24 C
Singkawang
More
    BerandaGnōthi SeautonRefleksi Mental dan Karakter

    Refleksi Mental dan Karakter

    | Penulis: Nikodemus, S.Pd., Gr

    Ketika memikirkan tentang mental, saya jadi teringat dengan sebuah buku karangan Prof. Koentjaraningrat berjudul Rintangan-rintangan mental dalam pembagunan ekonomi Indonesia. Buku ini saya peroleh dari guru saya saat mempelajari Geografi manusia.

    Saya yakin diantara para pembaca juga memiliki buku yang saya maksud. Buku tersebut masih berupa rencana penelitian yang terbit tahun 1971, tentunya sudah lama sekali tapi menurut saya masih relevan dengan kondisi sekarang.

    Di perpustakaan mini saya, Buku tersebut saya anggap buku pusaka karena sulit untuk mendapatkannya kembali, oleh karenanya tidak untuk dipinjamkan. Disana dituliskan secara lengkap tentang ciri-ciri mental manusia Indonesia asli dan ciri mental yang cocok untuk pembangunan. Mental memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan batin manusia. Dari bahasa latin “mentis” berarti jiwa, nyawa, sukma, roh dan semangat.

    Dalam KBBI disebutkan bahwa mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia. Mengapa mental begitu penting dalam pembangunan? Jawabannya jelas bahwa dalam membangun berbagai hal, mental merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan.

    Permasalahan mental ini menarik untuk dibahas apalagi ini berkaitan dengan gambaran diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Apakah mental kita sebagai manusia Indonesia sudah baik atau malah sebaliknya.

    Menurut Prof. Koentjaraningrat, ciri mental manusia Indonesia terbagi menjadi 3 yakni pertama ciri mental asli. Ciri mental asli ini tergambar pada masyarakat petani di Indonesia. Masyarakat petani memiliki mental tidak suka bekerja, bersifat statis, tidak mempunyai inisiatif dan hanya suka membebek saja kepada orang-orang tinggi pangkatnya dari kota. Apakah mental seperti itu masih tampak hingga saat ini?

    Kedua ciri mental pada masa kolonial adalah priyayi. Mental yang tampak pada manusia priyayi adalah menganggap bahwa kerja pada hakeketnya suatu hal untuk mencapai kedudukan dan lambangnya. Kegiatan usaha akan berhenti apabila tujuan sudah tercapai. Mendapatkan kedudukan yang bersifat tidak produktif (gelar, perhiasan, rumah besar). Demikian usaha lanjutannya tidak disalurkan pada hal-hal yang bersifat kreatif.

    Kita perhatikan saat ini misalnya dalam hal mengatur negara misalnya membangun gedung-gedung, museum, stadion megah dan lain sebagainya lebih diutamakan, padahal pada sisi lain masih banyak jalan-jalan rusak, rakyat miskin, anak-anak putus sekolah dibiarkan.

    Kemudian ciri lain dari manusia mental priyayi yakni menganggap bahwa kesalahan itu adalah hal yang remeh. Manusia bermental priyayi tidak merasa malu dengan kesalahannya. Kemungkinan ia hanya kehilangan muka untuk sementara waktu. Ketika orang mulai lupa dengan kesalahannya maka ia akan memasang mukanya lagi. Kadang-kadang orang belum lupa dengan kesalahannya ia sudah memasang mukanya lagi.

    Mentalitet manusia seperti ini tentu menyebabkan bangsa kesulitan untuk maju pesat. Karena mereka tidak mau belajar dari kesalahan. Mental priyayi lainya yakni menganggap bahwa orang-orang pemimpin, orang-orang tinggi jabatan, dan kepada tokoh atasan atau orang orang-orang tua harus dihormati secara luas. Apakah mental seperti ini masih tampak hingga saat ini?

    Berikutnya yang ketiga mental manusia Indonesia sejak zaman perang dunia ke II. Gambaran mental manusia yang tampak pada masa ini yakni meremehkan arti kualitas (kualitet), berhasrat mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa rela untuk berusaha, sering menunjukan sikap tidak bertanggung jawab, menunjukan sikap tidak percaya kepada diri sendiri, dan terakhir bersikap apatis dan lesu. Gambaran mental manusia seperti ini identik dengan mental korup dan krisis kepemimpinan. Apakah mental manusia seperti ini masih tampak hingga saat ini?

    Itulah gambaran tentang mental manusia Indonesia masa lalu yang ditulis prof. Koentjaraningrat. Apakah mental masa lalu itu masih tampak hingga saat ini, silahkan kita cermati bersama. Selanjutnya adalah tentang karakter.

    Apa itu karakter? Karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti luhur yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa karakter adalah hasil dari kebiasaan yang ditumbuh kembangkan.

    Karakter itu terbentuk karena kebiasaan yang berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter manusia. Cinta kasih, kejujuran, toleransi, bijaksana, rendah hati, sopan santun, disiplin itu adalah contoh dari karakter.

    Berkenaan dengan karakter manusia Indonesia, Soedarsono (2010:66) menyebutkan bahwa gambaran atau tampilan manusia Indonesia saat ini sudah kehilangan karakternya. Manusia Indonesia tidak memiliki karakter sehingga menjadikan tampilan manusia Indonesia itu buruk.

    Menurutnya nilai-nilai kasih sayang sudah memudar, sopan santun memudar dan semangat tolong-menolong dan gotong royong sudah tidak ada lagi. Penyalahgunaan narkoba, perkelahian pelajar, sekolah praktis yang mencetak gelar-gelar akademis. Maraknya kriminalitas, radikalisme agama, dan konflik sosial (antar warga masyarakat). Penegakan hukum tebang pilih, praktik KKN semakin marak, empati seolah-olah menjadi barang langka.

    Apa penyebab semua itu, menurutnya penyebab utamanya adalah terabaikannya pembangunan karakter!! bertahun-tahun pembangunan karakter manusia Indonesia tidak diperhatikan.

    Lalu bagaimana membangun mental dan karakter manusia Indonesia? Tentunya kita tidak perlu banyak teori. Mulai saja dari diri sendiri untuk berusaha menjadi manusia baik!!!! Semoga.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita