| Penulis: Jonison
Bagi Suku Dayak Uud Danum Kecamatan Ambalau Kabupaten Sintang Kalbar, berladang bukan sekedar bercocok tanam saja melainkan ada unsur ritual yang sakral didalamnya. Orang Dayak Uud Danum dalam adat-istiadatnya, mengenal sistem berladang yang biasa disebut ladang berpindah atau perladangan bergilir (Shifting Cultivation).
Ladang berpindah, mengisyaratkan kearifan lokal. Memberikan kesempatan kayu di bekas ladang tersebut tumbuh kembali. Beberapa tahun kemudian baru boleh dijadikan ladang kembali.
Pada saat proses perladangan dimulai, Suku Dayak Uud Danum melaksanakan beberapa tahapan acara ritual adat. Pada kesempatan ini penulis akan lebih fokus pada tahapan awal setelah memilih lokasi yaitu “molandak umok atau ngitot bahtuk ngasak”.
R.B. Doot seorang tokoh masyarakat Kecamatan Ambalau, menuturkan, “Dulu nenek moyang orang Dayak molandak umok dengan ritual adat secara utuh”. Tujuan ritual adat molandak umok adalah meminta ijin dan permisi kepada Nabi Tanah dan penghuni hutan lainnya. Agar penghuni hutan dapat berjaga-jaga dan ikut menjaga sehingga selama mengolah ladang sampai selesai tidak terjadi malapetaka dan hasil yang diperoleh memuaskan.
Molandak umok dilakukan setelah memilih lokasi. Memilih lokasi juga ada caranya, yaitu ujung parang ditancapkan ke dalam tanah. Saat ujung parang diangkat kembali dan tanah banyak lengket itu artinya tanah yang baik untuk berladang.
Jika lokasi sudah dipilih, maka tahapan berikutnya adalah “molandak umok atau ngitot bahtuk ngasak”. Molandak umok adalah proses ritual adat untuk memberikan kepastian atau materai awal bahwa seseorang sudah berkomitmen untuk membuat ladang di tempat yang sudah dipilih. Hari dan tanggal molandak umok tidak boleh sembarangan. Tetapi harus terlebih dahulu memperhatikan penanggalan atau almanak yang “cocok” yang biasa disebut “ngotihkak”.
Tetua Dayak Uud Danum memiliki catatan daftar kotihkak. Di setiap tanggal dan hari ada keterangan peristiwa/kejadian baik dan peristiwa/kejadian buruk. Jika hari ” kotihkak tamam” sudah diketahui, pada saat akan molandak umok petani mesti mempersiapkan beberapa persyaratan, seperti telur ayam kampung, anakan “somomolum lobahtak”, parang, batu asah, air. Yang tak kalah penting adalah kayu hidup jenis “solomohing”. Kayu solomohing berbatang agak keras dan berdaun lebar. Dapat diperoleh di sekitaran lokasi yang dijadikan ladang.
Saat tiba di lahan, yang pertama dilakukan adalah memilih tempat untuk meletakkan ” langah ngasak”. Kayu solomohing dijadikan langah ngasak. Dipotong kira-kira satu meter dengan jumlah ganjil, minimal 3, dan maksimal 9 potong. Potongan kayu solomohing diletakkan di atas tanah, sebagai alas batu asah dan alas duduk pengasah.
Mengapa harus kayu solomohing? menurut A. Jaini, karena sesuai dengan nama dan sifatnya. Solomohing dari kata “mohing” dalam bahasa dayak uud danum bermakna lantang dan nyaring serta melebihi dari suara-suara yang lainnya. Kelak hasil yang diperoleh akan memuaskan dan cerita keberhasilan tersebar sampai kemana-mana.
Kayu ini memiliki sifat keras, tidak mudah lapuk dan gampang tumbuh. Demikian harapan akan pemilik ladang menjadi pekerja keras, ulet, tidak mudah putus asa. Gampang tumbuh bermakna padi akan tumbuh dengan subur.
Somomolum yang bisa digunakan adalah jenis somomolum lobahtak yang tulang daunnya saling berpasang-pasangan dengan tepat. Somomolum ditanam di depan atau di samping langah ngasak. Somomolum lobahtak ditanam dengan harapan kelak padi yang ditanam akan seperti layaknya tanaman somomolum lobahtak yang dingin, mudah tumbuh dan banyak anakannya. Pada saat menanam somomolum posisi penanam harus menghadap matahari terbit. Dengan harapan para pekerja memiliki semangat yang tinggi dan usia yang panjang dalam mengerjakan ladang.
