24.7 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Maro

    Cerpen | Maro

      | Penulis: Lisa Mardani

    Sore itu, tak biasanya bocah yang bernama Maro merengek-rengek kepada bapaknya.

    “Pak, ayolah pak… besok kita ke pondok ladang ya, cari durian!” kata Maro membujuk bapaknya dengan penuh semangat.

    “Kayaknya ndak bisalah bapak nak. Lain kali saja ya, tunggu bapak ada libur. Besok tu banyak benar bah pekerjaan yang harus diselesaikan!” kata pak Joni kepada anak sulungnya.

    “Lalu siapalah yang bisa temani aku ke pondok ladang tu pak?” mamak kan ndak bisalah pergi, karna harus jagain adek bayi.”

    “Dari kemarin juga udah ku tunggu-tunggu bah bapak libur. Tapi dari liburan sekolah sampai masuk sekolah, ndak adalah bah ku liat bapak libur.” Kata sang anak.  

    “Tapi besok kan kamu juga harus belajar. kan ada tugas juga dari gurumu,” kata pak Joni beralasan, supaya sang anak tidak terus-menerus mengajaknya mencari durian.

    “Kan ndak masuk sekolah pak. Tugas-tugasnya hanya di kirim lewat WA. Jadi saya bisa kerjakan sepulang mencari durian. Atau…

    “Atau aku sambil kerjakan tugasnya di ladang saja ya pak!”

    “Ndak bisalah… ada-ada jak kau ni. Nanti kamu bukannya belajar. Tapi sibuk cari buah durian…!”

    Kata pak Joni sambil sibuk mencatat dan membolak-balik lembaran kertas yang harus dicatat.

    “Ya… trus kapanlah kita bisa pergi pak…? Tanya Maro yang terlihat kesal. Wajahnya cemberut dan mengerut.

    “Ya beginilah nak pekerjaan bapak sebagai admin di kantor sawit. Bapak minta maaf belum sempat menemanimu ke pondok ladang,” kata Pak Joni sambil memilah-milah beberapa berkas dan lembaran kertas yang menumpuk.”

    Maro hanya diam tak bergeming. Hanya kekecewaan yang terlihat di wajahnya.

    Tak lama kemudian terdengar suara teman-teman Maro memanggilnya untuk mandi sore.

    “O… Maro, has tok monus nuk sungoi Molahui nai…! (Ayo Maro, kita mandi di sungai Molahui),” teriak teman-temannya Maro.

    “Yok, ngindoi kuk holuk bah… ia, tunggu aku ya!” sahut Maro.

    “Pak, aku mandi ke sungai ya!”

    “Ia….!” Jawab pak Joni.

    Maro pun secepat kilat, turun dari rumah panggungnya. Pergi menyusul teman-temannya mandi di sungai.

    Sejenak hening terasa. Pak Joni pun bisa menarik nafas lega. Sebab pekerjaan yang harus ia selesaikan hari itu akhirnya tuntas juga. Ia menarik nafas lega sambil menyenderkan tubuhnya di kursi kayu berbahan tobolion (kayu ulin). Kedua tangannya ia silangkan di leher sebagai alasnya.

    Tiba-tiba ia teringat akan perkataan anaknya.

    “Kasihan juga anakku. Aku terlalu sibuk bekerja. Hingga aku tidak ada waktu menemani anakku mencari durian seperti anak lainnya,” gumam Joni.

    Tak lama sang istri membawakan secangkir kopi dan singkong rebus.

    “Udah selesaikah kerjaannya hari ini amai (bapak) Maro?” tanya istrinya.

    “Baru aja selesai” jawab Joni.

    “Oh syukulah….” Jawab istrinya.

    “Ada masalahkah amai Maro?” tanya sang istri yang melihat suaminya sedang memikirkan sesuatu.

    Pak Joni pun menceritakan tentang permintaan sang anak yang sulit ia penuhi.

    “Ya sekali-sekalilah temani anak. Kasihan Maro. Sejak musim buah durian ia belum pernah pergi cari durian. Dia kan ingin juga seperti anak-anak lainnya yang ditemani bapaknya cari durian,” kata sang istri.

    “Tapi bu, besok kan aku masih bekerja!”

    “Bekerja kan tidak harus di dalam ruangan ber-AC. Sambil menunggu durian jatuh pun bisa.” Lagi pula kan bapak kerjanya dari rumah,” kata sang istri.

    “Wah… benar juga idemu itu bu.” Lagi pula kan selama seminggu aku harus kerja dari rumah. Sebab beberapa dari karyawan yang bekerja di kantor sawit terpapar virus Corona.”

    “Waduh terima kasih istriku sayang. Aku malah gak kepikiran ke situ saking sibuknya ngurusin pekerjaan,” kata Joni tersenyum lebar memandang istrinya yang sedang menyuapi sang bayinya makan bubur.

    Pagi harinya pak Joni hendak memberi kejutan pada anaknya.

     “Ayo cepat bangun nak, bapak ada kejutan…”

    Maro hanya melirik bapaknya sekejap. Lalu memalingkan muka sambil memeluk guling kesayangannya.

    “Bapak hari ini mau ke pondok ladang cari durian…!”

    “Ha yang benarlah bah bapak tu… paling bohong kan aku jak!”

    “Benarlah bah…!” kata Joni.

    “Maro tiba-tiba bangun dan bersorak… ye… asyik!” soraknya kegirangan.

    Mereka segera bersiap-siap pergi ke pondok ladang.

    Seketika Maro heran memandang bapaknya.

    “Bapak katanya mau temani aku ke ladang cari durian. Tapi ini kok bawa tas dan buku-buku kayak mau kerja?

    “Inilah yang kata orang kota tu “work from home”, kalo bapak “bekerja dari ladang…!”

     “Adoh hai… [ya ampun] bapak nih ada-ada jak bah tawa Maro pecah pagi itu.

    “Ia lah… ini bapak lakukan demi anak kesayangan bapak,” kata Joni

    Mereka melangkah pergi sambil menenteng tas dan membawa bekal.

    Sesampai di pondok ladang mereka langsung meletakkan barang bawaan. Dan bergegas mencari buah durian.

    “Tinggal satu buah pak. kita terlambat. Udah keburu diambil orang,” kata Maro.

    “Tak pa bah… nanti juga banyak yang jatuh. kita tunggu aja di pondok,” kata pak Joni.

    “Kamu foto dululah sama buah duriannya tu. Biar kasih liat ke mamamu kalo kamu udah dapat satu durian.”

    “Ndak lah… bapak jak yang foto. Bapakkan rajin foto,” kata Maro.

    “Susah benar bah kamu ni kalo di suruh foto macam disuruh apa jak…!” seru Joni.

    “Ya sudah. Kamu jak yang tukang fotokan bapak!” kata pak Joni sambil memberikan HP kepada anaknya.

    “Cek… krek… cek krek…!” jadi deh fotonya.

                                                     ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita