26.2 C
Singkawang
More
    BerandaGnōthi SeautonSocratic Inquiry – Perbincangan soal Kebangsaan Para Murid Socrates

    Socratic Inquiry – Perbincangan soal Kebangsaan Para Murid Socrates

    | Penulis: R. Masri Sareb Putra

    Para murid Socrates rutin diskusi di grup WA. Secara virtual. Senantiasa bergairah. Seperti ada pangkal, tiada ujung.

    YANG disebut “murid”, anak, –isme, atau – ian tidak senantiasa secara fisik. Misalnya, “Anak Tuhan, anak bangsa, anak milenial.”

    Apakah bangsa beranak? Milenial punya perut, lalu ada bidan, kemudian melahirkan anak? Meneruskan logika ini, apabila dikatakan, “Kita ini anak-anak Tuhan,” berarti: kita menurunkan sifat-sifat, atau memancarkan Sang Maha Baik, Maha Pengasih, Maha Pemberi, Maha Pengampun, serta Maha Maha yang lainnya. Kita menurunkan sifat-sifat itu. Maka disebut “anak”.

    Bukan harfiah demikian! Yang disebut “anak” manakala yang diturunkan menurunkan sifat-sifat (baik) atau kehebatan yang menurunkan.

    Di dalam konteks “menurunkan” dan “diturunkan” itu, kami berempat: Yansen TP, saya Masri Sareb Putra, Pepih Nugraha, dan Dodi Mawardi (seurut usia), dapat disebut murid-murid Socartes. Yang senantiasa mencari. Mempertanyakan. Ingin tahu. Tidak puas. Heran. Dan tiada putus menggugat yang dianggap sebagai mapan. Hal yang kadang menembus batas fisik.

    Misalnya: Mengapa persatuan (unity) menjadi salah satu yang dipandang bernilai? Padahal, di luar sana, masih banyak nilai lain, seperti: keadilan, kerja sama, belarasa.

    Khusus sikon Indonesia, mengapa persatuan menjadi penting. Sedemikian rupa, sehingga menjadi satu dari lima butir dasar Negara, sila ketiga, “Persatuan Indonesia”?
    Jalan pikiran founding fathers itulah yang coba kami telisik. Ya, mengapa persatuan begitu penting?

    Tak pelak. Indonesia, ibarat manusia, organ. Tubuh manusia terdiri atas jutaan organ. Masing-masing bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Kepala memang penting, tapi juga penting jantung. Kuku juga penting, seperti rambut, pada fungsinya.

    Pendek kata, kuku juga bagian utuh dari tubuh. Seperti jantung. Jika kuku dicabut, meski dianggap kecil dan imbuhan, badan kita tidak lagi: utuh.
    Seperti itu kami mendiskusikan ke-Indonesiaan!
    ***
    HAMPIR tiap pekan diskusi via WAG itu berjalan.
    Dr. Yansen TP biasa yang memantik.

    Ia seorang akademisi. Birokrat yang meniti karier dari bawah sekali. Lulusan APDN. Pernah jadi camat. Lalu Bupati. Kemudian, wakil gubernur Kalimantan Utara.
    Yansen paling gemar membawa topik diskusi soal kebangsaan. Kadang politik. Paling sering tentang budaya membangun bangsa.

    Saya, yang di antara mereka kerap dijuluki “filsuf” akan mengeluarkan jurus-jurus pustaka yang saya baca. Saya suka mendengar lebih dulu. Pada waktunya akan mengafirmasi bahwa, “Apa yang para Sahabat sampaikan, menjadi isu yang dipikirkan ‘pemikir besar’ zamannya. Tuhan membuat banyak pintu keBENARan. Agar orang, di mana pun, dapat mengetuk dan masuk pintu yang banyak itu. Jika pemikiran dan keprihatinan kita mirip, atau sama dengan yang dipikirkan para filsuf Yunani kuna ribuan tahun lalu, bukan berarti kita nyontek mereka. Kita mengetuk, dan masuk pintu, keBENARan yang jamak itu!”

    Orang besar biasanya bicara hal yang besar pula. Sesuatu yang serba-meta. Melampaui diri-sendiri. Ia bicara soal keterikatan manusia pada kenikmatan dunia, pada apa yang disebut sebagai Attachment.

