
Samarinda, detikborneo.com – Kalimantan Timur kembali jadi sorotan. Bukan karena hutannya yang mempesona atau kearifan lokal masyarakat Dayak, tetapi karena deretan tambang batubara raksasa yang terus mencabik-cabik tanah Borneo. Sebanyak 27 perusahaan tambang batubara—baik nasional maupun multinasional—menambang kekayaan alam dengan volume produksi yang menembus puluhan juta ton setiap tahun.
Produksi batubara Indonesia pada pertengahan 2023 bahkan mencetak rekor: 360 juta ton lebih, setengahnya berasal dari Kalimantan Timur. Di atas kertas, angka ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi. Tapi di balik itu, jejak kehancuran lingkungan dan ketidakadilan sosial justru membayangi masyarakat adat, khususnya suku Dayak.

Lahan Hilang, Identitas Terkikis
Di berbagai wilayah tambang seperti Kutai Timur, Kutai Kartanegara, dan Berau, banyak masyarakat Dayak kehilangan tanah ulayatnya. Hutan adat yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan ritual kepercayaan, digantikan dengan lubang-lubang tambang menganga yang seringkali ditinggalkan tanpa reklamasi.
“Dulu kami berburu dan berkebun di sana. Sekarang tinggal debu dan air asam tambang,” ujar Yadi, warga Dayak di Kabupaten Kutai Timur.

Dari Tuan Rumah Menjadi Penonton
Ironisnya, masyarakat adat Dayak yang tinggal di kawasan penghasil batubara justru jarang merasakan manfaat ekonomi langsung. Lapangan kerja mayoritas diserap dari luar, sementara masyarakat lokal menghadapi krisis air bersih, rusaknya jalan desa, dan banjir yang semakin parah akibat deforestasi masif.
“Anak-anak muda kami pergi ke kota karena tak ada ruang hidup lagi di desa,” keluh seorang tokoh adat di Kecamatan Sangatta.
Tambang dan Jejak Kolonialisme Baru
Batubara di Kalimantan Timur mulai digali sejak 1845, saat pedagang Inggris meneliti Sungai Mahakam. Sejak itulah, tanah Dayak menjadi rebutan. Dulu, hasilnya dibawa ke Inggris untuk bahan bakar kereta uap. Kini, hasil tambang dibawa ke Cina, India, dan negara industri lain—sementara masyarakat lokal kembali hanya menjadi penonton.
Apakah ini bentuk kolonialisme baru yang dikemas dalam izin usaha pertambangan?
Apa Yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah daerah dan pusat perlu mengambil langkah tegas:
Meninjau ulang izin-izin tambang di wilayah adat.
Mewajibkan reklamasi pascatambang dengan melibatkan masyarakat lokal.
Mendorong keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam perundang-undangan pertambangan.
Memastikan bagi hasil tambang benar-benar menyentuh desa-desa terdampak.
Suara masyarakat adat tak boleh tenggelam oleh deru ekskavator.

SDA untuk Siapa?
Kalimantan Timur memang menyimpan cadangan batubara melimpah, terbentuk dari gambut tua jutaan tahun. Namun jika dikelola dengan cara eksploitatif seperti saat ini, bukan hanya tanah yang rusak, tapi warisan budaya dan eksistensi masyarakat Dayak pun ikut musnah.
Jika tambang terus bertambah, pertanyaannya sederhana: Apakah Kalimantan masih rumah bagi orang Dayak, atau hanya menjadi halaman belakang industri energi global?
Redaksi: detikborneo.com
Reporter: Lawadi