26 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen|Misteri Kamar Mamak

    Cerpen|Misteri Kamar Mamak

    | Penulis: Desi Safitri, S.Pd.

    “Sahur… Sahur… Bangunan… Bangunan… waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB”

    Suara seseorang menggunakan toa dari masjid dan itu hanya ada di saat bulan ramadan saja. Tak terasa sudah memasuki H-6 puasa tahun ini. Saat seperti ini adalah saatnya masak untuk menu sahur. Bagi sebagian orang menu sahur harus komplit karena untuk daya tahan tubuh selama puasa, namun yang utama adalah niatnya berpuasa karena perintah dari Allah SWT.

    “Kak… Kakaaak! Bangun kak, bantuin masak. Sebelum Mamak bangun dan kita diomelin, “kataku memanggil Kak Inong.

    “Iyaaa… Tunggu sebentar, 2 menit lagi, Anong. Duluan aja ke dapur. Yang mau dimasak sudah kusiapkan di kulkas!” serunya dalam kamar.

    “Nggak mau sendirian kak, ayo bangun kak! Serius kak, bentar lagi Mamak bangun, mati lah kita, kak!” kataku lagi masih berdiri di depan pintu kamarnya.

    “Iya, iyaaa. Ya Allah, Inong. Udah jadi guru juga masih aja takut ke dapur, ” katanya seraya membuka pintu kamarnya.

    “Kakak kan tahu sendiri, lewat kamar Mamak kan emang serem kak! Dari dulu juga kak, aku nggak mau tidur di situ!”

    “Anong, ini rumah kita. Sudah berapa kali kujelaskan. Kalau mau ke mana-mana berdoa dulu. Keluar kamar juga harus berdoa. Apalagi mau masuk kamar mandi. Kamu sih keseringan nonton film honor aja di kamarmu.”

    “Aduh kak, nanti aja ceramahnya, keburu Mamak bangun benaran deh!” kataku mengalihkan pembicaraan.

    “Kamu ini, selalu begitu jika diberitahu. Ya udah, ayo kita masak!”

    Kami pun menuju ke dapur dan berkutat dengan tugas masing-masing. Aku bagian memasak dan kak Inong bagian menyiapkan minuman. Karena kalau kak Inong yang masak maka akan lama sekali bahkan bisa keburu imsak. Makanya kami berbagi tugas, bagiku memasak adalah kesenangan yang luar biasa hakiki, apalagi masakan yang kita masak selalu disantap sampai ludes.

    Selesai memasak dan semua sudah beres, kak Inong memanggil Mamak dan Abah untuk bangun sahur. Sedangkan suami kak Inong sedang dinas malam. Suaminya juga seorang perawat di rs yang sama serta mereka juga satu kampus dulunya. Kami pun bersantap sahur dengan hati yang gembira apalagi menu sahur kali ini masakan kesukaan Mamak dan Abah, yaitu opor ayam dan tumis kangkung. Aku ahli memasak opor ayam dan juga tumis kangkung tak ketinggalan sambal terasi.

    Dari zaman kuliah sampai sudah kerja sekarang, aku tetap merasakan ada sesuatu yang aneh di kamar Mamak dan Abah. Dulu Mamak dan Abah sering pulang ke kampung untuk mengunjungi nenek dan kakek di kampung. Di rumah hanya ada aku, kak Inong dan suaminya.

    Kak Inong sudah menikah sejak lulus kuliah keperawatan di Kota Jakarta. Sedangkan aku mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di kota kami. Karena dulu tidak ada teman Mamak di rumah, sebab Abah sering keluar kota. Abah kerja di kantor PU dan sekarang sudah pensiun. Jadi aku dilarang mereka kuliah di luar kota, cukup kak Inong saja kata mereka. Yah, aku hanya manut saja toh memang aku tidak mau kuliah jauh-jauh juga, banyak kampus yang bermutu juga di sini tak kalah saing dari kota-kota lain.

    Pernah suatu hari Mamak dan Abah pergi ke kampung sampai 1 bulan di sana. Nenek sakit dan harus nginap di rumah sakit sampai 1 minggu. Nenek tidak mau dibawa ke kota, katanya lebih nyaman di kampung. Toh, rumah sakit juga ada di kecamatan dan jaraknya dekat dari rumah.

    “Assalamualaikum, Anong, Mamak dan Abah di kampung 1 bulan ya, nenek sakit dan harus dirawat beberapa hari.” suara Mamak disambungan telepon.

    “Walaikumsalam, hah, satu bulan, Mak! Aduh, lama sekali Mamak dan Abah di sana.” kataku kaget.

    “Ada apa, Anong? Kamar Mamak lagi.” Mamak seperti tahu apa yang kurasakan.

    “Iya, Mak. Kan Mamak tahu dari dulu Anong, paling takut lewat kamar Mamak dan Abah. Kenapa sih, Mak nggak dibongkar aja? Anong udah sering melihat sesuatu di situ, Mak!”

    “Anong, udah berapa kali Mamak bilang, nggak ada apa-apa di kamar Mamak dan Abah. Kamu aja yang parnoan!”

    “Ya Allah, Mak. Anong serius ini!”

    “Udah ah, Mamak mau ambil obat dulu buat nenek. Jaga diri di sana, kasih tahu kak Inong, Mamak dan Abah di kampung 1 bulan ya! Assalamualaikum.”

    “Walaukumsalam. Iya deh, Mak. Nanti Anong sampaiin, kalau ingat!” kataku sambil kesal.

    Sudah berkali-kali kukatakan, aku sering melihat seseorang di kamar Mamak dan Abah. Seperti seorang perempuan berambut panjang, duduk di ranjang Mamak dan Abah. Makanya, jika kak Inong dinas malam, aku lebih baik nginap di rumah kak Ayin, tetangga sebelah rumahku. Kebetulan tetangga kami sudah seperti keluarga sendiri. Kak Ayin juga sama sepertiku merasakan ada sesuatu di kamar Mamak dan Abah. Makanya jika orang tidak aku akan lari terbirit-birit ke rumah kak Ayin, yang kadang juga membuat kak Ayin tertawa.

    Tanteku yang di Jakarta juga bilang, ada sesuatu di kamar Mamak dan Abah, itulah yang ketakutanku semakin menjadi-jadi. Tante juga merasakan hawa alam lain. Namun, anehnya Mamak dan Abah hanya tertawa mendengar cerita tanteku. Mereka masih belum percaya. Paling mengatakan hanya halusinasiku saja.

    Pernah suatu malam, aku tidak kuat lagi menahan untuk buang air kecil padahal waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Mau kutahan sampai pagi, aku pasti marahin kak Inong. Katanya tidak baik menahan untuk buang air kecil bisa jadi penyakit. Sumpah, aku takut sekali. Mana sudah di ujung tanduk, kuberanikan diri pergi ke kamar mandi. Aku berusaha menutup mata melewati kamar Mamak dan Abah, langsung lari menuju kamar mandi.

    Saat di dalam kamar mandi, keringat panas dinginku bercucuran. 3 menit di dalam kamar, aku keluar pelan-pelan dan tak sengaja menengok kamar Mamak dan Abah. Sosok perempuan itu ada di sana, aku pun berteriak histeris.

    “Kaaakk, Kaaaakk Inoooong…!  Tolooongg kak…!” teriakku di dekat kamar Mamak dan Abah.

    “Ada apa dek, udah malam lok, kak Inong dan suaminya, lari keluar dari kamar.”

    “Kaakk…Kaaakk… i.. Itu, itu kak! Ada sosok itu lagi.” kataku sambil menutup mata.

    “Kenapa sih, dek teriak-teriak! Nggak ada apa-apa di kamar Mamak dan Abah.” katanya seraya membuka pintu kamar Mamak dan Abah.

    “Pasti nonton film horor lagi dia ni, yang.” seru bang Bagas suaminya kak Inong.

