26.5 C
Singkawang
More
    BerandaSosokDayul, Guru Perintis dari Banua Simpang

    Dayul, Guru Perintis dari Banua Simpang

    dayul1
    Jalan masuk menuju Kampung Gerai. Latar Belakang Gunung Beroban, Objek Wisata Air Terjun Siling

    | Penulis:  Amon Stefanus

    Tanggal 27 Juni hingga 1 Juli lalu aku melakukan perjalanan dalam rangka liburan dari Ketapang menuju Kampung Banjur, tempat kelahiranku. Dulu kampung ini merupakan sebuah kelurahan sendiri. Ayahku pernah memimpin desa ini dari tahun 1966 – 1971. Saat ini bersama Kampung Karab keduanya tergabung dalam desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

    Dari Ketapang, aku menumpang mobil Renatus Rianto, teman sekampung yang juga satu angkatan di SD Usaba Banjur Karab. Ia dengan istri dan anaknya akan berlibur ke Pontianak, dimana tempat istrinya berasal. Kami berangkat pukul 07.39 WIB dan sampai di Kepayang pada pukul 09.20 WIB. Kami berhenti di situ untuk buang air kecil.

    Pukul 15.49 WIB kami sampai di Kampung Gerai, Kecamatan Simpang Dua. Aku turun di situ di rumah Susana Tinsi, adikku nomor 4 yang berkeluarga di situ. Sedangkan Rianto bersama anak istri dan supir melanjutkan perjalanan ke Pontianak.

    Bertemu Cucu Guru Dayul

    Malamnya pada pukul 19.27 WIB aku diantar oleh adik iparku, Sudarman menemui Kenia (Kek Gogon) yang rumahnya berada sekitar 100 meter di tepi jalan Trans Kalimantan. Kenia adalah cucu Dayul, seorang guru perintis yang pernah menjadi guru di Simpang Dua dan Banjur Karab sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, zaman Jepang hingga awal kemerdekaan.

    dayul 2

    Nama guru Dayul ku kenal lewat ijazah yang dimiliki ayahku. Ijazah tersebut ditandatangani oleh kepsek Dayul. Aku juga mendengar cerita tentang Guru Dayul dari ibu. Selain itu dalam Catatan Harian Pater Bernardinus diceritakan bahwa ketika ia turne ke wilyah Simpang Hulu tahun 1948, ia bertemu dengan guru Dayul di kampung Karab. Sudah lama aku ingin menggali tentang guru Dayul ini, baru sekaranglah dapat terwujud.

    Menurut Kenia, kakeknya lahir di Kampung Gerai. Ia memperoleh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) 3 tahun di Sukadana (sekarang ibu kota Kecamatan Kayung Utara). Dayul menjadi guru sejak zaman Kolonial Belanda. Ketika Jepang berkuasa tahun 1942 Dayul diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi guru SR di Kampung Simpang Dua. Sekolah ini sebelumnya telah berdiri sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda.  Letak sekolah berada di tempat yang bernama Lobah Bungkang, sekarang berdiri SDN 02 Simpang Dua. Di sekolah tersebut Dayul digaji oleh Pemerintah Jepang. Sebagaimana sekolah Jepang, di situ diajarkan juga Bahasa Jepang. Dayul sendiri yang mengajar Bahasa Jepang di sekolah tersebut. Ternyata ia menguasai Bahasa Jepang.

    Meskipun pernah menjadi pegawai Pemerintah Jepang, Dayul sangat prihatin dengan keadaan masyarakat waktu itu. Selama 3,5 tahun di bawah Pemerintah Jepang keadaan rakyat sungguh sengsara. Masyarakat tidak memiliki pakaian. Banyak orang kala itu terpaksa memakai baju yang terbuat dari karung goni ataupun kulit kayu kapuak. Yang paling sengsara, masyarakat tidak boleh mengkonsumsi garam. Kalau ada ditemukan masyarakat yang mengkonsumsi garam ia diancam hukuman mati.

    Alasan masyarakat tidak boleh mengkonsumsi garam karena dengan mengkonsumsi garam masyarakat akan menjadi pintar dan fisiknya kuat. Jika mereka sudah menjadi pintar dan kuat akan menjadi ancaman bagi Penguasa Jepang. Karena dilarang, maka masyarakat dengan diam-diam membeli dan menyimpan garam. Dayul sendiri pernah membeli garam, memasukkannya ke dalam tempayan kemudian dikubur di tanah. garam tidak langsung dicampur dengan sayur karena takut ketahuan bila dicicipi. Kalau mau makan, baru diambil sedikit-sedikit.

    Dikejar Panglima Burung

    Pada tahun 1945 ketika Amerika menjatuhkan bom di kota Nagasaki dan Hirosima dan Jepang dinyatakan kalah perang, bangsa Indonesia bersukacita. Tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak terkecuali masyarakat di Kalimantan Barat menyambut dengan gegap gempita. Di Kalbar, di bawah pimpinan Panglima Burung rakyat begitu giat membersihkan sisa-sisa dari Penjajah Jepang. Mereka mengejar sisa-sisa tentara Jepang dan simpatisannya untuk dibunuh. Sekolah-sekolah bentukan Jepang mereka bakar dan para pegawai yang dianggap pro Jepang diancam akan dibunuh.

