24.2 C
Singkawang
More
    BerandaSpiritualBangkit untuk Menang

    Bangkit untuk Menang

    | Penulis: Hertanto

    Menyambut Hari Ulang Tahun GKRI Dwiwarna ke-45 yang beralamat di Jalan Dwiwarna 1 No. 47, Jakarta Pusat tulisan ini dibuat. Ibadah dan Perayaan Hari Ulang Tahun yang akan dilaksanakan pada hari Kamis, 18 Mei 2023 pukul 15.00 tersebut bertepatan dengan Hari Kenaikan Isa Almasih.

    Percayalah, tidak ada seorang pun yang berkeinginan mengalami kegagalan, kekalahan, kehancuran, dan lain sebagainya. Sejak kecil kita selalu “dituntut” untuk menang atau menjadi pemenang. Tanpa disadari (mungkin juga dengan sadar), orangtua zaman dulu, bahkan orangtua saat ini, “menuntut” anaknya untuk dapat lebih baik dari anak lainnya. Sebagai orangtua, apakah keinginan itu salah?

    Ketika seorang anak memiliki bakat nari, dipaksa juga oleh orangtuanya agar bisa bermain musik. Ini masih “satu rumpun” dari hard skill. Namun bagaimana bila dua hal yang jauh berbeda dipaksakan? Misalnya teman main anak ada yang pandai bela diri dan ada pula yang pandai seni. Kemana anak akan diarahkan? Apakah orangtua tetap memaksakan anak untuk ikut latihan bela diri dan seni? Ada pula orangtua yang mengarahkan anak mengikuti jejak mereka atau bahkan melanjutkan cita-cita mereka yang tidak kesampaian, dengan harapan anak akan menggapai keberhasilan. Bila anak juga menyukainya mungkin tidak masalah, namun bagaimana bila tidak?

    Parenting yang salah ini terus berlanjut sekalipun zaman sudah berganti dan kecanggihan teknologi semakin meningkat namun sistem pendidikan keluarga seperti ini seolah-olah tidak tergerus dengan perkembangan zaman dan tingkat intelektual yang semakin kompetitif serta memerlukan demokrasi berekspresi tentunya.

    Banyak motivator yang mengatakan bahwa kita dilahirkan sebagai pemenang. Hal ini didasari dari teori medis bahwa sebelum manusia terbentuk, sudah mengalami persaingan yang begitu rumit dan ketat. Sekitar ratusan juta pesaing spermatozoa harus dikalahkan untuk mendapatkan posisi yang istimewa tersebut. Jiwa kompetitif sudah ada bahkan sebelum manusia itu terbentuk bukan?

    Tulisan ini tentu tidak berfokus membahas apa yang dilakukan orangtua terhadap anak, namun parenting seperti ini berdampak pada pembentukan mental anak dan sasaran hidup sang anak di masa mendatang. Bukankah banyak anak yang merasa dirinya gagal oleh karena cita-citanya tidak tercapai? Ada pula anak yang mengalami depresi karena menjalani kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginannya? Mengambil kuliah dengan jurusan yang tidak disukainya? Atau meneruskan usaha orangtuanya padahal keinginan anak bukan berada di area itu? Bukankah anak berpotensi mengalami kegagalan hingga akhirnya terpuruk? Ironisnya, masih saja ada orangtua yang tidak bisa menerima anaknya “tidak sehebat” anak lainnya. Bukankah hal ini akan membuat anak merasa bersalah? Apakah fenomena ini akan terus berlanjut? Sampai kapan?

    Keterpurukan bisa dialami oleh semua orang, tanpa kecuali; dan keterpurukan bahkan bisa membuat seseorang semakin terpuruk.

    Di Alkitab, kita mengenal Daud sebagai orang yang sangat mencintai Tuhan dan dipakai-Nya dengan ajaib. Ia mengalahkan Goliat dengan imannya, “engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kau tantang itu… TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan TUHANlah pertempuran dan Ia pun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami.” (1 Samuel 17:45-47). Hidupnya sungguh dekat dan beriman pada TUHAN. Ia juga mengalahkan musuh lebih banyak dari raja Saul (1 Samuel 18:7-8). Namun ternyata, Daud tidaklah sesempurna yang kita pikirkan. Ia pernah jatuh dalam dosa perzinahan. Bahkan Ia juga terlibat dalam pembunuhan berencana atas Uria, suami dari Batsyeba. (2 Samuel 11:14-15). Tetapi kemudian Daud menyadari akan dosa-dosanya setelah sebelumnya ditegur oleh Nabi Natan. “Aku sudah berdosa kepada TUHAN.” (2 Samuel 12:13). Tuhan mengampuni Daud namun ia tetap akan menerima segala konsekuensi yang harus diterimanya sebagai akibat dari dosa yang telah dilakukannya.

    Keterpurukan Daud yang kemudian berganti menjadi sadar dan bangkit, bukan karena kekuatan dan kemampuannya. Ia disadarkan Natan dan bangkit menjadi pemenang oleh karena ia datang pada TUHAN.

    Datang pada TUHAN adalah sebuah keharusan bagi setiap orang percaya sebab “terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!” tetapi “diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:5-7).

    Bangkit untuk menang bukan hanya berbicara tentang kesuksesan di dunia ini. Bukan pula menang atas orang-orang di sekitar kita karena pola didik orangtua atau lainnya, sebab perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara (Efesus 6:12).

    Godaan akan terus datang menghantui sebab ia seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1 Petrus 5:8). Sekali lagi, keterpurukan bisa terjadi pada siapa saja oleh karena kelemahan daging kita; oleh karena pelanggaran dan dosa kita. Namun lawanlah dengan iman yang teguh sebab Allah sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu. Amin.

    Bionarasi

    HERTANTO Hertanto Ruhiman

    Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom., M.Pd.

    Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita