25.2 C
Singkawang
More

    Antri

    | Penulis: Nathanael H.S

    Desa diperbukitan Yudea itu tampak sepi. Gegelapan telah menyelimutinya.  Jendela rumah di sudut di desa itu masih terbuka.  Lampu penerang belum dimatikan. Sementara penghuninya duduk berdua sambil becakap-cakap santai.

    “Ma, sudah sekian lama kita menikah, tetapi sampai hari ini Tuhan belum mengaruniakan kepada kita seorang anak,” keluh Zakharia kepada istrinya Elisabet.

    “Entahlah, Pa!”  saut Elisabet, istrinya.

    “Sebenarnya, aku juga sudah gak tahan menanggung malu disebut sebagai seorang mandul,” lanjutnya sambil memegangi perutnya yang sudah keriput.

    Zakharia pun menimpali perkataan istrinya yang tampak putus asa itu.

    “Yaaah, aku pun menyadari keadaanmu.”

    “Maksudku, keadaan kita.  Sebab aku pun sudah usur, ini berarti ….” Zakharia tidak melanjukan kata-katanya.

    “Berarti apa pa?” Tanya Elisabet ingin tahu.

    “Berarti secara fisik kita tidak ada harapan lagi.”

    “Artinya, kita akan menanggung malu seumur hidup,” Elisabet menyimpulkan.

    “Ya, itulah perjalanan hidup kita.”

    Sejenak mereka terdiam.  Pikiran Elisabet menerawang ke masa lalu, ketika mereka baru menikah.  Ia yakin benar bahwa Tuhan akan mengabulkan segera kerinduannya untuk memiliki anak.  Ia berharap besar karena suaminya adalah seorang imam. Ia adalah seorang imam yang saleh, jujur, dan hidup benar di hadapan Tuhan.  Ia pun rajin berdoa dan sudah banyak orang didoakannya dan mereka menerima berbagai berkat.  Lalu, tanpa sadar dia berucap, “Tetapi mengapa, mengapa Tuhan belum menjawab doanya?”

    “Doa siapa, ma?

    “Ya, doamu, papa kan seorang imam.”

    “Aku juga tidak tahu maksud Tuhan, ma.”

    “Sekalipun demikian, aku tidak akan berhenti untuk berdoa.”

    Tekadku memang bulat.  Aku akan terus melakukan tugasku sebagai iman dengan tekun.  Sekalipun sampai setua itu kau belum mendapat kesempatan memimpin ibadah di dalam bait suci. 

    Ketekunan memang perlu diuji.  Coba bayangkan di Palestina pada waktu itu ada dua puluh ribu imam. Mereka dibagi dalam dua puluh empat kelompok. Dan kalian sudah tahu kalau aku dari rombongan Abia. Jadi masing-masing kelompok paling tidak terdiri dari delapan ratus orang.  Kelompokku saja jelas ada seribu imam. Setiap kelompok atau rombongan akan mendapat giliran selama dua minggu dalam untuk melayani di Yerusalem, yaitu pada Hari Raya Pentakosta, Tabernakel, dan Paskah; masing-masing seminggu lamanya. Kesempatanku untuk melayani harus menunggu antrian diantara seribu orang dalam kelompokku dan dua puluh ribu orang diantara semua imam.  

    Karena itu kesempatanku untuk memimpin doa di tempat mahakudus sangatlah kecil.  Karena itu, sebagai seorang imam, jika aku berpeluang, hanyalah satu kali seumur hidupku.  Sebuah antrian yang panjang bagiku.  Seorang manusia, siapapun dia, jika berurusan dengan antrian atau sedang mengantri pasti diuji kesabarannya.  Aku pun tidak luput dari situasi seperti itu.

    Sebuah berita menyenangkan terdengar di telingaku.  Kali ini aku mendapat tugas untuk membakar ukupan di dalam bait suci.  Kulakukan tugasku dengan sungguh-sungguh.  Sementara aku bertugas, seorang malaikat berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan dan berkata kepadaku,

    “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkuan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan engkau harus menamakan dia Yohanes.”

    Selanjutnya aku mendengar penjelasan malaikat tentang keadaan dan sifat anakku nanti. Anakku akan membuat aku dan tetangga-tetanggaku bersukacita atas kelahirannya.  Anakku akan menjadi besar di hadapan Tuhan, tidak akan minum anggur atau minum minuman keras, akan penuh dengan Roh Kudus, akan membuat orang Israel berbalik kepada Tuhan, akan berjalan menjadahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia.”

    Aku tercengang mendengar berita itu.  Lima ciri yang akan menandai anakku disebutkan oleh Malaikat itu. Maka aku pun menjadi ragu.  Tetapi malaikat itu menegurku dan menghukum kau karena aku meragukan beritanya. Aku menjadi bisu. Lalu aku keluar dari bait suci orang yang di luar tidak menanyai aku.  Seandainya mereka bertanya pun, aku tidak bisa menjawab. Aku bisu! 

    Setelah hari raya itu, aku pulang ke desaku di perbukitan Yehuda.  Kuceritakan semua yang terjadi pada istriku.  Tentu semua itu aku tulis, karena aku tak bisa ngomong.  Kulihat istriku tampak bingung karena keadaanku, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena berita itu!

    Sembilan bulan sepuluh hari istriku telah mengandung. Hari kelahiran anakku pun tiba.  Tetangga-tetangga menanyakan nama anakku.  Istriku hanya menunjukkan tulisanku Sembilan bulan yang lalu.  Mereka membacanya dalam bahasa Ibrani: “Yokhanan, –Tuhan (Yahweh) memberkati.”  Aku pun mengikut gerak bibir mereka dan tiba-tiba suara dari mulutku meluncur: “Yokhanan”. 

    Aku bersyukur karena ketekunanku dan kesabaranku menanti karya-Nya selama ini tidak sia-sia.  Aku pun belajar bahwa keinginanku untuk mempunyai anak seharusnya bukan supaya aku puas, dipandang layak, tidak malu di mata masyarakatku; tetapi ternyata supaya mengetahui rencana atau maksud Allah.  Selain itu, aku akan dipakai Allah untuk melaksanakan janji-Nya melalui mukjizat.  Ini pengalamanku.  Bagiku harapan untuk punya anak, jika aku mengingat fisikku yang sudah renta ini, tentu akan pupus.  Tetapi bagi Tuhan tiada yang mustahil karena rencana-Nya luar biasa.  Hal ini benar-benar kusadari ketika mengetahui bahwa salah satu sifat anakku adalah dalam roh dan kuasa Elia.  Ia akan mengadakan kebangunan rohani.  Ini mengingatkanku tentang janji Allah yang disampaikan kepada nabi Maleakhi yang mengatakan, “Lihat, aku akan mengutus utusanku supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! ….”

    “Inilah waktunya,” hatiku berbisik. 

    “Lihatlah, Herodes!  Ia hidup dalam dosa dan persoalan immoral masyarakat tidak dipedulikan.  Polygami dianggap wajar.  Dua anaknya dicekik karena tidak sependapat dengan dia.  Coba perhatikan komentar orang di sekitar!  Ada yang mengatakan bahwa lebih baik menjadi babi peliharaan Herodes daripada jadi anaknya,” pikiranku mencoba menafsirkan situasi sekelingku.

    Kuucapkan lagi rasa syukurku setelah merenungkan rencana dan janji Tuhan yang digenapi dalam hidupku melalui anakku sekalipun “antrian panjang” harus kulalui.  Tuhan memenuhi janji-Nya adalah ungkapan lain dari “TUHAN (Yahweh) mengingat” yang sama juga dengan arti Zakharia, namaku.  Barangkali itulah yang membedakan aku dengan kisah hidup orang lain. 

    Sumber gambar: https://misi.sabda.org/

    ***

    Bionarasi

    Heru Susanto

    Nathanael Herus Susanto, dilahirkan di Salatiga pada 19 Agustus 1961. Pengajar mata kuliah bahasa Yunani dan Ibrani.

    Telah menulis dan menerbitkan buku: Bahasa Ibrani Bagi Pemula Untuk Mempelajari Tenakh (2021).

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita