25 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaTradisi Orang Dayak Menyadap Gula Enau

    Tradisi Orang Dayak Menyadap Gula Enau

    | Penulis: Amon Stefanus

    Gula enau (gula aren) merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan oleh orang-orang di kampung orang Dayak.

    Gula enau adalah tambahan untuk minum kopi. Gula enau digunakan sebagai  tambahan  kue topong, kue khas orang Dayak Simpang.

    Gula enau juga sebagai tambahan untuk membuat bubur sengkuang, bubur yang dibuat dari beras ketan dan santan kelapa yang biasanyanya disuguhkan waktu musim menugal (menabur benih di ladang) pada fase pengerjaan ladang. Gula enau juga dapat menjadi tambahan makan jagung bakar, ubi goreng atau kelapa muda.

    Di sela-sela pengerjaan ladang, ayahku juga biasa menyadap enau. Hal pertama yang dilakukan sebelum menyadap enau adalah membuat tangga untuk memanjat sampai pada mayang enau.

    Jika mayang yang akan disadap cukup tinggi, maka perlu dibuat jatak, yaitu tangga yang terbuat dari bilah-bilah bambu sepanjang 20 cm yang diruncing kemudian dipaku pada batang enau, lalu diikat pada sebatang bambu bulat sampai dekat mayang enau.

    Sebelum mayang mekar bunganya, mayang dipukul pelan-pelan dengan kayu lalu kemudian diayun pelan-pelan. Setelah mayangnya mekar, baru tangkai mayang dipotong di ujungnya untuk mengambil air enaunya. Air enau yang keluar dari batang mayang ditadah dengan buluh atau labu.

    Setiap pagi, air enau di ambil dan diganti dengan tadah yang baru. Tadah yang digunakan harus bersih dan kering supaya air enau tidak basi.

    Di dalam tadah juga diisi raro, yaitu kulit kayu (semacam kayu manis) untuk menjaga kualitas air enau. Air yang diambil bisa langsung diminum karena memang terasa manis.

    Memerlukan beberapa hari baru air dari mayang enau keluar secara maksimal. Dalam satu mayang paling banyak bisa tiga ruas buluh sebesar paha orang dewasa, sekitar 2 meter panjangnya. Kalau diukur dalam mungkin sekitar 10 liter banyaknya.

    Ketika kami berladang di Lontan Bale, ayahku menyadap 3 batang enau yang jaraknya berdekatan dengan ladang. Ketiga pohon enau tersebut disadap ketika menjelang musim panen. Waktu itu padi di ladang mulai menguning.

    Setiap pagi ketika hari mulai terang ayahku pergi mengambil  buluh-buluh penadah enau yang sudah berisi air enau. Rata-rata setiap batang enau menghasilkan air enau sebanyak 3 ruas buluh sebesar paha orang dewasa.

    Ketika mengambil air enau tersebut ayah membawa buluh penadah pengganti untuk menadah dari pagi hingga menjelang malam. Buluh pengganti tersebut harus betul-betul kering supaya air enau tidak basi.

    Di dalam buluh penadah juga sudah dimasukkan raro, sejenis kulit kayu manis yang bisa membuat air enau menjadi lebih enak bila diminum.

    Karena bawaan cukup berat maka ayahku bolak balik untuk mengambil ketiga buluh penampung air enau yang sudah disadap tersebut.

    Ketika akan mengganti dengan penadah yang baru, mayang enau harus diiris setebal 2 cm supaya dapat menghasilkan air yang diinginkan.

    Supaya tidak meleleh keluar, maka di bagian bawah mayang enau dibuat semacam lidah supaya air enau menetes ke dalam buluh penampung.

    Sesampai di rumah air enau tersebut dimasukkan ke dalam kuali besar dan ditanggar di tungku perapian. Ada dua kuali besar yang menampung air enau tersebut. Karena kami senang minum air enau, maka satu ceret khusus selalu disediakan untuk kami minum. Agar cepat masak, ayah biasanya menggunakan kayu leban sebagai kayu bakar pemasak gula enau.

    Air enau akan berubah menjadi gula ketika airnya menjadi kental dan berwarna kecoklat-coklatan.

    Setelah menjadi gula, kuali diangkat kemudian dibiarkan agak dingin baru dimasukkan ke dalam cetakan-cetakan. Untuk cetakan ayah menggunakan kulit kayu yang dibentuk lingkaran dengan garis tengah sepanjang telapak tangan orang dewasa dan setebal dua jari.

    Setelah membeku gula-gula dilepas dari cetakannya dan kemudian disusun menjadi 5 keping dan dibungkus dengan daun enau yang diikat rotan. Agar tahan biasanya gula enau disimpan di atas perapian dapur.

    Aku paling suka minum air enau dan makan gulanya. Pagi-pagi ketika ayah mengambil air enau di pokoknya aku biasanya selalu ikut.

    Aku biasanya adalah orang yang pertama minum air tersebut. Di pohon enau biasanya ayahku memotong sebatang buluh bagiku untuk minum air enau tersebut.

    Aku juga paling suka makan gula enau. Bila tidak ada sayur atau lauk, makan pakai gula enau pun jadi.

    Gula enau pun biasa kami campur untuk makan ubi (singkong) rebus ataupun campur untuk makan jagung bakar.

    Ketika musim panen jagung di ladang kami sering membakar jagung. Jagung bakar itu biasa kami makan dicampur dengan gulau enau.

    ***

    Bionarasi

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita