| Penulis: Lisa Mardani
Entahlah, harus dari mana aku memulai kisah ini…
Di tengah pekatnya malam. Kini, kabut sunyi perlahan kian mulai merayap di hati.
Ketika seseorang sedang jatuh cinta. Maka perasaan yang lebih sering datang pastinya rasa senang dan bahagia.
Bahagia ketika melihat sang kekasih. Tersenyum, dan membuat kita turut tersenyum pula. Maka wajar saja. Ketika merasakan rindu saat berjauhan dari orang tersayang.
Namun, siapa sangka. Bahwa di balik perasan cinta yang sedang melanda, justru membawa malapetaka bagi mereka yang sedang dilanda asmara.
Kisah ini berawal dari sekelompok pemuda. Ya, sekumpulan pemuda Dayak Uud Danum pergi ke hutan belantara untuk berburu yang disebut “mosan”. Tradisi berburu yang disebut mosan adalah pergi berburu ke hutan belantara. Ke suatu tempat(hutan) yang sangat jauh. Biasanya, waktu berburu mosan berlangsung minimal tiga hari bahkan sampai berminggu-minggu.
Di antara mereka, Obang Kenak adalah pemuda yang paling tampan perawakanya. Gagah perkasa, dan berwibawa. Namun, di balik kesempurnaan fisiknya, ia justru sering dibully dan jadi bahan candaan teman-temanya.
Hal ini semata-mata karena ia belum juga menikah. Dan diangap sebagai “jomblo setia sejagad raya”. Tak sedikit gadis Dayak yang cantik jelita datang hendak memikat hatinya. Namun apalah daya, cinta bertepuk sebelah tangan.
Sebetulnya, bukan ia tidak mau membuka pintu hatinya kepada seorang wanita. Tetapi, ia merasa belum mapan dan belum siap dengan keadaannya.
Ia hendak membahagiakan kedua orangtuanya terlebih dahulu. Barulah ia memikirkan untuk mencari tambatan hatinya.
Baginya, hidup adalah pilihan. Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Ia sepertinya sudah matang dengan keputusannya.
Setelah berhari-hari di tengah hutan belantara. Sekelompok pemuda Dayak yang pergi berburu/mosan ini mulai dilanda rindu. Rindu kepada sang kekasihnya. Terlebih, suku Dayak Uud Danum sangat terikat dengan adat dan budayanya. Jadi, untuk bertemu dengan pujaan hati sangatlah sulit.
Terkadang, mereka hanya bisa saling memandang dari jarak jauh saja. Jika berani mendekat dan berdua-duaan, artinya harus siap untuk di sidang adat dan segera dinikahkan.
Sekelompok pemuda, yang penuh dengan gelora asmara mulai berpantun dan berpuisi. Mungkin saja mereka sekadar menghibur hati yang sedangkan dilanda rindu.
Maklum, zaman dulu, ada tradisi bahwa berpantun dan berpuisi merupakan salah satu syarat bagi pemuda yang mau menjalin cinta. Jika sudah bisa berpantun barulah ia boleh berpacaran. Sedangkan pemuda yang sedang menjalin cinta biasanya akan senang berpuisi. Agar terlihat puitis dan romantis.
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang terikat oleh irama. Dengan penyusunan bait serta barisnya yang tampak indah dan juga penuh dengan makna. Hal inilah yang membuat puisi banyak digunakan oleh sebagian orang. Biasanya untuk mengungkapkan perasaannya yang terdalam.
Berpantun dan berpuisi sering dilakukan pada jaman nenek moyang suku Uud Danum. Terkadang, mereka bermain kata hanya sekedar hiburan belaka. Namun, dari setiap kata yang terucap, biasanya mewakili perasan hati dan memiliki makna tersendiri.
Ketika malam tiba di hutan belantara, mulailah rasa sunyi datang menghampiri.
Malam sering memberikan nuansa sunyi dalam kehidupan.
Terkadang, harus membuat kita melamun. Jauh memikirkan tentang kehidupan. Rindu dalam rasa, merapuhkan jiwa tanpa makna.
Di tenggah kegelapan malam, di antara lebatnya hutan dan kesunyian. Seorang pemuda yang pergi mosan mulai berpuisi, katanya:
“Ku terdiam, terpaku bersama malam gelap dan sunyi.
Ku titipkan salam rinduku pada angin yang berhembus….
Yang perlahan, menyusuri malam yang syahdu.
Di sini, aku terus menanti dan berharap kau merasakan rinduku.
Aku yang mencintaimu dalam diam, hanya bisa membisu dan menahan rindu yang kian tak teredam.
Ingin rasanya aku bertemu denganmu. Bercanda tawa, dan bersama kita mecahkan suasana keheningan malam di tenggah hutan belantara. Namun, apalah daya. Menyapamu saja aku tak bisa.
Kiranya, dalam keheningan malam ini, kau datang menyapa walau hanya sekejap saja”….
