| Penulis: R. Masri Sareb Putra
Orang Dayak masih segelintir berprofesi jurnalis. Satu dari segelintir itu Akim, Stefanus.
Lelaki tambun ini dilahirkan pada 4 Agustus 1977 di kampung Ampaning, Desa Kubu Padi II, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya sebagai putra Dayak Kanayatn. Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar Ampaning, kemudian SMP Putra Budi Mas di tempat yang sama.
Persis setahun setelah Akim tamat, sekolah tersebut pun tutup. Penyebabnya tak ada lagi siswa yang mau melanjutkan di sekolah swasta tersebut, sementara guru-gurunya juga banyak sudah alih profesi. Akim merasa ini ujian pertama dalam hidupnya yang cukup berat. “Bayangkan, saat naik kelas tiga SMP, kami sekelas hanya berdua. Itu sampai tamat.”
Di tengah teman-teman seangkatan asyik bermain, ia harus bergelut menyelesaikan sekolah. Tantangan lain, guru jarang masuk. Untuk menyiasati ketinggalan belajar, Akim menyisihkan uang saku dari orangtua serta hasil menoreh karet untuk membeli buku paket. Awal-awal dia titip beli buku kepada keluarga yang akan “turun” ke Pontianak. Namun, kemudian ia berusaha pergi sendiri ke kota untuk membeli buku.
Seperti diketahui, kondisi tahun 1990-an sangat berbeda dengan saat ini. Sekarang ke Pontianak bisa pakai sepeda motor dan ditempuh hanya dalam waktu setengah jam. Dulu butuh waktu setidaknya dua hingga tiga jam. Itu pun berangkat subuh sekitar pukul 03.00 WIB dan kembali ke kampung pukul 15.00.
Saat pengumuman ujian SMP, hasil nilai Ebtanas murni (NEM) Akim cukup menggembirakan. Ia berencana melanjutkan SMA di St. Fransiskus Asisi Pontianak. Ternyata di sekolah tersebut sudah penuh, tak ada bangku yang tersedia. Atas saran pastor paroki St. Fidelis Sungai Ambawang, Akim akhirnya melanjutkan ke SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop di Singkawang. Tamat SMA, ia menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Setelah lulus, Akim satu dari segelintir orang Dayak yang terjun di dunia jurnalistik. Pada 1 Agustus 2008, ketika Pers Daerah (Persda) dari Kompas Gramedia mendirikan Tribun Pontianak, ia salah satu jurnalis angkatan pertama. Ia mengawali karier di dunia jurnalistik sebagai redaktur.
Kariernya perlahan naik sebagai Asisten Manager Liputan dan belakangan dipercaya sebagai Manager Liputan. Selain tekun dan berpotensi, ia juga berpengalaman. Akim menggeluti dunia jurnalistik bahkan sejak kuliah. Ia tercatat bergabung dengan pers kampus, Mimbar Untan. Ia kemudian bergabung dengan Harian Equator-Jawa Post Media Grup. Setelah berkarier sekitar 4,4 tahun dan dipercaya sebagai editor, ia mengundurkan diri. Ia bergabung dengan Harian Borneo Tribune di Pontianak. Ia juga sempat aktif menjadi stringer di sejumlah koran serta majalah terbitan Jakarta.
Di sela-sela kesibukan pekerjannya, ia menyempatkan diri memberikan pelatihan kepada siswa, mahasiswa, UKM, pegawai dan karyawan, serta masyarakat umum soal jurnalistik.
Akim juga pernah aktif sebagai blogger dan bergabung di Borneo Blogger Community (BBC). Ia membagikan pengalaman dan teknik menulis kepada orang yang membutuhkan. Baru-baru ini, ia diundang Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk memberikan pelatihan menulis kepada siswa-siswi binaan serta kader WVI di Kecamatan Sajingan Besar, Sambas yang terletak di perbatasan antara Indonesia-Malaysia.
Ia juga ditugaskan kantornya untuk menangani dan mendampingi mahasiswa magang. Sejumlah kampus sering mengirimkan mahasiswa untuk magang di Tribun Pontianak seperti Universitas Tanjungpura, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, hingga Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Jakarta yang merupakan grup Kompas Gramedia pula. Akim memberikan pelatihan hingga menemani para mahasiswa magang adalah bagian dari tugas untuk mengabarkan dunia jurnalistik lewat cara lain.
Akim jurnalis yang terus-menerus belajar dan mengasah keterampilan. Ia pernah mengikuti sejumlah kursus dan pelatihan. Di antaranya, jurnalisme damai yang diselenggarakan oleh Peace & Conflict Journalism Network (Pecojon).
Untuk mengasah kemampuan menulis ia mengikuti kursus Jurnalisme Sastrawi di Yayasan Pantau Jakarta diasuh Andreas Harsono dan Janet Steele dari George Washington University. Ia juga mengikuti pelatihan Meliput Mereka yang Terpinggirkan yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Ford Foundation.
Pada November-Desember 2012, Akim menerima fellowship Australia Leadership Award (ALA) untuk kursus pendek di Asia Pacific Journalist Centre (APJC) pada program Climate Change and Environment. Kegiatan yang berlangsung selama enam pekan ini diikuti sejumlah wartawan dari Indonesia, Timor Leste, Vanuatu, Kiribati, Fiji, Kepulauan Salomon, Samoa, serta Papua Nugini. Ia juga mengikuti Diplomacy Training Program’s 23rd Annual Human Rights and People’s Diplomacy Training for Human Rights Defenders from the Asia Pacific Region and Indigenous Australia di Dili, Timor Leste pada 17-30 Novemer 2013.
Akim satu-satunya peserta dari Kalimantan lolos seleksi yang dibiayai Ford Foundation mengikuti kegiatan. Pesertanya berasal dari Australia, Indonesia, Timor Leste, India, Nepal, Kamboja, serta Vanuatu. Program ini dilaksanakan atas kerja sama Faculty of Law University New South Wales (UNSW) dan Diplomacy Training Program’s – Building Human Rights Capacity in Asia and the Pacific. Peserta rogram ini aktivis dan wartawan yang ingin belajar advokasi internasional dan didirikan Jose Ramos Horta, Presiden Timor Leste.
“Seorang wartawan harus terus belajar dan meningkatkan kapasitas. Sebab, wartawan bekerja di tengah-tengah masyarakat yang beragam serta cerdas,” kata Akim yang menjadikan Matius 5:13 sebagai moto hidupnya. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar,dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Baginya, menjadi wartawan dan menulis adalah soal melayani masyarakat luas, bukan hanya pembaca, juga narasumber. “Lewat profesi ini, saya bisa menyuarakan orang yang suaranya samar-samar atau bahkan nyaris tak terdengar,” terangnya.
Referensi
R. Masri Sareb Putra. 2015. 101 Tokoh Dayak Yang Mengukir Sejarah 2. Tangerang: Essense. Hlm. 5-8.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.