| Penulis: Jonison
Ampar Boyu sering juga disebut oleh sebagian orang suku Dayak Uud Danum dengan nama Liang Bojuan adalah nama sebuah tempat di Sungai Lue yang memiliki potensi wisata yang sangat menjanjikan.
Ampar disingkat dari kata hamparan. Boyu (bahasa Melahui) adalah nama pepohonan yang mirip pohon petai.
Nama Ampar Boyu atau Liang Bojuan hanyalah beda sebutan, kalau orang Melahui cenderung menyebutnya Ampar Boyu sebaliknya orang Suku Dayak Uud Danum menyebutnya Liang Bojuan.
Ampar atau Liang dan Boyu atau Bojuan memiliki arti yang sama.
Ampar Boyu atau Liang Bojuan adalah hamparan batu tersambung rapi yang di kelilingi pepohonan bojuan. Ditengah-tengah hamparan batu terdapat lavang berisi air yang tenang berwarna biru kehijauan.
Dahulu di kiri kanan hamparan/liang tumbuh subur berjejer rapi pepohonan boyu atau bojuan, membuat suasana sejuk dan segar dikala siang hari.
Sekarang tumbuhan bojuan sudah hampir musnah berganti tanaman karet milik penduduk. Sebagian sisi hamparan ditumbuhi tumbuhan “pahkuk joak” (semacam pohon pakis yang tumbuh merambat di pepohonan yang tinggi)
Ampar Boyu terletak tidak jauh dari pusat ibukota kecamatan, tepatnya di Dusun Sungai Ombak Desa Lunjan Tingang Kec. Ambalau Kab. Sintang.
Dari Dusun Sungai Ombak menuju ke Ampar Boyu melewati Jalan negara yaitu jalan lintas Kecamatan Ambalau- Kec. Serawai.
Jarak dari Kantor Desa Lunjan Tingang kurang lebih sekitar 1,5 Km, dengan waktu tempuh 15 menit berjalan kaki atau sekitar 4 menit berkendara sepeda motor sampai di jembatan penyeberangan Sungai Lue. Di dekat jembatan ada persimpangan jalan setapak. Menyusuri jalan setapak berjalan kaki sekitar 3 menit sampai ke lokasi.
Siang itu, terik mentari begitu hangat. Saya mengajak seorang pemuda bernama Markus untuk pergi sekedar berfoto-foto di Ampar Boyu. Kami naik sepeda motor Suzuki menuju persimpangan jalan menuju jalan setapak ke arah lokasi. Setiba di Ampar Boyu perlahan suasana alam terasa sejuk. Pepohonan yang hijau, rindang dan tinggi menjulang dibaluti tumbuhan pakis merambat terlihat bergoyang, seolah menyambut kehadiran kami.
Terdengar nyanyian burung-burung yang bertengger di ranting pepohonan, berkicau seolah tiada henti. Riak-riak sungai seakan mengucapkan salam melihat kedatangan kami. Pesona alamnya yang eksotis, membuat hati ini seolah enggan untuk kembali jika sudah sampai di sana.
Ampar Boyu jika dikelola dapat menjadi tempat wisata yang menjanjikan, selain karena lokasi yang mudah dijangkau, pemandangan di sekitarnya juga sungguh sangat indah. Jika tidak turun hujan barang semalam maka akan nampak hamparan batu yang tersambung rapi bak keramik lantai yang dipasang oleh ahli bangunan. Di kiri kanan hamparan batu ada beberapa batu besar yang seolah-olah rindu ingin mengajak untuk diduduki. Di tengah – tengah hamparan batu terdapat “tolahkak / lavang” (semacam telaga) berwarna biru kehijauan yang airnya tenang seperti air di dalam kuali. Konon menurut Juris seorang pencerita di dasar lavang ada lobang yang terhubung sampai ke sungai Melawi di daerah Toluk Bojuan.
Jika musim penghujan Sungai Lue kebanjiran, Ampar Boyu tidak akan kelihatan.
Ampar Boyu memiliki beberapa kisah unik dan nyata yang dapat dijadikan pembelajaran hidup. Juris kembali berkisah.
Dahulu di sekitar Ampar Boyu terdapat sebuah perkampungan kecil. Suatu hari di musim kemarau panjang, warga kampung sepakat akan “nuvok” (menuba) di Sungai Lue.
Menuba adalah menangkap ikan dengan cara menggunakan akar kayu khusus yang dipukul-pukul supaya airnya keluar dan disebar ke sungai). Menuba pada masa itu bukan semata-mata hanya ingin memperoleh ikan, tetapi lebih kepada kepercayaan untuk membunuh segala kuman penyakit dan sekaligus mengangkat nama kampung menjadi tersohor. Di sana akan ada kerja sama, solidaritas dan kekompakan yang sangat tinggi.
Alat-alat yang dibawa berupa alat tradisional seperti “tiruk, sopahkang, duhuk, pasai, puhket, bokak” dan lain sebagainya.
Di kampung tersebut hidup seorang anak lelaki yatim piatu (tidak pernah disebutkan namanya) kira-kira berumur 9 tahun. Ia tinggal bersama paman dan bibinya. Dalam keseharian ternyata paman dan bibinya tidak bersikap baik kepadanya. Apa yang dikerjakan tidak pernah benar di mata mereka.
Ketika menuba ikut pula anak tersebut. Ia pergi dengan membawa “sopahkang” (tombak yang terbuat dari besi yang menyerupai garpu tetapi di ujungnya yang tajam terdapat pengait) kepunyaan pamannya untuk menombak ikan.
Sepanjang Sungai Lue riuh rendah bunyi orang yang ikut menuba. Berbagai jenis ikan didapatkan. Ada yang besar ada pula yang kecil.
Di lavang Ampar Boyu si anak lelaki melihat seekor ikan besar yang langsung ditombak. Tombak mengenai ikan dan mata tombak terlepas dari tangkainya dan terbawa oleh ikan ke dasar lavang. Si anak lelaki kebingungan, jika kembali ke rumah tanpa membawa tombak maka ia sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyelam ke dasar sungai mencari kemana ikan membawa tombak.
Konon ceritanya ketika sampai di dasar lavang keadaan persis seperti di daratan.
Di sana terdapat jalan setapak yang bagus, bersih dan rapi.
Anak lelaki tersebut terus menyusuri jalan untuk mencari mata tombaknya. Di ujung jalan dijumpai banyak rumah penduduk yang lengkap dengan peliharaan berupa ayam dan babi.
Didatanginya rumah pertama lalu dinaiki. Ia diterima oleh yang empunya rumah dengan sangat ramah bahkan disuguhi makanan dan minuman, layaknya di alam manusia.
Usai menikmati makanan lalu diutarakan maksud kehadirannya secara jujur. Ia menceritakan perjalanannya hingga sampai ke tempat tersebut. Yang empunya rumah mendengar dan menjawab kalau “sopahkang” itu ada dan disimpan di belakang rumah. Sopahkang tersebut diserahkan kembali kepada anak yatim. Anak yatim sangat berterima kasih. Anak yatim pun pamit akan pulang. Ketika akan keluar rumah ia dibekali “bahtuk pocihan bolum” (batu bertuah untuk bekal hidup di alam manusia). Sang empunya rumah berpesan agar anak lelaki pulang lewat jalan belakang rumah. Lalu disusuri jalan tersebut. Tanpa ia sadari tiba-tiba ia sudah timbul di alam manusia di Toluk Bojuan (Teluk Bojuan sekarang masuk Kecamatan Serawai).
Dari Toluk Bojuan, ia pun menumpang sampan orang untuk mudik kembali ke kampung Lue.
Hari berganti bulan dan tahun, Anak yatim sudah beranjak dewasa. Ia pun menikah. Pekerjaan sehari-hari adalah sebagai seorang petani. Kehidupannya sudah berubah. Ia sangat makmur dan menjadi pemimpin di kampung tersebut berkat ‘bahtuk’ pemberian Otun Kanan penunggu Ampar Boyu.
Selain memiliki kisah unik, Ampar Boyu juga memiliki kisah nyata.
Sambil menghirup kopinya, Juris pun bercerita lagi.
Di daerah sekitar Ampar Boyu orang tertentu sering mengalami “tonuah”. Tonuah artinya peristiwa berjumpa dengan seseorang yang menjelma manusia biasa.
Biasanya menyerupai orang yang sudah dikenal dan berpenampilan tidak menarik atau bahasa kasarnya orang yang tidak disukai.
Permintaan dalam “tonuah” itu pun bermacam-macam dan terkadang tidak masuk akal. Penjelma itu hanya sekedar menguji manusia, apakah manusia peka atas permintaannya.
Orang yang biasa didatangi (tonuah) adalah orang-orang yang tidak percaya akan mitos.
Ada orang yang diberikan kesempatan “tonuah” tetapi karena mengabaikannya, dengan alasan seperti di atas, akan tersadar setelah yang menjelma itu tiba-tiba lenyap dengan sesuatu pesan.
Isi pesan tergantung apakah permintaan dituruti atau tidak.
Jika dituruti maka kehidupan akan lebih baik, tetapi jika tidak dituruti maka orang tersebut kehidupannya akan lebih sulit dari biasanya.
Juris pun memberikan beberapa contoh peristiwa orang tonuah baik yang berhasil maupun yang gagal.