    Pepih Nugraha dengan latar pendidikan komunikasi dan seorang jurnalis hasil racikan Jakob Oetama, Kompas, akan bicara soal peran pers. Yang selain memberi informasi, juga mendidik, menghibur, dan menjadi penjaga nilai-nilai kemurnian dan kemuliaan serta martabat suatu bangsa. Pepih tidak hendak kompromi pada nilai-nilai kebangsaan yang terancam dan disobek-sobek. Ia sudah menjadi anak didik “Indonesia Mini” –begitulah insan Kompas-Gramedia. Kelompok usaha yang dibangun PK Ojong dan Jakob Oetama itu adalah Indonesia-mini, pars pro toto Indonesia. Sebab semua suku bangsa, agama, dan golongan ada di sana; namun tetap memancarkan keIndonesiaan, yang bhinneka.

    Dodi Mawardi yang lulusan SMA yang ditempa watak kebangsaan di Magelang memberi warna dan nuansa berbeda. Saling melengkapi. Pengalaman hidup bersama di asrama bersama kawan-kawan dari Sabang hingga Marauke, membuat Kang Dod, panggilannya, greget jika unity terancam, bahkan diacak-acak.

    Demikianlah. Pada saban pekan. Kami berempat selalu diskusi. “Lain waktu direkam,” Yansen mengingatkan. Kami sendiri kadang lupa merekamnya. Sebab apa yang keluar dari pikiran dan hati, melalui mulut, sebenarnya telah terekam dalam diri kami. Tersimpan di memori dan terwujud lewat tindakan.

    Sebuah perbincangan tentang makna kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang –saya berani sebutkan– mirip sebuah inquiry. Namun, sama sekali tidak terbetik niat untuk menandingi Socratic Inquiry yang temashyur itu. Hanya itu, tadi. Pintu kebenaran ada di mana-mana.

    Nah, perbincangan kami, inquiry itu. Dikenal juga sebagai metode Elenchus, metode elenctic, atau debat Sokrates, adalah bentuk dialog argumentatif kooperatif antara individu, berdasarkan pada pertanyaan bertanya dan menjawab untuk merangsang pemikiran kritis dan untuk menarik ide-ide dan anggapan yang mendasari anggapan.

    Konon katanya, berbincang-bincang dengan seorang bijak yang berpengetahuan, akan memotong kurva belajar. Bagai sebuah rekaman yang siap diputar, kami biasanya bisa diskusi berjam-jam. Pandangan mata kami menyorot segenap dimensi waktu: belakang, kini, dan ke muka. Menembus dinding kaca, memintas awan putih tipis di angkasa, dan melintas batas cakrawala langit kota megapolitan Jakarta. Kami bertiga di Jakarta, sedangkan Yansen di Kaltara.

    Kini, apalah arti sebuah tempat. “Bukan tempat yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah tempat,” kata Yansen. Benar adanya. Pemikiran besar, perbuatan besar, bisa datang dari mana saja.

    Demikianlah. Orang besar biasanya bicara hal yang besar pula. Sesuatu yang serba-meta. Melampaui diri-sendiri. Ia bicara soal keterikatan manusia pada kenikmatan dunia, pada apa yang disebut sebagai Attachment.

    Sederhananya, Attachment adalah “ikutan”. Yakni sesuatu yang menjadi bagian dari paket sebuah kemasan, suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.

    Manakala kita mengirim surat elektronik (e-mail) misalnya, Attachment berarti paket dari apa yang hendak kita kirimkan. Bahkan, kerap, isi suratnya sendiri tidak lebih dari sebuah pengantar sedangkan Attachment kerap merupakan intinya.

    Teori Attachment terutama dikenal dalam ilmu psikologi. Intinya, teori ini mengajarkan adanya ikatan emosional yang mendalam dan abadi yang menghubungkan seorang dengan orang lain melintasi ruang dan waktu (Ainsworth, 1973; Bowlby, 1969). Akan tetapi, Attachment dapat pula dimaknai sebagai: keterikatan, satu paket, atau tidak dapat melepaskan diri dari.

    Yansen merekat kami berempat melalui Attachment.

    Lewat media digital ini, kami juga ingin semakin banyak orang. Kita semua, anak bangsa. Dipanggil untuk sadar. Kita ini satu tubuh.

    Untuk itu, kesadaran akan pentingnya unity dan Attachment perlu kita bangun. Sebab, antara kognitif-afektif-psikomotorik terhubung satu sama lain.

    Platform yang sama. Dan citarasa yang sama. Bisa diawali dari: diskusi yang saling mengisi dan memperkaya.

    ***

    Bionarasi

    68803047 2810807578943163 4648022764601475072 n

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur lembaga penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia. Telah menulis lebih dari 100 buku. Saat ini berdomisili di Tangerang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita