| Penulis: Hertanto
Suatu malam, seorang tukang kayu tua bernama Gepeto telah selesai membuat sebuah boneka. Gepeto menamakan boneka itu Pinokio. Karena kedekatan emosi yang terjadi antara Gepeto dengan boneka buatannya; disaat dia tidur, Gepeto mengigau. Ia mengharapkan boneka itu bisa hidup menjadi seorang anak laki-laki.
Keinginan Gepeto didengar oleh Peri Biru yang turun dari langit untuk memberikan nafas kehidupan kepada boneka itu. Peri Biru itu mengatakan kalau kehidupan menjadi anak laki-laki itu hanya sementara. Pinokio harus membuktikan dirinya adalah pribadi yang pemberani, jujur dan tidak egois.
Jimi Jangkrik diberi tugas oleh Peri Biru untuk menjadi pendamping Pinokio. Tapi, bila Pinokio berbohong, hidung kayunya akan memanjang dan akan kembali normal bila Pinokio berkata jujur.
Suatu ketika, Gepeto mengalami kesulitan, ia ditelan oleh ikan paus raksasa. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Pinokio segera pergi menyelamatkan Gepeto. Berkat kebaikannya itu, Peri Biru kemudian mengubah Pinokio menjadi seorang anak laki-laki selamanya.
Cerita Pinokio aslinya ditulis oleh Collodi (Carlo Lorenzini), yang diterbitkan dalam bentuk serial pada tahun 1880 dan dalam bentuk buku pada tahun 1883. Film Pinokio merupakan salah satu film animasi Disney yang memakan biaya paling mahal.
Dari cerita dongeng singkat di atas, siapa yang tidak kenal dengan kisah Pinokio. Dari boneka kayu menjadi seorang manusia. Suatu perubahan yang drastis serta dramatis, dan itu dilaluinya dengan berbagai kejadian yang ia alami.
Namun yang menjadi cerita ini menarik adalah bukan hanya terpaut pada perubahan dari kayu menjadi manusia utuh tersebut, namun yang menjadi renungan buat kita semua adalah ketika Pinokio berbohong, hidungnya akan memanjang, dan akan kembali normal jika ia berkata jujur.
Sahabat, seandainya kita adalah Pinokio yang hidup di jaman serba modern ini, seberapa panjang hidung kita sekarang? Bukankah kita akan merasa lebih nyaman disaat kita berbohong?
Bukankah ini juga pertanyaan intimidatif? Ataukah memang sesuatu (bohong) yang rutin kita lakukan akan menjadi sebuah kewajaran? Adakah tendensinya?
Ketika saya berpikir lagi, apakah perlu setiap perbuatan kita langsung mendapat ‘upahnya’, sehingga hidup kita lebih bisa dikontrol?
Coba Anda bayangkan, jika kita adalah Pinokio, mungkin akan takut berbohong, karena akibat dari berbohong itu langsung nyata dan dapat disaksikan oleh banyak orang. Kita tentunya akan lebih berhati-hati ketika berkata, dan tentunya akan lebih berusaha menguasai diri.
Berbicara tentang menguasai diri, tentunya kita tahu sembilan buah Roh yang terdapat di dalam Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Dari kesembilan buah Roh, yang terakhir adalah penguasaan diri. Pertanyaannya adalah mengapa penguasaan diri ditempatkan di tempat yang terakhir dalam penulisan?
Tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti, paling hanya sekedar asumsi; dan inilah asumsi saya bahwa Rasul Paulus ingin menyampaikan kepada Jemaat di Galatia bahwa penguasaan diri mencakup seluruh area kehidupan manusia.
Apakah bisa dikatakan sabar, jika tidak memiliki penguasaan diri? Apakah bisa dikatakan setia jika tidak memiliki penguasaan diri?
Kita tidak memiliki penguasaan diri apabila tidak bisa mengendalikan apa yang kita ucapkan. Dari mulut keluar berkat, dari mulut yang sama pula keluar kutuk.
Mengerikan bukan? Seorang Raja Besar, Salomo, dalam Amsal 17:4, ”orang yang berbuat jahat memperhatikan bibir jahat, seorang pendusta memberi telinga kepada lidah yang mencelakakan.”
Ini berarti bahwa perbuatan jahat seseorang mungkin berasal dari ucapan-ucapan ’jahat’ yang ia dengar. Betapa jahatnya ucapan-ucapan jahat itu, sehingga dapat membentuk orang untuk berbuat jahat.
Berapa banyak persahabatan hancur karena lidah? Berapa banyak gereja ’mandul’ karena di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak menjaga lidahnya? Atau jangan-jangan komunitas kita termasuk salah satu dari yang mandul itu? Nah looohhh?!?!?
Kata-kata bisa mematahkan dan menghancurkan. Yakobus mengenali kenyataan ini ketika ia mengatakan, ”Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar.” (Yakobus 3:5).
Jika kita ingin menguasai diri, mulailah dengan mengendalikan lidah. Jika sobat muda dapat mengendalikan organ yang kecil tetapi berkekuatan besar ini, maka kita mampu menguasai tubuh.
Satu pertanyaan untuk kita semua adalah, bagaimana cara kita menguasai lidah? Karena dengan jelas Yakobus berkata bahwa tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah.
Hanya takut akan Tuhan yang dapat memberikan kita kekuatan untuk mengendalikan diri kita. Kata-kata kita dapat menjatuhkan atau membangun orang lain, semua tergantung pilihan.
Saya yakin dan percaya, kita semua merindukan gereja kita dapat ’terbang seperti rajawali’. Namun jika tidak ada perubahan dalam penguasaan diri melalui lidah, selamanya kita tidak akan bisa terbang.
Jangankan terbang, berjalan saja mungkin susah. Mari lakukan perubahan, dan mulailah itu dari diri sendiri.
Sumber gambar: urgente24.com
***
Bionarasi
Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom., M.Pd.
Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.