| Penulis: Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom.
Tanggal 05 Oktober 1994 ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Hari Guru Sedunia. Jadi, sudah 27 tahun Hari Guru Sedunia ini diperingati rupanya.
Menurut UNESCO, diperingatinya Hari Guru Sedunia sebagai bentuk dukungan kepada tenaga pendidik bahwasanya peran vital tenaga pendidik dalam mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, membentuk karakter, bahkan membangun kerohanian peserta didik tidak boleh diabaikan dan dilupakan.
Teringat Hari Guru Sedunia, jadi teringat akan film Laskar Pelangi. Sebuah film yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata ini sangat menyentuh dunia pendidikan dan keluarga. Film yang bercerita tentang kehidupan anak-anak dari keluarga yang terbatas secara ekonomi namun memiliki semangat belajar yang tinggi. Sekolah yang hampir ditutup karena regulasi pemerintah, namun ternyata bisa berlanjut oleh karena adanya sepuluh anak yang mendaftar dan tergabung mulai dari kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP. Selain kesepuluh anak yang menjadi tokoh sentral, ada dua tokoh yang menjadi sorotan tulisan ini, yakni Pak Harfan, Kepala Sekolah yang penyabar dan baik hati serta Ibu Muslimah yang menjadi tenaga pendidik pertama dan mendapat tempat di hati para peserta didik.
Sebagai guru, mereka sangat berjasa bagi peserta didik. Pak Harfan misalnya. Dengan kesederhanaan, ia mampu membangun kekayaan karakter bagi peserta didik. Tujuan hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Inilah filosofi yang diberikan dan diwariskan bagi kesepuluh anak didiknya.
Sebagai guru, mereka tidak hanya menerapkan nilai akademis sebagai satu-satunya tujuan mendidik, namun yang menjadi standar adalah ketulusan dan nilai-nilai kehidupan. Hal tersebutlah yang mendorong peserta didik berbuat ikhlas dalam membantu sesama. Oleh karena itu, keberhasilan peserta didik tidak hanya berasal dari kemampuan bawaannya atau faktor internal tetapi pola didik atau faktor eksternal pun berpengaruh sebagaimana teori konvergensi dari William Stern.
Seperti diketahui bahwa tugas guru adalah mengajar. Makna mengajar menurut George Picket dan John J. Hanton merupakan sebuah profesi dan juga keterampilan. Tidak semua orang bisa mendapatkan tantangan seperti itu karena berdasarkan pelatihan, temperamen, dan juga pengalamannya. Sementara menurut Highet, mengajar adalah bentuk “menjadi” ataupun “tidak dijadikan”, nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap pengajar di luar dari garapan ilmiah, emosi, dan itu sebabnya mengajar diartikan sebagai suatu seni bukanlah ilmu. Sedangkan Doni Koesoema beranggapan bahwa mengajar merupakan suatu panggilan dan tugas suci di dalam kehidupannya.
Mengacu pada pemahaman tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tugas seorang guru yaitu mendidik dan mengajar. Mendidik merupakan proses membersihkan hati dan jiwa sementara mengajar merupakan proses mengisi hati dan jiwa dengan ilmu. Inilah tugas pokok dari seorang guru. Meskipun bukan merupakan sebuah singkatan tetapi seringkali kata “guru” diasosiasikan sebagai yang digugu dan yang ditiru. Salahkah?
Melihat pada “pengasosiasian” itulah maka tidak dapat dipungkiri bahwa tugas terberat seorang guru selain mendidik dan mengajar adalah menjadi teladan. Menjadi teladan itu artinya menjadi role model bagi orang-orang di sekitar, terlebih bagi peserta didik. Pertanyaannya adalah, apakah guru sudah menjadi teladan? Namun bila pertanyaan tersebut dibalik, Apakah yang menjadi teladan hanya seorang guru?
Bila demikian, bukankah tugas seorang guru sangat berat? Lalu mengapa masih saja ada yang bercita-cita menjadi guru? Apakah karena GURU merupakan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA? Bukankah banyak orang bilang kesejahteraan guru kurang diperhatikan? Ataukah mulianya pekerjaan seorang guru yang akhirnya menjadi salah satu daya tarik banyak orang untuk menjadi guru?
Memaknai guru di hari guru bukanlah untuk mendiskreditkan seorang guru, namun untuk mengupas dan mengingat kembali motivasi sejatinya saat menjadi seorang guru. Tentu masih ingat dengan pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” yang memiliki makna apapun yang dilakukan guru, akan ditiru muridnya. Ini berarti bahwa peran guru tidak lepas dari keteladanan. Teladan menjadi kata kunci bagi tugas seorang guru, sekalipun keteladanan bersifat abstrak dan tidak tertuang dalam job description guru saat diterima sebagai guru, atau mungkin juga ada beberapa sekolah menuangkan hal itu dalam perjanjian kerja.
Alkitab mencatat bahwa semua (tanpa kecuali) diminta untuk tampil menjadi teladan. “dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu” (Titus 2:7). Bila semua “dituntut” menjadi teladan, bukankah akhirnya tuntutan seorang guru jauh lebih besar berdasarkan makna dari kata “guru” yang disebut sebagai role model itu?
Melalui hari guru, seyogyanya kita mengucapkan banyak terima kasih kepada para guru yang dengan kerelaannya mengemban tugas mulia ini. Untuk menjadi guru yang dicintai ketika bersama, dirindukan ketika tak lagi bersama, dikenang ketika telah tiada bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena takut akan TUHAN dan mencintai profesilah yang mampu dan dimampukan menjalani tanggungjawab ini.
Dengan segenap hati dan jiwa, kami sampaikan…
Terima kasih kami… Guru…
***
Sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/12/5a/82/125a829d3bb261eef061608c455ece4d.jpg
***
Bionarasi
Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom lahir di Jakarta pada 1 Juni 1977.
Bekerja di PT. Asuransi Central Asia. Penulis merupakan Pendiri dan Pelaksana Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.
Menikah dengan Sri Hati Ningsih dan dikarunia anak: Euaggelion, Euridyce, Eulogia.
Saat ini sedang menempuh Magister Pendidikan Agama Kristen di STT Bethel Petamburan, Jakarta