| Penulis: R. Masri Sareb Putra
Bunga dan pohon tumbuh dalam diam. Matahari dan bulan bergerak dalam kesunyian. Kita harus belajar diam dan tenang untuk dapat menemukan harum dan cahaya.
Kata-kata Bunda Teresa itu sangat pas untuk melukiskan Djamin Johanes. Ia pria mendekati baya yang bersahaja. Seorang petani ugahari dari kampung Biang, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat itu bekerja dalam diam. Sederhana apa yang dilakukannya. Itu pun, bukan didorong pamrih berupa pujian, apalagi penghargaan.
Terinspirasi ketika ada kesempatan berkunjung ke Jawa. Djamin menyaksikan penduduk menanam pohon jati. Jati londo yang sudah tua bukan saja bernilai komoditas tinggi, melainkan juga melindungi lingkungan.
Ia heran dan bertanya. Mengapa di setiap tempat, orang menanam jati dan sengon? Tak sebatang pun ia menemukan di Jawa orang menanam belian, atau kayu besi, atau lazim juga disebut sebagai kayu ulin.
Kembali ke kampungnya, Djamin nekad berbuat. Ia pergi ke hutan-hutan. Itu terjadi pada 1993. Dicarinya buah dan bibit belian yang dalam istilah binomial (ilmiah) disebut eusideroxylon zwageri. Setelah ketemu yang diburu, Djamin pun menanam bibit belian di sekitar tempat tinggalnya.
Baca juga: Darmae Nasir: Riset Untuk Daerah
Jika tidak menemukan, Djamin rela merogoh uang dari saku sendiri untuk membeli. Semakin lama semakin banyak. Dan ketika pada 1993 Djamin hanya menanam bibit ulin di sekitar rumah, kini tumbuhan berdaun hampir setapak tangan orang dewasa itu, menyebar di mana-mana. Bahkan, merambat sampai ke hutan-hutan. Ia tumpangsarikan dengan pohon-pohon lain yang sudah ada, di bawah naungan tengkawang dan meranti.
Tak terasa, lama-lama belian yang tumbuh di tanah dari tangan Djamin sudah mencapai 2.400 pohon. Diam-diam, ada yang mengamati perbuatannya. Tak dinyana, pada 2002, pria yang menurunkan 10 anak ini terheran-heran. Kepadanya dianugerahkan penghargaan Kalpataru.
Seperti diketahui, Kalpataru ialah tanda penghargaan yang diberikan kepada peserorangan atau kelompok atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Dan Djamin, seorang petani ugahari yang diam, menerimanya dari Negara. Djamin tercium harumnya seperti bunga yang tumbuh diam dan matahari yang bersinar tanpa pamrih untuk apa dan siapa saja.
Ketika menerima tanda penghargaan Kalpataru dari Kementrian Lingkungan Hidup RI berupa uang Rp5.000.000,00 mata Djamin berkaca-kaca. Ia tak mengira sama sekali. Ia merasa apa yang dilakukan sangat sederhana: hanya menamam jenis pohon langka. Agar anak cucu bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri kayu khas bumi Borneo yang sangat terkenal itu. Ia merasa hanya mata rantai yang mewariskan khasanah yang nyaris hilang.
Dan kini, kayu belian sudah tak lagi langka. Ribuan pohon yang sudah tingi besar menghiasi sepanjang daerah aliran sungai Biang, Kecamatan Seluas, Kab. Bengkayang, Kalbar.
Kini setelah ditanam lebih dua puluh tahun silam, kayu belian Djamin sudah bisa dipanen. Namun, tetap berpegang teguh pada asas: tebang-tanam.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.