| Penulis: Jonison
Ketika musim kemarau arus sungai di sekitar Bahtuk Ahik menjadi sangat tenang. Bak air di dalam kuali. Alur sungai semakin mengecil. Jarak antar seberang sungai hanya tinggal beberapa meter saja. Tampilan Bahtuk Ahik semakin jelas. Pesona kenyamanan semakin terasa. Apalagi di sekeliling ada pepohonan besar. Sangat pas untuk tempat melepas lelah.
Konon pada masa itu, keindahan dan tenangnya suasana sekitar Bahtuk Ahik dimanfaatkan oleh berbagai binatang untuk berenang dan berjemur. Di seberang Bahtuk Ahik ada sebuah lubang di sela-sela bebatuan. Lubang tersebut biasa penduduk setempat menyebutnya “luvang nyoling“.
Suatu hari ada seekor “lobahtak” (naga air) sedang berjemur dengan mengapung dan melintang sepanjang tubuhnya dari seberang bahtuk ahik sampai ke luvang nyoling.
Persis seperti sebuah batang besar yang hanyut menghalangi arus sungai. Tersebutlah pada masa itu ada seorang lelaki bernama Koling. Koling bersama sahabatnya Pauh dan beberapa “jihpon” (anak buah) pulang berlayar dari kota.
Ketika perjalanan menyusuri sungai melawi tiba di sekitar Bahtuk Ahik, perjalanan mereka terhenti. Mereka melihat ada batang besar melintangi arus sungai. Koling meminta agar perahu dihentikan untuk beristirahat. Beberapa jihpon disuruh memasak. Koling dan Pauh memeriksa batang yang menghalangi arus sungai. Batang didorong tak bergerak sedikit pun. Agar perahu bisa lewat, satu-satunya cara adalah dengan memotong batang tersebut.
Tanpa disadari saat batang dipotong serpihan ada yg masuk ke kuali sayur yang sedang dimasak. Tiba-tiba warna kuah sayur berubah merah seperti darah. Melihat kejadian tersebut Koling meminta agar para jihpon tidak usah mencicipi sayuran tersebut. Hanya Koling dan Pauh yang boleh mencicipi.
Keanehan pun terjadi. Seluruh tubuh Koling dan Pauh menjadi gatal-gatal. Benda yang disangka gelondongan batang kayu rupanya tubuh seekor “lobahtak” (naga air). Dalam hitungan detik sang lobahtak pun lenyap. Perahu pun bisa lewat.
Rombongan Koling kembali melanjutkan perjalanan pulang. Pauh menuju ke arah “Belahtuk”. Belahtuk adalah nama tempat tinggal Pauh. Koling dan jihpon menuju kampungnya di Uut Kolamas.
Setiba di kampungnya masing-masing, gatal-gatal Koling dan Pauh semakin menjadi-jadi. Di sekujur tubuh Koling bermunculan seperti sisik. Akhirnya Koling berubah menjadi seekor naga. Koling yang berubah menjadi seekor naga tidak dapat mengendalikan emosi dan amarahnya. Koling hendak membalas dendam.
Baca juga: Legenda Bahtuk Ahik (1)
Demikian juga halnya dengan Pauh. Namun Pauh dapat meredam emosi. Pauh berendam di sungai di kampungnya. Maka sampai sekarang di daerah sekitar Belahtuk ada tempat bernama Lavang Pauh.
Koling mengamuk sejadi-jadinya. Ingin membalas dendam kepada naga yang disangkanya batang. Koling berpesan kepada keluarganya agar membekali dirinya dengan sebuah keris pusakanya. Koling meluncur di atas daratan sampai ke sungai melawi. Bekas Koling meluncur sampai sekarang ada di hulu dusun Sake. Orang-orang menyebutnya Salau Koling.
Sesampai di Bahtuk Ahik, Koling semakin mengamuk. Bahtuk Ahik dianggap sebagai sumber masalahnya. Bahtuk Ahik yang berdiri kokoh menjadi sasaran kemarahannya. Bahtuk Ahik dihempas menggunakan tubuhnya. Tetapi Bahtuk Ahik tetap berdiri kokoh. Akibat hempasan itulah Bahtuk Ahik agak mengecil di bagian bawah.
Koling terus menyusuri sungai melawi. Setiap naga yang dijumpai menjadi korban keganasannya. Hanya Lobahtak Uhkong yang ditakutinya. Lobahtak Ukong sudah sangat tua. Ia tinggal di persimpangan sungai Melawi dan sungai Ambalau. Sedikit agak dihulu masuk sungai Ambalau.
Koling berusaha menghindar. Koling membuat alur kecil di persimpangan sungai melawi. Sampai sekarang orang menyebutnya “soak Koling” (alur pintas yang kecil). Perkelahian antara Koling dengan Lobahtak Ukong dapat terhindari. Koling terus menyusuri sungai Melawi. Keluarga terus membuntuti.
Di sebuah teluk muncul potongan ekor. Ternyata ekor Koling. Sampai sekarang tempat tersebut dinamakan “Toluk Ihpuh”. Ihpuh berasal dari kata ” ihkuh”. Dalam bahasa Dayak Uud Danum yang berarti ekor.
Melihat potongan ekor Koling yang terapung, keluarga Koling terus membuntuti. Mereka tidak menjumpai badannya. Keluarga yang mengikuti manangis dan meratapi sejadi-jadinya. Tempat mereka menangis karena tidak melihat Koling dinamakan “Teluk Mentangis”. Teluk tersebut terletak di hulu Bere masuk Kecamatan Serawai.
***
Narsum: Kakek Kabus