25.2 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaLegenda Bahtuk Besurat

    Legenda Bahtuk Besurat

    Batu1

    | Penulis: Jonison

    Sore itu cuaca cerah. Pertanda musim kemarau sudah tiba. Angin bertiup perlahan. Dari kejauhan kupandangi arus Sungai Lumaluh yang deras dan bergelombang tak henti-hentinya menerjang bebatuan di pinggiran pantai. 

    Entah mengapa. Pandangan mataku terfokus pada sebuah batu besar yang terbaring santai di tengah-tengah arus sungai. Bahtuk Besurat. Demikianlah dari dulu orang-orang menyebut nama batu tersebut.

    Aku mulai melamun. Teringat kembali akan peristiwa masa lalu. Masa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Ya, tak terasa 45 tahun silam sudah berlalu.

    Saat musim kemarau tiba, ketika pulang sekolah, bagiku makan dan minum adalah persoalan kedua, yang penting berenang.

    “Ayo kita berenang di Bahtuk Besurat!” teriakan kawan-kawan memanggil.

    Setelah meminta ijin, tanpa perlu menunggu jawaban dan persetujuan orangtua, aku pun langsung nyelonong pergi.

    Riuh rendah suara sorakan kami. Gemuruhnya gelombang, bercampur baur dengan suara knalpot mesin kendaraan air yang lalu lalang melintasi arus sungai menambah semaraknya suasana kala itu. 

    Baca juga: Ampar Boyu, Potensi Wisata Bertuah

    Kami bermain kejar-kejaran di atas hamparan batu, sekitaran Bahtuk Besurat. Melompat ke dalam air dan menyelam. Tidak ketinggalan main perosotan di atas “liang bosoling” dan jika merasa agak lelah kami beristirahat sejenak.

    Kami berjemur, berbaring dan tidur tiduran di atas Bahtuk Besurat.

    “Kalau mandi begini, meskipun perut kosong tetapi terasa kenyang,” seloroh salah satu kawan kami.

    Kami pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

    Tiba – tiba…

    “Cang, ayo pulang”, demikian suara teriakan seorang ibu memanggil nama salah satu teman kami. Di tangannya sudah siap sepotong rotan panjang semeter untuk menakuti-nakuti. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, dengan cara mengendap-endap. Takut dimarahi orang tua karena terlalu lama berenang di sungai.

    “Kek, kok melamun?” sapa seorang cucu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Di tangan kanannya ia memegang secarik kertas putih.

    “Sore-sore kok pegang kertas, apa isinya?” tanya ku ingin tahu.

    “Surat undangan,” jawabnya singkat sambil menyodorkan kepadaku.

    “… di Dusun Batu Besurat,” Demikian alamat yang tertulis di surat tersebut.

    Aku terkesima. Ternyata Bahtuk Besurat ini sudah menjadi nama sebuah dusun di sini. Batu ini pasti punya kisah sampai-sampai namanya diambil sebagai nama sebuah dusun.

    Tanpa sadar, aku langsung bertanya kepada si pemegang surat, “Di mana Ibu Duaner sekarang?”

    Aku yakin beliau pasti tau cerita tentang Bahtuk Besurat. Yohana Duaner adalah seorang ibu. Usianya sudah di atas 60 tahun.

    Beliau salah satu sesepuh masyarakat yang sudah lama berdomisili di Desa Ambalau. Asam garam dan lika-liku kehidupan di tempat ini sudah ia rasakan dan pahami.

    Bahtuk Besurat terletak di tengah-tengah arus Sungai Ambalau. Tepatnya di Dusun Batu Besurat, Desa Nanga Ambalau, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang (Kalbar). 

    Berjarak kurang lebih 300 meter masuk Sungai Ambalau  dari persimpangan Sungai Melawi. Kala musim penghujan dan air sungai banjir, batu ini tidak kelihatan. Saya pun menemui ibu Yohana Duaner. Rumahnya berjarak sekitar lima ratusan meter dari lokasi dimana Bahtuk Besurat berada.

    Baca juga: Legenda Bahtuk Nyandung

    Singkat cerita, ibu Duaner pun mulai berkisah. Pada masa itu, orang-orang menyebutnya Kampung Lumaluh.

    Dahulu, di sini ada sebuah perkampungan yang cukup ramai. Masyarakatnya hidup rukun dan damai. Adat istiadat nenek moyang selalu dipegang teguh. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani (berladang), mencari rotan dan damar, ada pula yang hidup dengan berburu binatang liar di hutan. 