    Mendengar informasi bahwa Panglima Burung dan pasukannya akan datang ke Simpang Dua dan akan membersihkan sisa-sisa peninggalan Jepang di situ, maka sebagai guru yang diangkat Jepang Dayul tidak berani mengambil resiko. Untunglah sebelum rombongan Panglima Burung datang, ada orang yang memberitahunya. Ia lari ke Gerai kemudian ke Sepotong dan bersembunyi di sana.

    Menurut cerita Guru Dayul kepada Kenia cucunya, ketika datang ke Simpang Dua Panglima Burung mencari rumah para pegawai yang diangkat Jepang. Karena tidak bertemu mereka membakar rumah guru Dayul dan rumah-rumah sekitarnya. Yang sangat disesalkan, jurokng (lumbung padi) milik guru Dayul yang saat itu penuh dengan padi dibakar juga oleh rombongan Panglima Burung.

    dayul 3

    Ada perbedaan antara keterangan Kenia dan Catatan Harian Pastor Bernardinus. Menurut cerita kakeknya, Kenia mengatakan bahwa rumah sekolah yang berada di Simpang Dua itu tidak dibakar. Yang mereka bakar hanya rumah dan jurong milik Guru Dayul. Sedangkan menurut cerita pastor Bernardinus, ketika ia bertemu dengan Guru Dayul di Karab tahun 1948, ia bercerita dengan Pastor Bernardinus bahwa sekolah di Karab itu sebelumnya berada di Simpang Dua. Karena dibakar oleh Panglima Burung, maka sekolah itu dipindahkan ke Karab.

    Setelah aman, Guru Dayul pulang ke Simpang Dua dan membangun rumah di samping rumah Pak Gamilang dan Leo (Pak Jelayan) sekarang. Rumah itu kemudian ditempati anaknya Nuar. Kini di tempat berdirinya rumah itu telah dibangun rumah baru dan sekarang dikontrakkan.

    Mendirikan Sekolah Di Karab

    Pada tahun 1947 sekolah yang berada di Simpang Dua dipindahkan oleh Pemerintah NICA ke Kampung Karab. Karena Guru Dayul sudah berpengalaman memimpin sekolah sejak zaman Kolonial Belanda maka ia pun ditunjuk menjadi guru dan kepala sekolahnya. Maka pindahlah guru Dayul dan keluarga dari Simpang Dua ke Karab. Di Karab selain mengajar ia juga berladang dan membuat kebun karet.

    Pada tahun 1951 oleh Pemerintah Indonesia, sekolah di Karab dipindahkan ke Simpang Dua. Sekolah tersebut bernama Sekolah Rakyat (SR) Simpang Dua. Yang ditunjuk sebagai kepala sekolah adalah Guru Dayul. Dalam perkembangan selanjutnya guru yang berkarya bersama Guru Dayul di  SR tersebut adalah Guru Achmad, Guru Itang dan Guru Terang.

    Karena sekolah di Karab ditutup dan dipindahkan ke Simpang Dua maka sebagian murid yang berasal dari Banjur, Karab, Merangin dan Bukang berhenti karena jarak antara kampung-kampung tersebut ke Simpang Dua cukup jauh. Jarak dari Banjur ke Simpang Dua misalnya 8 km dan ditempuh dengan jalan kaki selama 2 jam.

    Mengingat hal tersebut maka atas inisiatif Lurah Kampung Karab yang bernama Lorah, pada 10 November 1952 diadakan musyawarah di Kampung Karab. Hadir dalam musyawarah tersebut HB Rikah asal kampung Selantak yang pada waktu itu baru lulus dari SR 6 Tahun di Ketapang. Dalam musyawarah tersebut diputuskan didirikan sebuah sekolah demi kemajuan anak-anak di daerah itu. Upaya tersebut belakangan membuahkan hasil.

    Pada 1 Agustus 1957 berdirilah sebuah sekolah yang bernama Sekolah Partikelir Yayasan Usaba Banjur-Karab. Sekolah yang diprakarsai oleh para misionaris Pasionis tersebut terletak antara kampung Banjur dan Karab. Sebagai kepala sekolah pertama adalah Guru Rikah dan stafnya Guru Gelombang. Sekolah itu sekarang telah berubah nama menjadi SDN 03 Simpang Dua.

    dayul 4

    Sejarah Berulang

    Guru Dayul menikah dengan Ikon asal Kampung Temiang. Mereka hanya memiliki satu anak bernama Nuar. Nuar mempunyai 3 anak bernama Nona, Sima dan Kenia. Suami Nona yang bernama Juwang pernah mengajar di STM Usaba Ketapang.

    Sampai ke generasi cicit Dayul ada 1 orang yang mengikuti jejak kakek buyutnya menjadi guru. Anak Kenia yang bernama Heri, sekarang menjadi kepala sekolah di SDN 03 Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua. Ia mengajar di daerah yang dulu pernah kakek buyutnya juga mengajar. Rupanya sejarah itu berulang.

    ***

    Bionarasi

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita