24.7 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Perpisahan itu Menyakitkan

    Cerpen | Perpisahan itu Menyakitkan

    | Penulis: Paran Sakiu

    Kami bertiga mempercepat langkah kaki. Lalu memasuki hutan karet yang tidak jauh dari pinggir jalan. Aku mengikuti dari arah belakang. Kemudian kedua temanku menghentikan langkah kakinya mencari tempat duduk yang nyaman.

    Pohon Karet yang tumbang itulah alas duduk kami. Kami duduk berbaris. Temanku yang duduk di tengah mengeluarkan beberapa jenis buah dalam salepe. Bagiku, buah yang dikeluarkan itu sangat asing baik bentuk maupun warnanya.

    Buah pertama seperti buah asam paya yang saya kenal. Bedanya agak besar dengan kulit agak cokelat. Ia membagikannya kepada kami. Masih ada beberapa biji lagi di dalam salepe setelah dibagikannya. Masing-masing kami mendapatkan satu. aku tidak tahu bagaimana memakannya. Lalu temanku yang membagikannya kepada kami mulai mengupasnya. Membuang kulitnya. Saya perhatikan ia berhati-hati mengupas dengan jemarinya. Lalu aku ikuti cara mengupasnya. Memang benar harus berhati-hati. Kalau tidak, dapat melukai jari tangan. Buah itu digigit dan dikunyahnya. Kami berdua pun mengikutinya. Ternyata di dalamnya ada bizinya. Bizinya keras. Biji-biji itu tidak kami buang.

    Setelah selesai menikmati buah jenis pertaama, temanku itu mengambil jenis buah kedua yang ada dalam salepe. Buahnya bulat. Warnanya merah. Kulitnya licin. Dia menggigitnya. Lalu diserahkannya kepada teman yang satunya. Teman pun menggigitnya. Lalu kini gilirankuku. Aku menggigitnya. Sama seperti mereka berdua. Kulitnya kubuang dan memakan dagingnya saja. Kulitnya begitu tipis tetapi tidak untuk dimakan. Kami bertiga bergantian menggigitnya hingga tuntas.

    Masih ada satu jenis buah lagi. Kali ini kami dapat dua buah untuk satu orang. Warna buahnya abu-abu. Saya perhatikan bagaimana cara membukannya. Ditekan sedikit. Lalu dibuka. Bizinya seperti biji srikaya. Manis rasanya. Ada putih-putih kecil seperti kapur di bagian buah ini. kulitnya agak pahit. Kulitnya harus dibuang. Menurut temanku dua jenis buah terakhir seharusnya dikupas menggunakan pisau kecil baru kemudian dimakan. Mengingat dalam hutan maka gigi kami sebagai pengganti pisau kecil. Digigit langsung dikunyah dan ditelan.

    Aku dan teman yang satunya baru melihat buah ini. buah yang bukan asli tumbuh di kampungku bahkan mungkin juga di tanah Borneo. Ketiga jenis buah ini hanya dijual di kota. Di kecamatan belum ada. Ayah dari temanku ini baru pulang mengikuti persidangan Sinode gereja. Buah itu adalah oleh-oleh untuk keluarganya. Namun, kali ini aku pun kebagian. Temanku ini tulus membagikannya untuk kami nikmati. Sungguh bagaikan buah yang datang dari langit. Tidak tahu kapan lagi dapat menikmati semuanya, atau salah satu dari tiga jenis buah tadi.

    Saat jam istirahat, temanku ini menjadi team yang baik. kami sering menghadapi teman-teman yang lain saat bermain kalele, galasen, dan tembakan karet. Permainan kalele adalah permainan yang mengasah otak terutama dalam hitung- menghitung. Termasuk ada ketangkasan juga dipermaian kalele. Alatnya terdiri dari dua potong batang kayu kecil. Harus lurus. Satu panjang disebut Ibunya. Satu lagi pendek disebut anaknya. Permainannya di tanah. Dibuat lobang kecil. Ibunya di pegang sedangkan anaknya di lobang kecil.

    Oleh pemainnya, anaknya dipukul menggunakan ibunya dan buru-buru di pukul sekuat mungkin sejauh mungkin. Dan diusahakan anaknya yang dipukul tadi tidak boleh diambil lawan. Sekali pukul nilainya hanya satu. Tetapi kalau dua kali dipukul maka akan menggunakan anaknya utk jarak hitung. Siapa yang mengumpulkan hitungan yang banyak itu yang menang.

    Saat kami bermain galasen kami sering menang. Jika empat orang maka ada empat garis dibuat persegi empat dan ada garis di tengahnya. Penjaga garis ada di dalam garis , sedangkan yang dijaga di luar garis. Tidak boleh tersentuh jika melewati penjagaan. Kedua tangannya direntangkan. Kami harus mencari celah untuk dapat melewatinya. Jika tersentuh maka gagallah misi menyeberang dan kita harus menjadi penjaganya. Tidak jarang pakaian kami basah karena keringat. Herannya, guru tidak satu pun yang memarahi kami di kelas sekalipun pakaian kami tadi basah.

    Permaian tembakan gelang karet pun seru. Dua batang kayu atau belahan bambu kecil ditancapkan ke tanah seperti gawang. Lalu beberapa gelang karet dilingkarkan di antara kedua batang kayu atau belahan bambu tadi. Setiap gelang karet yang dipertaruhkan sudah disepakati bersama. Jika satu orang sepuluh gelang karet maka diatas lingkaran tadi jika untuk enam orang yang bermain berarti ada enampuluh gelang karet yang dipertaruhkan.

    Cara mendapatkannya adalah dengan menggunakan gelang karet yang sudah dibentuk. Di belakang gelang karet seperti dipilin dan satu atau lebih disisakan untuk tarikannya. Dari arah sasaran tembakan pemainnya berdiri dan melemparkan karetnya. Semakin jauh lemparan karetnya maka dialah sebagai orang pertama yang membidik. Temanku ini jago membidik. Kami sering mendapat banyak gelang karet setelah bermain. Kami bagi rata. Terkadang kami jual untuk membeli jajanan.

    Paling seru saat pergi beramai-ramai menuju sungai. Sungainya cukup dalam. Lebarnya juga cukup untuk kami bermain. Sungai yang kami tuju adalah tempat untuk mandi. Kami berlarian menuju sungai itu saat bubaran sekolah. Airnya jernih. Banyak ikan. Bahkan sering orang memancing labi-labi ditempat permandian itu. Buku dan baju diletakkan di tepi sungai. Kami pun berhamburan naik keatas pohon yang berada di tepi air. Dahan pohon itu kuat. Dahannya besar-besar dan banyak. Kami menuju dahan yang tinggi lalu meloncat. Demikian seterusnya. Seru sekali.

    Tidak ada orang dewasa yang mengawasi kami. Di sungai itu, kami juga mengasah diri menyelam dan berenang tanpa ada yang mengajari. Aku dan temanku sungguh senang jika sudah di sungai itu. Berhenti jika sudah menggigil kedinginan dengan gigi atas dengan gigi bawah saling beradu.

    Suatu hari, tidak seperti biasanya. Dia berceritera. Berceritera bahwa dia suka dengan seorang anak perempuan. Anak itu peranakan Sobat dan Dayak. Anak perempuan itu tidak terlalu putih. Kulit Dayak dari mamanya ada padanya. Rambutnya panjang. Tulisannya rapi. Anaknya percaya diri. Dia membawa dagangan ke sekolah. Kami sering membeli jajanan yang dijualnya. Kalau ke sekolah, dia berseragam lengkap. Ada dasi, topi, ikat pinggang dan sepatu. Temanku juga demikian sama lengkapnya karena anak dari seorang utusan Injil.