    Di tengah-tengah kampung, terdapat satu keluarga  yang cukup terpandang. Keluarga tersebut memiliki tanah pertanian yang sangat luas. Barang-barang antik seperti tempayan, gong, kelenang dan lain-lainnya.

    Batu3
    Ibu Yohana Duaner & batu bersurat

    Mereka memiliki banyak pekerja atau anak buah yang bisa diandalkan. Apa yang menjadi kebutuhan pokok orang di kampung tersebut  ada di tempat mereka.

    Tersebutlah sepasang suami istri ini memiliki anak tunggal. Seorang gadis yang sangat cantik bak bidadari dari khayangan. Kulitnya putih bersih, halus selembut kulit bayi baru lahir. Rambutnya bagaikan mayang terurai, panjang menyapu lantai. 

    Sang gadis sedang dipingit oleh kedua orang tuanya. Untuk melayani kebutuhan sehari-harinya, disiapkan dua orang dayang dan dua orang pengawal yang sangat setia. 

    “Perintahmu adalah tugas bagiku!” demikian yang tertanam dalam pikiran para dayang dan pengawal.

    Selama dalam pingitan tidak diperkenankan keluar rumah dan berjumpa dengan siapa pun.

    Hanya boleh keluar rumah dikala subuh menjelang untuk mandi di bawah penjagaan dayang dan pengawal. Ketika mandi di Sungai Lumaluh gadis tersebut berlindung di balik batu besar, supaya tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Demikianlah keseharian gadis pingit tersebut.

    Konon, cerita keberadaan gadis cantik, yang dipingit di kampung Lumaluh, terdengar sampai kemana-mana, bahkan sampai ke  kota. Banyak pemuda berniat ingin meminang. Tetapi ketika mendengar syarat yang diajukan oleh kedua orang tua gadis, maka niat tersebut terpaksa hanya dipendam saja.

    Tersebutlah seorang pemuda terpelajar yang kebetulan sedang berlibur di kampung Lumaluh. Sang pemuda adalah anak seorang haji yang tinggal di kota.

    Sang pemuda sangat penasaran dengan cerita gadis pingit yang ada di kampung tersebut. Dia ingin bertemu, ingin menyaksikan sendiri bagaimana rupa seorang gadis pingit. 

    Tapi apa daya, karena gadis pingit tidak boleh ditemui, apalagi sekedar untuk berbincang- bincang. Sang pemuda berpikir dan berusaha bagaimana caranya agar bisa bertemu, menyapa atau paling tidak melihat sekilas wajah gadis pingit. 

    Pada suatu kesempatan, ia diberitahu bahwa jika ingin melihat wajah gadis pingit adalah ketika subuh menjelang. Subuh adalah saatnya sang gadis mandi di Sungai Lumaluh, di balik batu besar.

    Sang pemuda mulai menyusun rencana. 

    Pada saat subuh…

    Sang pemuda berpura-pura pergi mencari ikan dengan membawa jala. Ia mengendap-endap dan bersembunyi di antara bebatuan, tak jauh dari tempat biasa si gadis mandi.

    Pucuk dicinta ulam pun tiba. Di sana di dekat batu besar akhirnya sepintas  terlihat bayangan beberapa orang berjaga.

    Ia mulai berjalan perlahan mendekati bayangan. Ia berharap-harap cemas.

    Seketika jantungnya berdetak kencang. Samar-samar wajah cantik gadis pingit sudah terlihat walau dalam keremangan. 

    Sang pemuda bertekad. Ketika akan mendekati batu besar tempat si gadis berlindung, ia dikagetkan dengan suara bas sang pengawal.

    “Menjauhlah dari tempat ini!” perintah pengawal. Sang pemuda termangu. 

    Ia terpaksa pulang dengan perasaan hampa. Saat kembali ke rumah, wajah gadis pingit kembali terbayang meskipun dalam kesamaran. 

    Sang pemuda mulai jatuh cinta pada bayangan pertama. Ia menguras kembali pikirannya untuk mencari cara. Agar ia dapat menyampaikan langsung keinginan untuk bertemu dan mengutarakan isi hatinya. 

    Akhirnya, diambil secarik kertas dan sebuah pena. Ditulisnya sebaris kalimat, tentang niatnya ingin menyapa, memandang dan bahkan jika diijinkan ia ingin melamar untuk dijadikan sebagai istri. 

    Surat tersebut diletakkan di atas Bahtuk Besurat, sebelum gadis turun mandi. Ia berharap gadis pingit akan melihat dan membacanya.

    Menjelang subuh, usai mandi di samping lipatan baju pengganti, gadis pingit melihat lipatan kertas putih. Kertas itu dibawa pulang. Saat dibuka, ternyata ada tulisan. Tetapi gadis pingit tidak tahu artinya. Ia penasaran dan bertanya kepada dayang,” siapa pemilik benda putih?”.