“Bahtuk ngasak” atau batu asah selain digunakan untuk mengasah parang ketika sudah mulai tumpul juga mengandung makna lain. Mengantar batu asah bermakna sebagai tanda atau bukti keseriusan untuk berladang di lokasi tersebut. Jika batu asah sudah diantar dan ritual adat sudah dilakukan, maka orang lain tidak boleh lagi mengambil lokasi tersebut. Jika orang lain mengambil maka pemilik berhak untuk “ngouh” menuntut ganti rugi secara adat.
Telur ayam kampung dipecahkan bagian ujung kemudian dioleskan ke batu asah dan langah ngasak, dan jika di sekeliling ada pepohonan besar dan bergetah maka juga dioleskan untuk mewakili pepohonan lainnya. Sisa cairan telur ayam dapat dicampur dengan air yang digunakan untuk membasuh parang ketika diasah. Seperti sebagaimana sifat telur ayam yang dingin sehingga tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Misalnya kecelakaan dan “pomadik pomanah”.
Pomadik pomanah adalah peristiwa sakit-sakitan yang menimpa pemilik ladang atau keluarganya. Ini disebabkan pemilik ladang lalai melakukan ritual seperti tersebut di atas. Penguasa hutan murka karena merasa tempat tinggalnya diganggu semena-mena oleh manusia, tanpa ijin atau memberitahu terlebih dahulu. Kemudian pemilik ladang membersihkan/menebas semak-semak di sekitar langah ngasak, kira-kira kurang lebih seperebahan batang pohon yang paling besar di lahan tersebut.
Di langah ngasak dibuat pula tempat menyimpan batu asah ketika ditinggalkan. Kayu sebesar kurang lebih lengan orang dewasa dan di belah-belah ujungnya. Lalu ditancap di atas tanah setinggi bahu orang dewasa, sehingga tidak dapat digapai untuk dijilati oleh binatang seperti, babi hutan, kancil, kijang dan anjing.
Batu asah jangan sampai dijilati oleh hewan tersebut karena hal ini diyakini akan membuat tanah menjadi kering dan tidak subur. Usai prosesi di langah ngasak, maka pemilik ladang akan membuat “solukik” di keempat titik sudut ladang sebagai batasan yang akan dijadikan ladang.
Solukik dibuat dari kayu yang ujungnya di tancap miring menunjuk kearah mana lahan yang akan dijadikan sebagai ladang. Yang harus diperhatikan oleh pemilik ladang pada saat molandak umok adalah beberapa kode alam seperti suara binatang hutan seperti atih, buas, iram, atang (elang), ular sawah (ponganon) dan dahan kayu yang tiba-tiba patah.
Jika hal tersebut terjadi maka batallah menjadikan lokasi tersebut untuk ladang, meskipun sudah dilakukan prosesi adatnya. Namun ada beberapa pengecualiannya seperti, atih yang terbang dari kiri ke kanan dan atih yang bersuara sambil terbang dari atas ke bawah pertanda tanah di lokasi tersebut berejeki.
Ular “ponganon” yang muncul ketika molandak umok bagi orang yang tidak terlalu fanatik akan kepercayaan pantangan, dipandang dari sisi positif melambangkan tali takin atau tempajang yang akan digunakan untuk mengangkut padi hasil ladang nantinya.
Usai ritual adat molandak umok, selanjutnya petani akan memulai serangkaian kegiatan berikutnya yaitu “monahtik” menebas semak dan tahapan lainnya. Juris seorang petani ladang dalam kesempatan bincang-bincang mengatakan, “Sekarang ritual adat molandak umok sudah jarang dilakukan. Orang-orang lebih memilih praktisnya saja”.
Tidak heran kalau setiap selesai musim panen, hasil padi yang diperoleh tidak sesuai harapan. Bahkan juga ada yang mengalami sakit-sakitan pomadik pomanah karena membabat hutan tanpa terlebih dahulu meminta ijin kepada penghuni hutan, sebagai tempat tinggal penguasa alam.
Diakhir penuturannya R.B. Doot dan A. Jaini berpesan, “Kita sebagai anak petani ladang, meskipun sudah beragama dan masuk jaman modern tetapi jangan lupa nilai-nilai luhur budaya nenek moyang dalam membuka lahan untuk betladang”.
Ket:
ngotihkak : memilih waktu; kotihkak tamam : waktu yang baik; langah ngasak : alas mengasah; somomolum : cocor bebek; lobahtak : naga air; ngouh : menuntut secara adat; solukik : tanda/penunjuk batasan; ponganon : ular sawah; atih, buas, iram : binatang hutan; pomadik pomanah: sakit-sakitan yang bukan disebabkan penyakit.
Narsum : RB. Doot, A.Jaini, dan Juris