Pada suatu kesempatan, ada penduduk setempat menjala ikan di lavang Ampar Boyu. Pada saat menebar jala, ia kedatangan seseorang yang berpenampilan sangat sederhana dan menjelma orang yang sudah ia kenal. Orang tersebut mengajak bertukar jala tetapi mata jala nya sudah banyak yang koyak di sana sini, sedangkan kepunyaan manusia masih sangat bagus. Tentulah permintaan tersebut ditolak. Penjelma tersebut berusaha meyakinkan manusia sampai yang ketiga kalinya,eeq bahwa dengan jala yang robek maka ikan kecil maupun yang besar akan didapat. Namun manusia tetap menolak.
Penjelma pun permisi pergi dengan satu pesan, ” karena engkau menolak, kelak kehidupan mu ke depan akan biasa-biasa saja”.
Dalam hitungan detik ketika manusia menoleh sang penjelma pun sudah lenyap.
Selanjutnya Juris pun menuturkan contoh lain orang yang pernah tonuah.
Suatu pagi yang cerah datang seseorang menjelma manusia biasa yang sudah sangat dikenal. Orang tersebut menawarkan satu keping papan kayu jenis ulin. Papan tersebut bengkok di sana sini. Permukaannya sangat kasar.
Tentulah manusia menolak dengan alasan papan tersebut tidak lurus dan permukaannya sangat kasar. Manusia mengarahkan penjelma untuk menjual ke tempat lain dengan menyebut nama-nama pemilik toko. Sudah dua pemilik toko yang dikunjungi tetapi hasilnya tetap sama saja dengan alasan yang sama dengan orang pertama tadi. Di tempat ketiga barulah papan tersebut dibeli dengan harga yang sesuai keinginan penjelma. Penjelma pun permisi pulang dengan satu pesan,”kelak kehidupan mu berlimpah dan apa yang engkau inginkan tercapai”. Dan dalam hitungan detik penjelma pun raib.
“Apa yang terjadi terhadap mereka yang menuruti dan yang menolak permintaan saat kedatangan penjelma,” tanya saya.
Juris pun menuturkan kembali.
Orang yang menuruti permintaan penjelma, kehidupannya akan jauh lebih baik dan segala usaha mudah dan lancar. Sebaliknya yang menolak kehidupannya akan merosot dari sebelumnya.
Contohnya, Dua orang yang menolak membeli papan, tokonya tidak beroperasi lagi sedangkan orang ketiga yang membeli papan tersebut sekarang sudah pindah ke kota dan buka usaha yang jauh lebih besar dan anak-anak nya sukses.
Juris pun melanjutkan dengan menceritakan pengalaman yang pernah ia saksikan sendiri
Kurang lebih tahun 2008, keponakannya sakit keras. Berbagai upaya sudah dilakukan. Berobat secara medis sudah dilakukan bahkan sudah hampir 3 bulan, tetapi belum juga membuahkan hasil.
Berobat tradisional pun sudah dilakukan. Orang tuanya si anak sudah hampir putus asa. Suatu malam tepatnya malam jumat ayah si anak bermimpi ketemu lekaki tua berpakai serba putih memberikan pesan,”kamu ambil air di lavang Ampar Boyu sekitar jam 04.00 subuh untuk diminumkan sebagai obat anak mu”.
Pesan tersebut dituruti dan mujizat kesembuhan pun terjadi. Si anak berangsur-angsur sehat.
Hingga saat ini orang-orang yang percaya, jika ada anggota keluarga yang sakit selalu mengambil air tersebut sebagai alternatif pengobatan.
“Saya hampir setiap hari bolak balik ke ladang melalui likasi tersebut. Baik siang maupun malam siapa tau ada mujizat bertemu penjelma tetapi tidak pernah terjadi,” kata Juris mengakhiri ceritanya.
Bertolak dari penuturan Juris, saya mencoba bertanya kepada beberapa orang yang memang asli berdomisli di Dusun Sungai Ombak. Penuturan mereka pun sama seperti yang sudah disampaikan oleh Juris.
Begitulah cerita Ampar Boyu, sebuah tempat wisata yang dianggap biasa-biasa saja tetapi mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat tinggi.
Dari peristiwa-peristiwa kedatangan penjelma (tonuah) dapat disimpulkan bahwa semestinya manusia di dunia ini harus peka saling mengasihi dan membantu sesama yang membutuhkan tanpa membedakan apakah orang itu sudah kita kenal atau tidak.
Beberapa tahun belakangan ini Ampar Boyu sudah mulai sering dikunjungi terutama anak-anak muda yang suka berfoto-foto. Tahun baru dan hari-hari besar keagamaan sering rombongan keluarga menghabiskan waktunya berekreasi ke tempat ini.
***