Jakarta, detikborneo.com – Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) bersama Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sukses menggelar Rembuk Budaya pada 18 Desember 2024 di Ballroom Magzi Hotel Grand Kemang, Jakarta. Acara ini dibuka langsung oleh Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha, yang disambut dengan prosesi adat Dayak Kenyah, termasuk pemakaian pakaian adat dan doa khusus oleh Imam Adat Dayak Kenyah.
“Saya sangat mengapresiasi acara ini. Budaya Dayak sungguh luar biasa dengan nilai estetika yang tinggi. Kementerian siap bekerja sama dengan masyarakat adat, termasuk di Otorita IKN, agar budaya kita tetap lestari dan menjadi ikon budaya Nusantara,” ucap Giring.
Ia juga menyampaikan salam dari Menteri Kebudayaan yang berhalangan hadir karena kunjungan kerja ke Bangka. “Kami sepakat bahwa aset budaya Nusantara harus tetap lestari. Ke depan, kami akan memastikan fasilitas kelas internasional, termasuk museum-museum, dapat mendukung pelestarian budaya kita,” tambahnya sebelum meninggalkan acara untuk agenda lain.
Pentingnya Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Dalam kesempatan tersebut, Alue Dohong, Ph.D, hadir sebagai salah satu narasumber utama. Ia menyoroti ketimpangan yang dialami masyarakat adat Dayak terkait pengakuan hak atas tanah mereka.
“Kita iri melihat transmigran yang datang ke tanah Dayak diberi sertifikat dan biaya hidup ditanggung. Sementara masyarakat adat Dayak, yang sudah ratusan tahun hidup di tanahnya sendiri, justru kesulitan mendapatkan sertifikat,” tegas Alue.
Ia juga mengkritisi janji pemerintah terkait alokasi lahan di kawasan IKN. “Saat seminar di Bappenas, masyarakat adat Dayak dijanjikan 5 hektare per keluarga. Namun kenyataannya, hanya korporasi yang mendapat konsesi hingga 190 tahun. Seharusnya masyarakat adat yang diprioritaskan, bukan hanya diberikan janji,” ungkapnya.
Sebagai mantan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue menjelaskan bahwa ia telah memperjuangkan sertifikasi hutan adat.
“Namun, birokrasi yang berlapis-lapis justru mempersulit, bukan mempermudah. Karena itu, RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) harus segera disahkan agar ada jaminan keberadaan hutan adat,” ujarnya.
Alue juga menyerukan kolaborasi bersama antara DPD, DPR, dan masyarakat adat untuk memperjuangkan RUU MHA.
“Kita harus terus mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pengelolaan hutan yang adil sesuai hasil pertemuan di PBB. Saya hadir di sana mewakili pemerintah dan membawa aspirasi masyarakat adat,” pungkasnya.
Acara Rembuk Budaya ini menjadi momentum penting dalam mendorong kesadaran kolektif untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia. (LWN)