| Penulis: R. Masri Sareb Putra
Jangan-jangan, Sunda-Dayak itu saudara satu asal.
Kedua etnis sama-sama jadi trending topic hari-hari terakhir ini. Sebab dipakai sebagai “batu loncatan” untuk menaikkan pamor seseorang. Namun kemudian, menjadi “batu sandungan”. Sebab yang bersangkutan menjadi public enemy. Ia menghina bukan saja etnis tertentu, melainkan melecehkan kemanusiaan.
“Sedang kami pelajari saksama. Jika ada unsur penghinaan, akan dihukum adat,” demikian salah satu pengurus teras Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).
Kita lihat saja nanti.
Telah tercatat 3 tokoh nasional, dan 1 perusahaan, yang dihukum/ denda secara adat oleh orang Dayak. Hukum-adat itu dipalugodamkan, biasanya setelah mejelis pertimbangan Adat Dayak menaruh di dalam dacin suatu ucapan/ tindakan seseorang. Kemudian ditimbang-timbang dari berbagai segi. Apakah ucapan/ tindakan itu melawan adat dan melanggar norma dan merusak tatanan budaya Dayak?
Apakah si peleceh Dayak kali ini akan diajukan ke Sidang Peradilan Adat, yang dikenal magis itu?
Masih dalam proses penelisikan!
Bukan itu poin saya di Narasi ini. Hendak saya paparkan, telah lama relasi Sunda-Dayak jadi topik kajian saya. Di dalam menulis “The History of Dayak”, saya membaca naskah-naskah kuna. Bertemulah saya dengan penelitian-penelitian dari Jerman dan Amerika. Salah satunya, Blust.
Saya membaca sejarah yang berikut ini:
Dari riset dan catatan diketahui bahwa Borneo terhubung dengan daratan Asia Tenggara, sebagai bagian dari daratan yang dikenal sebagai Sundaland, dari 2,5 juta tahun yang lalu hingga sekitar 10.000 tahun yang lalu ketika deglasiasi global mengubahnya kembali menjadi sebentuk pulau. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa manusia tiba di Sarawak, melalui darat, setidaknya 40.000 tahun yang lalu.
Deglasiasi adalah transisi dari kondisi glasial penuh selama zaman es, ke interglasial hangat, ditandai dengan pemanasan global dan kenaikan permukaan laut karena perubahan volume es benua.
Deglasiasi adalah transisi dari kondisi glasial penuh selama zaman es, ke interglasial hangat, ditandai dengan pemanasan global dan kenaikan permukaan laut karena perubahan volume es benua.
***
“Musim rasis telah tiba. Anggota dewan dari PDIP menghinda Sunda. Caleg gagal PKS menghina Dayak. Sunda dan Dayak jangan terprovokasi!”
Demikian pesan sahabat, sekaligus saudara “seperguruan saya”, Pepih Nugraha. Saya sendiri tidak merasa terhina.
Menurut saya, yang kata orang “filsuf” ini. Hinaan, apalagi ucapan, dari luar suatu objek yang baik, tidak akan mengubah apa pun tentang objek itu. Objek tetap baik. Hinaan itu yang akan kembali menghukum si pelaku!
Pelecehan tidak mengurangi sesuatu/objek yang baik dalam dirnya. Sebaliknya, pujian tidak menambah kemuliaannya. Tapi, kan, dalam hidup bermasyarakat, kita mengenal norma-norma. Kepantasan dan kepatutan. Ada ruang publik dan ada ruang privat.
Ada hal yang pantas diucapkan hanya ketika berdua saja. Ketika ada beberapa orang, tapi menjadi tidak pantas diucapkan di depan publik; apalagi dengan ujaran kebencian. Bahkan, sesuatu/ hal yang benar pun harus disampaikan secara baik. Apalagi hal yang tidak benar yang disampaikan sengaja untuk suatu tujuan politik tertentu.
Di sanalah masalah mulai muncul.
Toh demikian, saya mafhum. Tidak semua Dayak seperti saya. Untuk itu, saya memahami, jika mereka “marah”. Dan akan menuntut pertanggungjawaban.
Sementara, “Sunda dan Dayak jangan terprovokasi!” adalah poin saya.
ilustrasi: Sundaland map/istmewa.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.