
Nusantara, detikborneo.com – Festival Budaya Nusantara yang digelar sejak 30 Mei hingga 1 Juni 2025 di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN) berlangsung semarak. Ratusan pelaku budaya dari berbagai penjuru Indonesia memamerkan kekayaan tradisi dan seni daerah masing-masing. Namun di balik gemerlap panggung budaya, terselip ironi: masyarakat adat Dayak yang dikenal kaya akan warisan budaya justru minim Maestro Budaya yang diakui dan tersertifikasi secara nasional.
Ironi ini mencuat dalam Talkshow bertema “Urgensi Ketahanan Budaya dalam Membangun Peradaban di IKN” pada hari kedua festival. Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Dr. Drs. Marthin Billa, MM, tampil sebagai narasumber utama membawakan materi “Melestarikan Budaya Kearifan Lokal Nusantara.”

“Kebudayaan lokal bukan sekadar ornamen festival, tetapi roh dari identitas bangsa. Jika budaya lokal tidak mendapat tempat yang layak dalam arsitektur kebijakan IKN, maka pembangunan ini bisa kehilangan jiwanya,” tegas Marthin di hadapan peserta talkshow.
Dayak: Kaya Warisan, Miskin Pengakuan Maestro
Meski dalam keseharian budaya Dayak hidup lewat ritual, seni tari, seni ukir, musik tradisional, dan nilai-nilai kearifan lokal lainnya, ternyata pengakuan formal dari negara sangat terbatas. Tokoh adat Dayak nyaris tak masuk dalam daftar penerima Anugerah Maestro Seni Tradisi, sebuah penghargaan dari pemerintah pusat untuk pelestari budaya hidup.

“Ada ketimpangan serius. Masyarakat adat Dayak punya kekayaan budaya luar biasa, tapi pengakuan formal lewat skema negara masih sangat minim. Ini perlu dikoreksi,” ujar Lawadi Nusah, peserta diskusi dari Kalimantan Barat.
Lestari: Ini 4 Alasan Minimnya Maestro Budaya
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV (Kalimantan Timur dan Utara), Lestari, S.Si., M.P, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut menguraikan sejumlah penyebab rendahnya jumlah Maestro Budaya dari komunitas Dayak, antara lain:
- Minim Informasi tentang Program Maestro
Banyak tokoh adat Dayak tidak tahu bahwa pemerintah pusat memiliki program Anugerah Maestro Seni Tradisi. - Keterbatasan Akses dan Pendampingan Administratif
Pengajuan nominasi membutuhkan dokumentasi, rekomendasi, dan narasi sejarah yang memadai. Sayangnya, sebagian besar tokoh adat belum mendapat pendampingan teknis yang memadai. - Kemungkinan Priode yang lalu Kurangnya Perhatian dari Pemerintah Daerah dan Pusat
Fokus pembangunan lebih banyak pada sektor ekonomi dan infrastruktur. Sementara budaya seringkali hanya jadi pelengkap seremoni, bukan pilar utama pembangunan. - Politik Representasi Budaya yang Elitis
Banyak festival budaya lebih menonjolkan sosok-sosok yang dekat dengan elit. Tokoh budaya akar rumput, terutama dari pedalaman, sering kali terpinggirkan.
Ajakan untuk Inventarisasi dan Afirmasi Maestro Dayak

Menutup sesi, Marthin Billa mengajak masyarakat adat Dayak, para cendekiawan, serta komunitas pelestari budaya untuk segera melakukan pendataan terhadap tokoh-tokoh budaya Dayak yang layak diusulkan sebagai Maestro.
“Sudah saatnya kita menginventarisasi sang Maestro dari komunitas Dayak untuk ikut serta dalam Program Anugerah Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Kebudayaan. Tanpa itu, warisan budaya kita hanya akan jadi tontonan sesaat, bukan kehormatan yang dijaga sepanjang hayat,” pungkas Marthin.
Penulis: Bajare007 | Editor: Redaksi detikborneo.com





