis budaya dan identitas?
Hal yang membuat sekelompok orang menjadi suatu suku atau golongan etnis adalah askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menaruh cap, tanda (labeling), pada orang, tanda apa saja.
Penyamak kulit di Jepang, yang dikenal sebagai suku Barakumin, dulu ditandai sebagai Eta, yang berarti: “penuh kotoran”, jorok, bego, kasar, dan sebagainya.
Di Sri Lanka, ada Rodiya, yang juga berarti “yang kotor”. Di Indonesia, dulu di Batavia, penggali parit dari Tegal dan Cirebon disebut “Jawa Lumpur” (Modder Javanen) dan diperlakukan sebagai satu suku.
Askripsi adalah gejala interaksi, bukan gejala isolasi. Askripsi terjadi ketika beragam orang bertemu dalam bermacam lapangan kehidupan. Namun, dalam pertemuan itu seseorang tidak diperlakukan sebagai pribadi, melainkan sebagai contoh atau wakil kelompok dengan cap tertentu.
Menurut Wee dan Lang dalam Saha (2006: 61), askripsi adalah… “identity requires “identiy work” –that is, the work of constructing an identity that is simultaneously inclusive (to insiders) and exclusive (to outsiders). Such “identity work” focuses on linking oneself to local cultural markers.” (Identitas askriptif membutuhkan “kerja identiitas” -yaitu, pekerjaan dari membangun sebuah identitas yang bersamaan inklusif (orang dalam) dan eksklusif (orang luar). Seperti “kerja identitas” berfokus pada menghubungkan diri ke penanda budaya lokal.)
Parakitri dalam tulisannya di Tempo (Tempo 11 Maret 2000) mengemukakan bahwa masuknya faktor waktu atau sejarah, kemudian mengubah askripsi menjadi deskripsi, sikap dan cara bertindak, alias rules of conduct.
Para sarjana menyebutnya “cultural ethnicity.” Berkat Belanda selama ratusan tahun. Ma Jawa dianggap berperangai halus dan terkendali, sedangkan etnis tetangganya dipersepsikan kasar dan terus terang.
Begitulah etnisitas berisi mitos, ingatan kolektif, lambang, dan nilai, ibarat benda-benda berbeda di ruang tiga dimensi melemparkan bayangan seekor binatang buas di dua dimensi.
Para pecandu kekuasaan bisa dengan mudah memainkan semua itu. Waspadalah! Waspadalah!
Manakala ada bara api di sekam, ada sekelompok/segelintir orang ingin memantik, kemudian menyulutnya menjadi kerusuhan massal, massa beringas, amuk massa; kemudian muncullah apa yang dalam kamus-kamus yang hanya dimengerti dan dipegang para etnolog sebagai “manual” istilah “rust en orde”. Bikin rusuh dulu. Kemudian, kuasai mereka.
Itulah yang saya amati, terutama dalam tragedi kemanusiaan di Kalbar pada 1967, 1997 dan kemudian Sampit.
Bila kekuasaan menjadi motif dalam pergaulan sosial, sentimen etnis dikipasi. Cultural ethnicity berubah menjadi political ethnicity. Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang, setelah kurang lebih satu dekade dikipasi.
Pengalaman sejarah, Ibukota RI di tanah Jawa, dekat Pusat Sunda, sama sekali tidak membuat orang Jawa berubah menjadi suku lain dan Sunda menjadi suku lain pula. Mengapa?
Inilah yang perlu kita dalami dan belajar. Kekhawatiran Dayak akan punah setelah pindah IKNI, suatu yang berlebihan. Dalam bahasa Stoltz, bagaimana: turn obstabcles into opporunities. Saatnya Adversity Quotient (AQ) orang Dayak yang dimanjakan alam selama berabad-abad, diasah dan dipertinggi sesuai situasi kondisi. Kebiasaaan menghabiskan rezeki yang didapat hari ini untuk hari ini, perlu ditanamkan sikap menabung untuk hari esok.
Saya lalu teringat adagium yang dicetuskan kawan-rapat dan teman diskusi saya, Yansen Tp: Bukan tempat yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah tempat (dalam arti luas).
Saya menganut keyakinan: Setiap generasi punya gen dan kecerdasan untuk mengatasi persoalan zamannya. Syaratnya: jangan warisi beban sejarah dan ketakutan masa lampau kepada generasi berikutnya.
Tapi kita, orang tua, wajib memberi arah, semangat, dan mewarisi nilai-nilai luhur. Benih padi yang kita semai tidak semuanya tumbuh, akan tetapi jika kita menabur terus, kita pasti akan menuai.
Jangan berhenti menabur. Perkara ada yang mati, yang kerdil, yang subur dan berbuah, itu soal usaha, berkanjang, dan memelihara. Juga harapan dan doa.
Belum banyak yang menyadari bahwa KUASA BUDAYA ini lebih mustajab dibanding kuasa-kuasa lainnya. Termasuk kuasa ekonomi dan politik.
***