| Penulis: Hery Susanto
Ada sebuah kisah kuno di negeri China diceritakan ada seorang murid yang mempunyai ambisi tinggi untuk berguru kepada seorang guru tersohor di neg’ri itu.
Suatu hari sehabis bermeditasi murid itu bertanya kepada gurunya: ”Guru, coba lihat sekarang saya seperti apa menurut guru?”
“Saya melihat kamu seperti cahaya yang menerangi sekelilingmu,” jawab gurunya.
Kemudian guru itu balik bertanya: “Kamu melihat saya seperti apa?”
Murid itu menjawab: “Seperti sekumpulan kotoran!”
Akan tetapi guru itu tidak marah dan tidak berkata apa- apa. Di dalam hati murid itu sangat bangga karena merasa bisa mengalahkan gurunya dengan kata-katanya.
Suatu ketika sang murid itu dengan bangganya menceritakan hal itu pada adiknya. Tapi justru sang adik berkata: ”Kakak, kamulah yang kalah! Karena di dalam hati guru itu ada terang sehingga dia melihat kakak seperti suatu cahaya. Akan tetapi di dalam hati kakak penuh kotoran sehingga kakak melihat guru itu seperti kotoran!”
Seringkali manusia mengalami kegagalan dalam bisnis maupun kehidupan sosial hanya karena terlalu dini menilai sesuatu dari kulitnya saja. Kemudian menganggap rendah orang lain dan meremehkannya. Kita akan kehilangan berkat dari orang lain ketika sudah menutup akses kita sendiri kepada orang yang kita rendahkan maupun remehkan.
Hati Anda adalah ibarat kacamata bagi mata Anda, jika ia jernih maka jernihlah semua yang dipandangnya. Matamu adalah pelita tubuhmu, jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu (Lukas 11:34). Pelita tubuh dalam bahasa Yunaninya disebut sebagai luchnos somatos.
Kata luchnos memiliki kesesuaian dengan look dalam bahasa Inggris yang berarti melihat. Dengan adanya pelita tubuh maka kita dapat “look” bukan sekedar “see” (melihat). Look lebih tepat diartikan sebagai melihat dengan penuh perhatian.
Jadi peran pelita di sini memberikan perspektif bahwa apa yang kita lihat dengan mata sesungguhnya bukan sekedar melihat tetapi dapat memperhatikan dengan seksama apa yang ada di sekitar kita.
Baca juga: Lowongan Kerja
Lebih lanjut dikatakan jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu. Mata yang baik atau haplous ophtalmos akan menyebabkan potheinos. Arti haplous adalah simple/sederhana.
Maknanya menunjukkan bahwa apa yang kita lihat dengan mata yang sederhana adalah tidak mengada-ada atau memberikan prasangka-prasangka di balik pemandangan kita.
Uniknya adalah pemikiran di balik apa yang dilihat itu justru menentukan apakah kita ini ada di dalam terang (potheinos) atau gelap (skotheinos).
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa yang diterangi atau digelapkan adalah tubuh kita sendiri, bukan orang lain yang kita lihat. Maka penilaian kita kepada orang lain justru akan mengungkapkan siapa diri kita yang sesungguhnya.
Kisah tersebut menginspirasi kita bagaimana seseorang yang bijak akan selalu melihat segala sesuatu dari perspektif yang positif. Saya tinggal di perumahan padat. Selayaknya perumahan yang lain, rumah kami berbatasan tembok setengah bata dengan tetangga sebelah.
Kami harus berhati-hati ketika terjadi komunikasi dalam keluarga, karena tetangga bisa mendengar suara itu dengan jelas dari seberang tembok. Istri saya pun kadang mendengar pertengkaran tetangga begitu seru hingga berakhir dengan caci maki suami istri.
Bisa dibayangkan bahwa ada godaan terbesar antara menahan rahasia atau menceritakan percekcokan itu sebagai bahan gosip yang semakin asyik untuk disebarluaskan. Ketika cerita berkembang di perumahan, suasana kacau dalam satu rumah tangga itu berubah menjadi konsumsi satu RT, di mana semua orang tahu bahwa keluarga itu punya masalah.
Alih-alih membantu, mereka malah semakin ingin tahu perkembangan masalah itu. Rasa ingin tahu mereka membuat penilaian-penilaian berdasar prasangka-prasangka yang akhirnya harus melibatkan Pak RT karena persoalan itu mulai mengganggu kerukunan antar warga perumahan.
Hal ini menjadi sebuah refleksi dari sebuah mata yang baik (haplous ophtalmos) yang justru mengungkapkan siapa diri kita sesungguhnya. Bukan sekedar melihat, tetapi pemikiran di balik apa yang dilihat itu kadang-kadang menjadikan setiap orang tiba-tiba menjadi para penasehat yang semakin memperumit keadaan. Tuhan menghendaki setiap orang percaya
melihat dengan kacamata yang baik, kacamata sederhana tanpa praduga, sehingga apa yang dilihat juga akan jelas dan mengungkapkan jati diri kita yang sesungguhnya.
Namun apakah kita sebagai orang beriman itu telah melihat dengan kacamata yang benar, atau melihatnya dengan hati yang jahat, akibatnya bukan kerukunan tetapi keributan yang terjadi, bukan terang tetapi gelap semua yang dilihat melalui pemikirannya.
***
Bionarasi
Dr. Hery Susanto, M.Th. dilahirkan di Salatiga, Jawa Tengah pada 21 Januari 1973.
Dosen di STT JKI. Aktif menulis dan berkiprah di bidang teologi dan filsafat.