    “Aku nggak ada nonton film horor lagi kak, aku tidur kok, cuma kebelet tadi.”

    “Udah ah, sana masuk kamarmu. Bikin kaget orang aja.” kata kak Inong menyuruhku kembali ke kamar.

    “Ih, kalian tuh nggak pernah mau percaya sama, Anong,” kataku kesal dan berlalu menuju kamarku.

    “Itu anak tidak pernah berubah dari sejak kuliah dulu, selalu saja mengatakan ada sosok perempuan di kamar Mamak dan Abah. Padahal aku nggak pernah lihat, bang,” kata kak Inong pada suaminya.

    “Sudahlah dek, kamu tahu Anong tu suka berhalusinasi. Kan dia sering nonton film horor sama Ayin tuh,” kata bang Bagas pada kak Inong.

    “Ya udah, kita tidur lagi, bang. Anong ni dasar juga bikin kaget aja.”

    “Ayo, besok sayang dinas pagi kan?”

    “Iya bang.”

    Mereka pun berlalu menuju kamarnya. Sedangkan aku kembali tidak bisa tidur. Aku masih mengingat sosok perempuan tadi. Sosok yang selama ini selalu muncul saat Mamah dan Abah tidak ada di rumah.

    Aku kesal, mereka selalu bilang aku yang berhalusinasi. Padahal itu bukan halusinasiku, hanya saja sosok itu muncul saat tengah malam dan selalu saat kamar Mamah dan Abah kosong.

    Kurebahkan kepala pada bantal. Bayangan itu masih terpampang nyata di mataku. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Dengan mengucapkan bismillah aku berdoa kemudian tertidur. Berharap besok tidak melihat sosok itu lagi, agar aku tidak dianggap berhalusinasi terus.

    ***

    Tepat pukul 04.53 WIB adzan subuh dikumandangkan, sebelum berwudhu aku chat kak Inong dulu. Menyuruh mereka menemaniku berwudhu. Kak Inong hanya geleng-geleng kepala. Selesai berwudhu aku lari dari kamar mandi menuju kamarku. Diiringi dengan tawa kak Inong dan bang Bagas. Mereka kadang suka melihat tingkahku yang katanya masih seperti anak SMA padahal udah ngajar dan jadi guru. Aku nggak perduli, terserah yang pasti sosok itu memang ada.

    Selesai salat subuh kulanjutkan dengan mempersiapkan keperluanku untuk mengajar hari ini. Kebetulan hari ini jadwal ulangan semester ganjil. Sekali lagi kucek ulang soal-soal bahasa Indonesia yang sudah kubuat sejak 5 hari yang lalu. Aku guru bahasa Indonesia, di salah satu sekolah swasta di kotaku. Kak Inong dan suaminya bekerja di RS Umum. Sedangkan kak Ayin tetanggaku bekerja di RS Swasta, sebenarnya mereka dulu satu kampus namun kak Ayin adik tingkat mereka.

    “Anong, dipanggil kak Inong tuh!” terdengar suara bang Bagas dari luar kamarku.

    “Iya bang, sebentar. Nanti Anong nyusul ke dapur.”

    “Oke.”

    5 menit kemudian aku keluar dari kamar, menuju dapur untuk membantu kak Inong menyiapkan sarapan pagi. Sebelum sarapan kami berganti mandi dulu. Selanjutnya, bersiap-siap menggunakan baju kerja masing-masing. Sarapan pagi adalah kebiasaan di keluarga kami. Sejak kecil kami diajarkan harus selalu sarapan sebelum memulai aktivitas apapun. Selesai sarapan aku berangkat ke sekolah, sedangkan Kak Inong berangkat dinas diantar sama bang Bagas.

    ***

    Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Ulangan untuk kelas X hari ini selesai. Besok lanjut lagi ulangan untuk kelas XI. Saat sedang menikmati es krim di kantor tiba-tiba ada WA dari kak Inong.

    “Dek, kakak lanjut dinas sore sampai besok pagi. Jadi, kakak nggak pulang, ya!”

