| Penulis: Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom
Kejadian ini sempat dialami rekan kerja. Ia membeli tinta printer yang tidak sama dengan yang biasa digunakan dan membuat printer tersebut ngambek.
Ketidakaslian tinta itulah penyebabnya. Printer jadi tidak dapat berfungsi normal sehingga terpaksa dibawa ke tempat ahlinya. Biaya pun sudah pasti keluar, entah untuk biaya service, biaya pembelian tinta baru dan mungkin saja akan timbul biaya-biaya tidak terduga lainnya. Semua bersumber dari ketidakaslian tinta yang digunakan.
Ketidakaslian mungkin hal sepele bagi sebagian orang, namun disadari atau tidak, ketidakaslian dapat menjadi bibit rusaknya sesuatu dan ketidakaslian itu sifatnya tidak tahan lama. Ketidakaslian sinonim dengan kepalsuan, atau bisa menggunakan istilah ‘munafik’. Mungkin terdengar kasar, tapi itulah ketidakaslian.
Sebagaimana seorang vegetarian mencari makanan yang mirip dengan aslinya, ketidakaslian diciptakan untuk memenuhi kebutuhan vegetarian tersebut. Dua kali saya merasakan menjadi vegetarian sesaat.
Yang pertama saat diajak jemaat mencicipi makanan vegetarian di daerah Duta Mas, Jakarta Barat. Pengalaman pertama dibuat kaget karena dihidangkan steak. Setahu saya, vegetarian hanya makan tumbuh-tumbuhan dan tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari makhluk hidup seperti daging, namun masih memungkinkan mengonsumsi produk olahan hewan seperti telur, keju atau susu.
Dilihat dari tampilannya sama persis dengan steak yang pernah dimakan. Takjub, kesan itulah yang pertama kali muncul. Ada satu ‘kesalutan’ terhadap Si Pembuat makanan tersebut. Namun ketika mencicipinya, ada sedikit rasa kecewa, karena ternyata steak tersebut berbahan dasar tahu.
Seharusnya tidak perlu kecewa bukan? Karena sebelumnya sudah tahu bahwa saya makan di Rumah Makan Vegetarian yang jelas-jelas tidak menghidangkan daging pada makanannya sehingga tidak perlu berekspektasi terhadap makanannya. Sekalipun awalnya tidak tahu bahwa bahan dasar makanan steak akan menggunakan tahu, namun seharusnya saya tidak mengharapkan daging yang dihidangkan, betul?
Baca juga: Asuransi Keselamatan Kekal
Pengalaman kedua saat mengikuti training di Pusat Pendidikan dan Pelatihan di daerah Ciloto, Jawa Barat. Ada satu rekan cabang seorang vegetarian. Dengan berbekal cuek dan sok akrab, ngobrollah saya dengan dia saat menjelang makan malam. Melihat sate vegetarian, tertarik saya untuk mencicipinya. Tampilannya begitu memesona.
Saya yakin siapapun akan jatuh cinta dibuatnya. Sate yang mirip sate ayam pun masuk ke dalam mulut. Anda tahu apa yang saya rasakan? Saya segera pergi ke toilet dan setelah itu meminta maaf pada rekan saya. Rasa sate tersebut sungguh berbeda dengan aslinya. Akhirnya saya tahu bahwa sate tersebut terbuat dari jamur kuping dan mungkin karena itulah saya tidak dapat menelannya.
Ketidakaslian pada makanan yang dimakan tentunya diciptakan sesuai kebutuhan. Ketidakaslian itu sengaja dibuat untuk melengkapi kehidupan para vegetarian. Mereka berusaha menjalankan ‘niat’nya sebagai vegetarian namun masih bisa mencicipi ‘steak’ dan ‘sate’ sebagaimana aslinya. Tampilan yang terlihat tidak dapat dipungkiri sama dengan aslinya.
Itu baru dilihat dari sisi kuliner, belum lagi dari produk barang. Negara China dikenal sebagai negara yang pandai membuat barang palsu alias KW. Barang-barang ini dibuat dan disebarkan ke seluruh dunia dengan label ‘made in china’. Mulai dari ponsel, alat rumah tangga, dan barang lainnya.
Terlepas dari boleh tidaknya dari sisi hukum. Harga murah dengan kualitas tidak jauh berbeda menjadi pilihan konsumen untuk membelinya sekalipun mereka tahu bahwa risiko cepat rusak menghantuinya. Terkait dengan harga itulah produk-produk branded banyak dibuat palsu alias KW. Bahkan ada KW super yang bikin ngilu dompet, apalagi aslinya yah!
Kepalsuan identik dengan kemunafikan sebagaimana disampaikan di awal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, munafik memiliki arti berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak suka; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua.
Membaca arti dari munafik itu sendiri, tentu kita membenci kemunafikan bukan? Namun tidakkah kita menemukan kesamaan? Bukankah kita pernah atau mungkin seringkali melakukan hal yang serupa?
Menggunakan topeng untuk menutup keburukan kita dari pandangan masyarakat. Menghilangkan jatidiri agar disukai banyak orang. Menjatuhkan penilaian negatif mengenai cara hidup orang lain padahal diri kita memiliki kekurangan yang sama, bahkan lebih banyak. Tanpa disadari akhirnya kita suka menutup dosa dengan dosa bukan?
Inilah yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sehingga YESUS mengecam mereka dalam Matius 23:3-33.
Betapa dapat dirasakan kemurkaan YESUS pada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena pelayanan hanya mereka jadikan topeng belaka.Mereka sangat expert dalam ritual-ritual keagamaan namun sayang tidak berbanding lurus dengan perbuatannya.
YESUS tahu dan sadar betul bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bisa saja marah, namun berita kebenaran harus Ia sampaikan. Bukankah seharusnya kita pun demikian?
YESUS tidak ingin kepalsuan terus melekat pada diri ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, demikian pula Ia tidak ingin kita terus menerus menggunakan topeng kemunafikan. Kita mungkin dapat mengelabui orang lain, namun tidak pada TUHAN.
(Trust & Obey)
***
Sumber ilustrasi: https://i.pinimg.com/originals/c4/51/0f/c4510f9708643cb661111def97386b99.jpg
***
Bionarasi
Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom
Bekerja di PT. Asuransi Central Asia. Penulis merupakan Pendiri dan Pelaksana Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.
Menikah dengan Sri Hati Ningsih dan dikarunia anak: Euaggelion, Euridyce, Eulogia.