Selanjutnya, secara bergantian mereka berkata; “Ah….andaikan kamu bara apinya, biarlah aku jadi kayu bakarnya. Aku rela terbakar demi cinta. Asalkan kau terus menyala menghangatkan suasana”….
Begitulah kira- kira ucapan sekelompok bujang kelana. Yang sedang dilanda cinta, dan rasa rindu di hati yang kian membara. Hingga separuh jiwa diantara mereka, terbawa oleh hembusan angin malam. Hingga merasuki hutan belantara.
Namun tak disangka-sangka. Seketika, para gadis yang cantik jelita datang menghampiri. Persis seperti yang mereka harapkan.
Para gadis itu telah hadir, di halaman rumah panggung mereka. Cinta memang tak pakai logika. Begitulah judul lagu Agnes Monika. Sekelompok pemuda yang sedang dilanda cinta, bukannya takut. Tetapi malah senang hati riang gembira. Ketika melihat kehadiran para gadis pujaan hatinya. Serta berkata; Ngombai poh, jok nuk luar anan kiak kam tuh avik?” Masap poh, yambai, nuhkat kuk diang tuh kiak kam. Was ngolomik noh ondo tuh, mindong pindak anan rih!”
Artinya “Mengapa kalian hanya berdiri di luar saja?” Tidak usah takut. Mari, silakan masuk, sebab hari sudah malam dan di luar gelap !”.
Tentu saja para gadis itu tidak menolak. Justru dengan senang hati mendengar tawaran para pemuda tersebut. Para gadis misterius itu langsung naik dan masuk ke rumah panggung. Di tempat penginapan para pemuda yang sedang mosan. Mulailah mereka bercanda tawa. Selalaknya anak muda. Tak henti-hentinya mereka bercanda-tawa. Hinngga memecahkan keheningan malam.
Namun, di antara mereka, Obang Kenak merasakan ada sesuatu yang aneh. Logikanya mulai berjalan. Pikiran mulai merambat dan merayap. Penuh tanda tanya.
Mungkinkah gadis-gadis di kampung pergi ke hutan belantara malam-malam begini? Hendak apa mereka kemari?” Pikiranya mulai bergejolak. Katanya “ah mana mungkin!”. Sungguh tak masuk akal. Jika demikian, pastilah mereka ini bukan manusia. Melainkan siluman hantu wanita. Biasa nenek moyang menyebutnya “Tomalui Lahai”.
Tanpa berpikir panjang. Obang Kenak langsung memutuskan untuk turun ke bawah rumah panggung.
Katanya kepada mereka: “Ahkuk kanik mosuluh kuk pindak nai holuk bah. Kanik ngomolum ahpui. Bodarom nanyam ah kuk tuh!”
Artinya “Aku mau turun ke bawah dulu ya. Aku hendak membakar kayu. Sebab, badanku terasa kedinginan.” Tanpa menaruh curiga, para gadis dan teman-temanya mempersilakan saja.
Obang Kenak mulai menghidupkan api di bawah rumah panggung. Di tempat mereka tinggal selama berburu mosan.
Dia hanya duduk termenung dalam kebingungan. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sesaat kemudian, ia langsung terkaget-kaget. Saat pandangan matanya menatap ke atas, ke kolong di bawah rumah panggung. Beberapa helai ekor panjang yang menjuntai. Hingga keluar melewati selah-selah lantai yang terbuat dari kulit kayu dan papan.
Meski demikian, ia berusaha untuk tetap menenangkan diri. Serta berpikir keras untuk mencari solusi. Bagaimana cara menyampaikan kepada teman-temanya. Bahwa para gadis itu bukanlah wanita biasa.
Ia pun mencari cara. Dengan berpura-pura, bertanya kepada teman-temannya yang di atas rumah. “Kalian yang di atas apakah sudah tidur atau belum?” Dan serempak teman-temanya pun menjawab, “Belum!”
Lalu Obang Kenak berkata: “Ndoi koderih, ihkam pohos nai namit kuhung ah holuk, ahkuk nguhut ihkuh ah tuh!”
Artinya, “Kalo begitu, sekarang kalian segeralah pegang kepalanya dan aku yang akan menarik ekornya dari bawah!”
Berulang kali Obang Kenak berkata demikian. Tetapi tak satu pun teman-temannya yang mengerti apa yang ia maksudkan. Hingga teman-temanya mulai bosan. Mereka tidak lagi menghiraukan apa yang ia katakan.
Suara yang tadinya riuh terdengar di dalam rumah panggung. Kini, perlahan mulai menghilang. Dalam keheningan malam, tiba-tiba saja ia mendengar ada tetesan air. Perlahan namun pasti. Tetesan air itu mengalir dan menetes, di atas tanah dan daun.
Sebagian lagi menetes tepat di atas kepalanya. Dengan gemetar, namun perlahan, ia mengusapnya dengan telapak tangan. Lalu ia mecium tetesan air yang menetes. Betapa kagetnya Obang Kenak. Ternyata, setiap tetesan yang menetes bukanlah tetesan air biasa. Melainkan aroma darah segar.
Tak perlu menunggu lama. Obang Kenak yang dilanda ketakutan, langsung lari terbirit-birit. Ia lari sekuat tenaga. Sambil membawa sepotong kayu api yang menyala. Para hantu Tomalui Lahai tentu saja tak mau kehilangan mangsanya.
Dengan bringasnya, para hantu/siluman itu mengejar Obang Kenak. Tetapi, mereka tidak bisa menangkapnya. Sebab, Obang Kenak sedang memegang sepotong kayu api yang masih menyala. Rupanya, para hantu itu paling takut dengan api dan cahaya terang. Meskipun sejatinya api neraka adalah tempat mereka.
Rombongan hantu wanita si Tomalui Lahai terus saja mengejar. Dengan segenap tenaga yang tersisa. Obang Kenak lari menuju tepian sungai. Hendak berlabuh sejauh-jauhnya. Mendayung perahu yang biasanya digunakan sebagai alat transportasi bersama teman-temanya. Namun malang, sesaat saja ketika ia hendak melompat ke perahu. Ia malah terjatuh dan terperosok ke sungai. Sehingga sepotong kayu api yang ia pegang langsung padam dan hanyut terbawa arus sungai.
Namun ia tidak kehilangan akal. Dengan cekatan, ia membalikkan perahu tersebut dan berlindung di baik perahunya.
Para hantu yang sudah haus akan darah manusia makin ganas dan mengamuk. Sepanjang malam, para hantu mengaruk-garuk dan mencakar papan perahu. Hingga bekas cakaranya menembus papan-papan perahu. Akan tetapi, jika perahu sudah mulai tembus, segeralah Obang Kenak berpindah posisi. Ia menghindar dan berlindung ke bagian papan yang masih utuh. Begitulah seterusnya sepanjang malam. Saat menjelang pagi, ketika sinar mulai datang. Segeralah hantu “Tomalui Lahai” berlari ke hutan belantara.
Dasar para hantu yang bodoh. Sesuatu yang mudah malah dibikin susah. Padahal, jika hantu nya mau, mudah saja menemukan mangsanya. Tinggal membalikkan perahunya . Maka para hantu akan menemukan santapan lezat dari menu kesukaanya.
Sementara Obang Kenak yang sedang dilanda ketakutan masih saja ia bersembunyi di balik perahunya. Walaupun sekujur tubuhnya telah gemetar antara kedinginan dan ketakutan. Campur aduk yang ia rasakan. Kejadian tersebut merupakan tragedi dan malapetaka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Perahunya yang terapung terus terbawa oleh arus sungai. Hingga mengantarkannya menuju sebuah kampung. Hingga suara riuh pun mulai terdengar. Seperti biasanya, semangat para gadis Dayak dan ibu-ibu yang sedang mandi dan mencuci di sungai. Barulah Obang Kenak menyadari. Bahwa masih ada harapan untuk melanjutkan kehidupan. Segera ia berteriak dan meminta pertolongan.
Obang Kenak segera mendapatkan pertolongan dari warga setempat. Kemudian, ia mulai menceritakan musibah yang telah menimpa dirinya dan teman-temannya yang telah tiada. Setelah kondisi fisiknya sehat. Ia pun diantar pulang ke kampung halamannya.
Sesampainya di kampung halaman, Obang Kenak langsung menceritakan musibah yang terjadi. Selanjutnya, pihak keluarga dan kepala adat suku Uud Danum membuat ritual. Ritual adat keselamatan bagi orang yang selamat dari marabahaya. Dan upacara duka, ritual adat bagi mereka yang telah tiada. Agar mereka yang tertimpa musibah mendapatkan ketenangan di alam baka.
Sejak peristiwa itulah. Hingga kini kaum laki-laki yang pergi berburu/mosan ke hutan belantara dilarang untuk menyebut nama wanita. Apalagi membawa wanita.
Menurut kepercayaan orang Uud Danum, jika ada orang yang menyebutkan nama perempuan di tenggah hutan belantara, maka sekejap saja “Tomalui Lahai” akan segera datang. Siluman wanita itu bisa meniru siapa saja. Perawakanya persis menyerupai seorang wanita yang disebutkan namanya. Kisah ini mengingatkan kita. Agar selalu waspada, menjaga sikap dan tutur kata. Dimanapun kita berada.
***
Bionarasi
Lisa Mardani, S.Pd.K., dilahirkan di Kepingoi, Kalimantan Barat pada 11 Oktober 1986. Seorang perempuan dari suku Dayak Uud Danum. Sejak tahun 2021 aktif menulis feature tentang suku Dayak Uud Danum.