    “Aku suka dengan anak itu. Dia cantik. Dia rajin dan pintar. Bagaimana kalau dia jadi pacarku. Mau tidak kamu sampaikan maksud hatiku.“

    Demikian awal pembicaraannya kepadaku. “Aku suka dengan matanya. Suka dengan senyumnya. Suka dengan suaranya,” katanya sambil menatap kearahku. Aku diam. Aku tidak mengucapkan sepatah katapun. “Jika dia tidak menolak maka ini keberuntungan “ katanya lagi. Aku tidak merespon ucapannya.

    Entah kenapa dia tidak bertanya atas responku yang dingin. Dingin terhadap pernyataan dan pertanyaannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah yang jaraknya hampir tiga kilo meter itu membuat pikiranku merana. Anak yang disebutnya juga adalah anak perempuan yang aku sukai. Aku selalu salah tingkah jika berhadapan dengannya. Entah kenapa aku juga selalu ingin melihat wajahnya. Ingin berlama-lama berada di sekitarnya. Ada perasaan yang berbeda. Aku tidak tahu itu mungkin itu yang disebut sebagai perasaan cinta. Sumpah perasaan itu ada sekalipun temanku dan aku masih anak ingusan. Anak SD.

    Aku menyadari sekarang kami punya perasaan yang sama kepada anak perempuan yang disebutnya. Apakah karena kami teman akrab sehingga perasaan pun tumbuh bersama. Perasaan itu tidak ku umbar kepada temanku dan tidak juga kunyatakan kepada anak perempuan teman sekelasku itu. Perasaan itu tidak membuat aku menjauhi atau memusuhi teman akrabku. Bahkan sejak itu, kami sering mencandai anak perempuan yang sama-sama kami sukai.

    Suatu hari saat bermain bola kawanku ini menjadi lawanku. Rumahnya tidak jauh dari sekolah. Berada di pinggir jalan. Sementara aku tinggal jauh didalam perkampungan. Jadi, kampungku lawan mereka yang berada didekat sekolah. Kami pun bermain sepakbola. Permainan kami tidak tertata. Bergerombol seperti anak ikan gabus. Di mana ada bola di situ kami merebutnya bersama-sama. Yang penting bola mengarah ke arah gawang lawan. Tidak jarang kaki ketemu kaki. Keesokan harinya kaki ini terlihat biru danada benjolannya. kami bermain bola tanpa menggunakan alas kaki. Seru permainannya. Selesai main bola, kami beramai-ramai menuju sungai untuk kembali berterjunan dari atas pohon.

    Baca juga: Cerpen | Pohon Cempedak

    Pernah juga terjadi banjir yang cukup dalam. Hujan turun semalam suntuk. Keesokannya sekolah diliburkan. Kami sudah terlanjur datang ke sekolah. Penjaga sekolah menyampaikan berita bahwa sekolah libur. Kami berhamburan ke halaman sekolah. Kejar-kejaran. Dan yang tidak kalah seru mengejar ikan. Sekalipun banjir, airnya bening. Kalau tertelan, tidak membuat kami sakit perut. Hari itu aku tidak pulang melainkan menginap di rumah abang mamaku. Rumah abang mamaku berdekatan dengan rumah teman kompakku tadi.

    Keesokan harinya airnya bukannya surut malah semakin meninggi. Kulihat paktuha-ku memasang sukatn di depan rumah. Ada beberapa sukatn. Sukatn terbuat dari bambu. Bambunya dipelah-belah. Dari atas hingga ke bawah. Disisakan satu ruas dibagian bawahnya. Kemudian akar atau rotan dililitkan dari bawah ke atas. Semakin keatas semakin melebar. Untuk memasangnya, dibuat seperti bendungan dari kumpulan kayu kecil sedemikian rupa. Lalu diberi celah seukuran lingkaran atas sukatn. Sukatn pun dipasang. Aku juga melihat ayah dari temanku memasang hal yang sama dan juga ada sejenis pukat yang dipasang dari satu sisi ke sisi yang lain. Tiba pada waktu untuk mengangkat sukatn dan pukat, aku dan temanku sama –sama keluar rumah menuju lokasi. Betapa bahagianya kami melihat tangkapan baik dari sukatn maupun dari pukat yang ada.

    Saat menjelangkenaikan kelas. Ada kabar buruk yang kudapatkan dari temanku ini. ia harus meninggalkan sekolah. Ia tidak melanjutkan ke kelas enam. Ayahnya memutuskan untuk meninggalkan pelayanan. Berarti juga meninggalkan kampung halamanku. Berpisah denganku. Aku bagaikan tersambar petir. Ia pun menangis saat bercerita. Ia berat meninggalkan sekolah. Meninggalkan teman akrabnya.

    Ia berceritera tidak mudah menjadi seorang anak perintis gereja baru. Ia berceritera pernah tidak makan karena tidak ada nasi. Pernah hanya makan bubur. Sekalipun seragamnya mentereng, ternyata mereka juga berkekurangan. Dia berceritera mamanya pernah menangis karena tidak sanggup menanggung penderitaan sebagai istri seorang utusan injil.

     Aku terdiam mendengar dia bercerita. Kawanku harus pergi kembali kedaerah asalnya. Akupun tidak tahu asal daerahnya. Ia adalah kawanku sejak dari kelas satu SD hingga di kelas lima. Aku berharap, kami dapat bertemu kembali. Apakah saat kami remaja kami tidak tahu. Saat Pemuda dan bahkan saat menjadi orang tua. Beberapa minggu setelah kepergiannya tidak ada berita yang kudapatkan. Aku berharap ada berita dari pelayan gereja yang menjadi rekan pelayanan bapaknya.

    Sebulan tidak ada berita. Masuk bulan kedua pun tidak. Aku berharap dia dengan keluarganya kembali datang untuk bermisi di kampung halamanku. Berharap dia kembali masuk bersamaku duduk satu bangku di kelas Enam di SD Inpres Mentonyek. Aku teringat saat kami makan buah di dalam hutan karet. Ingat bermain kalele. Bermain galasen. Bermain gelang karet dan bermain bola.

    Teringat berloncatan di dahan kayu di pinggir sungai. Bekejaran saat banjir. Teringat dengan perasaannya yang menyukai anak perempuan dari peranakan Sobat –Dayak. Anak perempuan yang sesungguhnya aku sukai juga. Masih segar dalam ingatan, saat kami bersenang-senang melihat hasil tangkapan pukat dan sukatn dikala banjir itu.

    Kini setiap kali melewati rumah yang ditempatinya, selalu aku mengingatnya. Aku merindukannya. Aku hanya berdoa dan berharap dia kembali. Paling tidak sekali-kali hadir dalam mimpi. Entah tidur di siang hari. Atau sedang tidur di malam hari.

    Sampai hari ini aku merindukannya.

    ***

    Catatan:

    • Salepe adalah sejenis wadah terbuat dari anyaman pandan berduri yang mewadahi berbagai keperluan seperti beras, cucur, tepung dan lain-lain.
    • Kalele adalah permaian yang sering digunakan dengan dua potong kayu yang satu pendek dan yang lainnya panjang. Dimainkan oleh beberapa orang.
    • Galasen adalah permainan dengan membuat beberapa garis di tanah yang pemainnya juga terdiri dari banyak orang.
    • Sobat adalah sebuatan orang Dayak Kanayatn untuk orang-orang Tionghoa asli atau peranakan.
    • Sukatn adalah alat penangkap ikan terbuat dari anyaman Bambu.

    ***

    Bionarasi

    Paran 1

    Paran Sakiu, S.Th. dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.

    Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.

    Menulis dan menerbitkan buku:

    1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)

    2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)

    Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita