| Penulis: Hafid Abbas (Ketua Senat UNJ)
Sebagai bagian dari tradisi akademik yang sudah terpelihara di dunia kampus, UNJ kembali lagi mengukuhkan empat di antara 30 orang guru besar barunya pada, 14 Desember 2021.
Pertama, Prof Dr Constantinus Rudy Prihantoro, MPd, Bidang Ilmu Pengembangan Kurikulum, Fakultas Teknik, telah menyoroti isu “Pengembangan Kurikulum Model Wheeler Pada Program Studi Vokasi Berbasis Learning Management System (LMS) dan Terobosan Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM)”
Dikemukakan oleh beliau bahwa hingga saat ini dikenal beragam model pengembangan kurikulum, di antaranya; Tylor’s Curriculum Development Model; Taba’s Curriculum Development Model; The Olivia Model; Beaucham’s Curriculum Development Model; Wheeler’s Model; The DISCOVER Assessment and Curriculum Development Model; Lattuca and Stark’s Model; Sayler and Alexander Model; dan DACUM (Developing a Curriculum).
Dari sekian banyak model pengembangan kurikulum itu. tidak semua model dapat digunakan untuk semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. Model pengembangan kurikulum yang mendekati kebutuhan pengembangan pendidikan vokasi, yaitu Model Wheeler karena model ini memiliki lima tahapan yang saling bertautan yang menjadi cirinya, yaitu: tujuan umum, tujuan khusus dan sasaran (aims, goals and objectives); menentukan pengalaman belajar (selection of learning experience); menentukan isi atau materi (selection of content); mengorganisasi dan mengintegrasi pengalaman dan bahan pembelajaran (organization and integration of learning experiences and content); dan evaluasi.
Kebijakan MBKM terlihat amat relevan dengan pengembangan LMS di perguruan tinggi karena mahasiswa dapat memilih mata kuliah yang tersedia di kampus sendiri maupun di kampus lain untuk bersama-sama mengisi konten pembelajaran bagi mahasiswa.
Kedua, Prof Dr Herlina MPd, Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan telah mengangkat isu “Whole Language Approach Sebagai Preferensi dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran Bahasa Inggris Melalui Pemikiran Metakognitif”.
Dikemukakan oleh beliau bahwa meskipun Bahasa Inggris bukan mata pelajaran wajib di SD di Indonesia, namun pelajaran ini terlihat begitu penting karena terdapat kecenderungan di masyarakat, orang tua tidak mendaftarkan anaknya di sekolah yang tidak mengajarkan Bahasa Inggeris sejak di kelas awal SD.
Karenanya, dalam implementasinya pengajaran Bahasa Inggris perlu memperhatikan aspek-aspek pedagogis secara matang sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara maksimal. Salah satu pendekatan yang dinilai sesuai yakni kombinasi antara Whole Language Approach dengan pemikiran metakognitif. Pendekatan ini dinilai dapat menumbuhkan kreativitas, berpikir kritis, dan menghargai perbedaan sesuai dengan tujuan pendidikan. Menarik direnungkan tuturan Ignacio Estrada: “If a child can’t learn the way we teach, maybe we should teach the way they learn”
Ketiga, Prof Dr Budiaman, MSi, Bidang Ilmu Pendidikan Lingkungan, Fakultas Ilmu Sosial, yang telah memahas isu Model Pendidikan Lingkungan Berkelanjutan Berbasis Socialpreneurship. Dikemukakan oleh beliau bahwa untuk menjaga harmoni hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sikap eksklusif manusia yang dapat mengelola lingkungan tanpa kendali, dapat dihindari dengan sikap yang inklusif melalui pendidikan lingkungan yang berbasis socialpreneurship.
Dengan pendekatan sociopreneurship ini, eksploitasi lingkungan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat berikut: aktivtitas pengelolaan lingkungan dilakukan oleh warga masyarakat sendiri yang akan mengambil manfaatnya; pengambilan keputusan tidak berdasarkan pada kepentingan pemilik modal atau korporasi yang eksploitatif; aktivitasnya melibatkan mereka yang terkena dampak dari masalah sosial, seperti warga miskin di sekitarnya; distribusi pembagian keuntungan yang terbatas; dan terdapat tujuan yang jelas secara nyata bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri.
Prasyarat ini perlu diadopsi karena lingkungan juga memiliki sifat yang abadi yakni: segala sesuatu di alam ini berhubungan dengan segala sesuatunya yang lain; segala sesuatu di alam ini bergantung dengan segala sesuatunya yang lain; tidak ada yang bebas begitu saja di alam ini; dan, alam mengerti yang terbaik (nature knows best). Jika lingkungan diperlakukan secara eksklusif dan eksploratif maka alam akan membalasnya dengan lebih kejam (natural revenge).
Penebangan hutan, misalnya, lingkungan membalasnya dengan banjir, longsor, kekeringan, dsb.
Ke empat, Prof Dr Henry Eryanto, MM, Bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi yang telah menyoroti isu Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi: Dinamika, Tantangan, dan Keberlanjutannya.
Dikemukakan bahwa sejak 1997, hampir seperempat abad silam, Dikti telah mengembangkan pendidikan kewirausahaan dengan berbagai program, yaitu Kegiatan Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan (PPBK), Inkubator Wirausaha Baru (INWUB), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK), dsb.
Semua program kewirausahaan yang inovatif itu, sayang sekali tidak terawat keberlanjutannya. Banyak kebijakan yang telah diberlakukan di masa lalu yang begitu bagus dengan biaya yang tentu amat besar tapi hanya bertahan sebatas era satu priode atau sebatas masa kepemimpinan Menteri yang bersangkutan.
Semoga, kebijakan baru Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM), dapat dirawat keberlangsungannya. Perguruan Tinggi juga dapat meningkatkan kemitraannya dengan dunia usaha dan industri, melibatkan praktisi dalam pembelajaran di Kampus dengan konsep pembelajaran problem based dan product/team based learning, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi project based learning.
Misalnya, jika sabuk kelapa yang berserakan di mana-mana di satu daerah, ini dapat menjadi masalah pembelajaran (problem based). Namun jika kulit kelapa itu diambil seratnya sebagai bahan baku pembuatan perabot rumah tangga, tali, atap rumah, dinding, kursi, dsb. Pembelajaran itu membuahkan hasil nyata (product based). Hasilnya dapat dijadikan proyek kerjasama (project-based) dengan dunia usaha dan industri yang dapat memberi keuntungan semua pihak.
Implikasi
Dari ke empat orasi ilmiah tersebut terlihat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, bagi semua pengambil kebijakan pendidikan di pusat dan di daerah agar kebijakan yang diambil itu tidak “tambal sulam”, dan tidak membuat pendidikan sebagai kelinci percobaan karena jika salah dapat menimbulkan kerugian fatal di masa depan. Karenanya, kebijakan itu: haruslah realistik (masuk akal) sesuai dengan kondiri real yang ada di masyarakat; haruslah lebih aspiratif yang mencerminkan kesesuainnya dengan kepentingan masyarakat luas; haruslah lebih partisipatif yang melibatkan peran aktif semua pihak terkait di pusat dan daerah; haruslah lebih berorientasi pada kepentingan masa depan anak didik, bangsa dan negara; haruslah jelas tahapan-tahapan pelaksanaannya, berkesianmbungan dari apa yang telah ada dengan mengembangkannya, memajukannya, dan membuatnya lebih baik lagi dan lebih berguna bagi masa depan kita bersama.
Ke dua, penerapan kebijakan MBKM haruslah dilihat sebagai bagian dari berbagai kebijakan yang telah diadopsi di masa lalu. Kebijakan “link and matched” misalnya di era Menteri Wardiman, terlihat amat sesuai dengan kebijakan MBKM. Tembok China meski dibangun sejak ribuan tahun lalu, sejak awal abad ke-7 SM, namun tetap diteruskan oleh Dinasti Ming (1368-1644), hingga kini maha karya ini terus dirawat kebesarannya.
Tidak akan pernah lahir satu karya besar satu peradaban jika selalu dimulai dari yang baru.
Ke tiga, dunia kampus dengan pusat studi lingkungannya, kelihatannya perlu menyiapkan “Guiding Principles on Business and Environment” dengan merujuk pada sejumlah konvensi, treaties, dan deklarasi yang telah diadopsi di mekansisme internasional terutama di bawah payung PBB agar tidak akan terjadi lagi pembiaran penggundulan dan pembakaran hutan di mana pun di negeri ini.
Terakhir, semoga dengan pembenahan kurikulum di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan, merawat kelestarian lingkungan dan alam sekitar, dan pengembangan social entrepreneurship seperti yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh, dunia Kampus dengan integritas dan moral keilmuannya dapat semakin berkontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa kini dan ke depan.
Sumber gambar: http://onestepahead.ge
***
Hafid Abbas, Ketua Senat UNJ