    Dayang menjelaskan. “Setiap menjelang subuh ada seorang pemuda mengendap-endap ingin bertemu. Tetapi pengawal melarangnya”.

    Gadis pingit termangu.

    “Besok, ijinkan dia menemuiku,” jawab gadis pingit.

    Gadis pingit sudah sering mendengar kabar bahwa banyak pemuda tertarik kepadanya. Naluri gadis pingit berbisik,” dari caranya, tentu ia bukan seorang pemuda biasa”.

    Di tempat lain…

    Sang pemuda dalam penantian.

    Menanti apakah akan ada sepenggal kisah esok hari. Ia berharap sepenggal kisah itu semakin menyuburkan tunas cinta di hatinya…

    Ketika “kolabot nguak” ayam jantan pun memamerkan kokokan pertamanya. Ia pun terbangun. Ia ingin segera menggapai asa di sana.

    Di sana di tempat biasa si gadis pingit mandi.

    Benar saja.

    Dari kejauhan, samar-samar dilihatnya lambaian tangan pengawal.

    “Ayo ke sini, sang gadis berkenan bertemu,” panggil pengawal.

    “Kanda tahu, kalau aku seorang gadis pingit. Aku tidak mengenal bangku sekolah. Mana mungkin aku bisa mengetahui isi surat kanda,” kata gadis pingit seolah-olah meminta penjelasan.

    Sang pemuda tersadar. Ia lupa, kalau gadis pingit tidak bisa membaca dan menulis”.

    Namun, bukan terpelajar namanya jika sang pemuda tidak bisa mengambil sikap.

    Tidak menunggu lama, Ia pun segera menumpahkan isi hatinya.

    “Jika niat kanda serius, kakanda dapat menemui kedua orang tuaku!” Gadis pingit berkata dan mengakhiri pertemuan mereka seraya pulang.

    Sang pemuda pulang dengan perasaan senang bukan kepalang. Ketika pagi menjelang, ditemuinya tetua kampung untuk diajak menemui kedua orang tua gadis pingit. Diutarakanya maksud dan tujuan kedatangannya bersama tetua kampung.

    “Jika bapak dan ibu berkenan, saya ingin meminang sang putri untuk menjadi pendamping hidup saya,” kata sang pemuda membuka cerita. 

    Sang pemuda menceritakan siapa dirinya tanpa ada yang disembunyikan.

    Singkat cerita, niat sang pemuda direstui, dengan syarat sebagaimana layaknya meminang seorang gadis pingit.

    Bagi sang pemuda yang aslinya adalah anak seorang haji yang kaya raya, syarat yang diajukan bukanlah perkara sulit.

    Maka ditentukanlah hari untuk meminang. Peristiwa hari itu melahirkan sejarah yang akan dikenang sampai kini. Konon katanya, pernikahan antara sang pemuda anak pak haji dan gadis pingit, merupakan awal dimana gadis atau bujang Dayak boleh menikah dengan  gadis atau bujang dari suku Melayu dan suku lainnya.

    Sejak peristiwa keberhasilan sang pemuda meminang gadis pingit, yang diawali dengan sepucuk surat yang dititip di atas batu tempat berlindung saat gadis pingit mandi, maka orang-orang menamai batu tersebut dengan nama “Bahtuk Besurat” yang berasal dari kata “batu dan surat”. 

    “Bahtuk Besurat” yang berarti batu tempat meletakkan surat.

    Kembali ibu Duaner menjelaskan. 

    “Dulu posisi Bahtuk Besurat adalah berdiri tegak, tetapi karena termakan waktu dan seringnya air sungai banjir menyebabkan posisi batu sedikit demi sedikit berubah seperti sekarang”.

    Bu Duaner berpesan,”posisi Bahtuk Besurat boleh berubah, tetapi ceritanya tidak boleh berubah. Ingatlah bahwa, dimana ada kemauan di situ ada jalan.

    Setelah tanya jawab pada beberapa bagian untuk meminta penegasan, saya pun pamit dan pulang.

    “Tuhui sokodiling” bersahut-sahutan pertanda mentari akan segera menuju peraduannya, mengiringi langkah saya pulang.

    ***

    Catatan:

    • Liang besoling = hamparan batu yang licin
    • Sungai Lumaluh = Sungai Ambalau
    • Kolabot nguak = suara binatang hutan sejenis monyet (klempiau) 
    • Sokodiling = serangga hutan yang bersuara nyaring pada saat menjelang magrib.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita