
Jakarta, detikborneo.com
-Daun kratom pernah menjadi sorotan publik dan saat ini tetap eksis bahkan penjualan sudah tembus ke mancanegara. Tumbuhan khas Asia Tenggara ini kini menjadi perbincangan hangat bukan karena kontroversinya tapi nilai uang yang menjanjikan, baru- baru ini ada permintaan mencapai 80 kontainer perbulan untuk memenuhi pasar di Amerika.
Mitragyna speciosa—nama ilmiahnya—telah dimanfaatkan sejak lama oleh masyarakat Dayak di Kapuas Hulu Kalimantan Barat dan juga di Asia Tenggara, saat ini banyak diminati di Amerika, India dan China, sebagai obat tradisional. Efeknya yang dipercaya dapat meredakan nyeri, meningkatkan energi, hingga membantu pemulihan dari kecanduan opioid, menjadikannya bahan kajian ilmiah yang sangat menarik.

Masteria Yunovilsa Putra, peneliti dari Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, menjelaskan bahwa kratom mengandung senyawa aktif seperti mitragynine dan 7-hydroxymitragynine yang bekerja pada sistem saraf pusat, mirip seperti opioid, namun dengan potensi ketergantungan yang lebih rendah.
“Dibandingkan morfin, senyawa mitragynine dari kratom menunjukkan afinitas pengikatan yang lebih rendah terhadap reseptor mu-opioid. Ini berarti efek analgesiknya cukup baik, namun relatif lebih aman dari risiko kecanduan,” ungkap Masteria dalam keterangannya di Jakarta, (Sumber: https://www.brin.go.id/news/119451/peneliti-brin-beri-penjelasan-soal-daun-kratom pada Selasa, 02/07/2024).

BRIN juga melakukan studi in vivo menggunakan hotplate pada hewan coba. Hasilnya, ekstrak alkaloid kratom menunjukkan efek pereda nyeri yang sebanding dengan morfin, bahkan mampu menunda munculnya toleransi terhadap obat hingga hari ke-10, dibanding morfin yang menunjukkan penurunan efek pada hari ke-5.
Lebih dari sekadar penghilang rasa sakit, kratom juga menunjukkan potensi dalam terapi kanker dan antiinflamasi. Masteria menyebutkan bahwa ekstrak kratom dapat digunakan sebagai adjuvan untuk pengobatan kanker dan mampu menekan pertumbuhan sel kanker secara in vitro ketika dikombinasikan dengan obat doxorubicin.
“Dalam riset lain yang tengah melalui proses peer review, kami juga menemukan potensi senyawa alkaloid kratom sebagai agen antiinflamasi dengan efek samping yang lebih ringan dibanding obat-obatan NSAID,” jelasnya.

Namun, manfaat kesehatan ini tidak datang tanpa catatan. Penggunaan dalam dosis tinggi tetap berisiko memunculkan efek samping seperti mual atau kejang, sehingga pengaturan yang bijak dan ilmiah diperlukan.
Di sisi lain, kratom telah menjadi sumber penghidupan ribuan petani, terutama di wilayah Kalimantan. Ekspor kratom ke pasar internasional menyumbang pendapatan signifikan bagi mereka.

“Regulasi yang tepat harus dibuat agar potensi kratom sebagai sumber ekonomi dan kesehatan bisa dimaksimalkan tanpa mengorbankan keselamatan masyarakat maupun mata pencaharian petani,” tegas Masteria.
Ia berharap, melalui penelitian mendalam dan dialog lintas sektor—antara ilmuwan, pemerintah, hingga petani dan masyarakat—Indonesia bisa memimpin dalam pengembangan kratom secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. (Bajare007)