    “Hah, apaan sih kakak nih. Kok dinasnya nyambung-nyambung gitu kak?”

    “Ini tadi ada kawan kakak, minta gantikan dinas orang tuanya sakit di kampung. Kasihan dek, yang lain pada full. Tinggal kakak aja yang kosong.”

    “Terus Anong gimana kak, kan nggak ada Mamak sama Abah di rumah. Kakak kok jahat sih!”

    “Ya Allah, dek. Kapan sih kamu nggak berhalusinasi.”

    “Anong nggak berhalusinasi kak, ini benaran kak. Tadi malam itu benaran ada dia kak.”

    “Udah ah, kakak udah WA Ayin katanya sebentar lagi dia pulang, kebetulan dia besok libur dinasnya. Kamu tidur di rumah Ayin aja. Dasar penakut!”

    “Kakak ih, jahat! Terus bang Bagas mana kak? Dinas juga sampai besok?”

    “Bagas tadi disuruh Abah ke kampung, kebetulan dia libur 2 hari. Jadi disuruh Abah ke kampung, nemanin Abah ngurus sapi kita di sana. Karena kang Asep lagi minta izin pulang.”

    “Oh, begitu. Yaudahlah, nanti Anong chat kak Ayin aja. Kakak Inong sama bang Bagas sama, sama-sama tega.”

    Aku hampir saja nangis di kantor tetapi kutahan biar nanti nangisnya di rumah kak Ayin aja. Bel pulang pun berbunyi. Ku cari nama kak Ayin di handphoneku lalu ku tekan tombol warna hijau.

    “Assalamualaikum, kak. Kak Ayin udah di rumah?”

    “Walaikumsalam, udah dek barusan ini. Kamu udah mau pulang?”

    “Iya kak, Anong nginap di rumah kakak ya, kak Inong sama bang Bagas tu jahat ninggalin sendirian di rumah.”

    “Huss… Nggak boleh gitu, Inong udah cerita sama kakak tadi. Yaudah, pulangnya, hati-hati ya! Ini kakak mau masak dulu buat kita makan siang.”

    “Alhamdulillah, pasti enak nih. Iya kak, ini lagi siap-siap. Assalamualaikum kak!”

    “Walaikumsalam.”

    ***

    Malam hari saat selesai salat isya di rumah kak Ayin. Tiba-tiba terdengar suara orang minta tolong dari rumah kami. Aku dan kak Ayin saling pandang. Kami pun bergegas menuju sumber suara, tetapi mengintip lewat jendela dapur kak Ayin, yang kebetulan tepat di arah kamar Mamak dan Abah.

    “Tolooonggg…!!! Toloooongg !!!”

    Suara itu terdengar jelas dan seperti ada seseorang yang diseret.

    “Kakak dengar kan suara orang minta tolong itu!”

    “Iya dengar dek, kok makin jelas ya!”

    “Iya kak, Anong jadi merinding kak.”

    “Sama kakak juga nih.”

    “Apa kita ke rumahmu aja, ya!”

    “Nggak mau, kak! Anong takut, kak.”

    “Yaudah, kita lihat dari sini saja.”

    “Iya kak.”

    Saat kak Ayin membuka tirai jendela, membuatku mau muntah. Ada sosok itu lagi berdiri di jendela kamar Mamah dan Abah. Aku dan Kak Ayin berpelukan ketakutan seraya membaca ayat kursi. Terlihat jelas ada orang di belakang sosok perempuan tersebut memegang cambuk dan memukul-mukul ke tubuh sosok itu.

    Terdengar lagi suara minta tolong, yang menyayat hati.

    “Tolooongg..!!! Tolooonnng..!!!

    Aku dan Kak Ayin makin ketakutan ketika tiba-tiba ada suara orang mengetuk pintu dapur kak Ayin. Kami lari terbirit-birit ke kamar, di dalam kamar kami terus berdoa. Aku berinisiatif menelepon kak Inong, namun sayangnya tidak aktif. Lalu aku mencoba menelepon Mamak di kampung, 10x ku telepon nihil tak ada jawaban dari Mamak. Kami makin ketakutan, sampai aku menangis tersedu-sedu seperti berada di dalam hutan yang sepi, tepat pada pukul 19.30 WIB suara minta tolong itu lenyap dan hilang.

    “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, mohon mengirim pesan suara setelah nada bit.”

    “Kak, nomor kak Inong nggak aktif,” kataku pada kak Ayin.

    “Coba telepon Mamak di kampung!” kata kak Ayin memberi saran.

    “Tut…Tuut… Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan, mohon kirim pesan setelah nada berikut!”

    “Mamak nggak angkat telepon juga kak, Anong takut kak, hik hik,” aku makin ketakutan saat suara minta tolong itu muncul lagi.

    “Tolooonggg…!!! Tolooongg…!!!”

    Kemudian muncul suara kaki orang seperti sedang menuju kamar kak Ayin. Tetangga kiri dan kanan anehnya tak ada yang terdengar, mereka seperti tidak tahu dengan yang terjadi barusan. Aku dan kak Ayin mencoba untuk tidur. Aku terbangun pada pukul 22.30 WIB kebelet ingin buang air kecil. Kubangunkan kak Ayin untuk mengantarku ke kamar mandi. Kak Ayin menggelengkan kepala, kubilang aku sudah tidak tahan lagi kak.

    “Kak, bangun. Antarin ke kamar mandi, mau buang air kecil, kak!” seruku padanya.

    “Aduh, Anong. Ditahan aja deh, kakak takut nih.”

    “Nggak kuat lagi kak, udah diujung tanduk. Kak, ayo antarin!”

    “Yaudah, kita baca doa dulu ya!”

    Kami pun berdoa, kemudian pelan-pelan keluar kamar mandi. Saat di dalam kamar mandi kudengar kak Ayin mengedor-mengedor pintu.

    “Anong, Anong…!!! Cepatan deh, ada suara kaki itu lagi.” terdengar suara kak Ayin ketakutan.

    “Iya kak, tunggu bentar, “teriakku dari dalam kamar mandi kemudian keluar.

    “Ayo cepatan kita ke kamar lagi, kamu dengar kan suara langkah kaki itu lagi. Seperti mondar-mandir di pintu dapur.”

    “Iya kak, ayo ke kamar!”

    Suara langkah kaki itu seperti sedang menyeret sesuatu. Makin jelas ke arah dapur kak Ayin. Ketakutan ku kambuh lagi, aku menangis kedua kalinya malam ini. Kulihat kak Ayin juga menangis. Kami berpelukan sambil ketakutan.

    “Kak, Anong takut! Hik hik hik “

    “Sama dek, kakak juga. Kita berdoa lagi yuk!”

    Kami membaca ayat kursi sampai 3 kali barulah suara langkah kaki itu hilang. Aku dan kak Ayin mencoba untuk tidur lagi. Saking takutnya kami, adzan subuh tak terdengar sama sekali. Kami terbangun pukul 05.55 WIB, meskipun telat bangun, aku dan kak Ayin tetap pergi berwuddu dan melaksanakan salat subuh. Selesai salat subuh kami menunggu mentari agak tinggi dulu, untung saja hari ini jadwal mengawas ulangan kelas XI pada pukul 10.00 WIB.

    ***

    Saat hendak siap-siap ke sekolah ternyata soal ulangan untuk kelas XI ada di rumahku, kepanikan muncul luar biasa. Aku jadi gugup, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Aku teriak manggil kak Ayin dan itu membuatnya kaget setengah mati. Dikiranya aku diganggu setan.

    “Kaaakkk…!!! kaakkk Ayiiinn…!!! Aduh kak, soalnya ulangannya ada di rumah sebelah kak.” aku makin panik.

    “Ya Allah, Anong. Kakak kira ada apa? Kan ada datanya di sekolah.”

    “Aduh kak, kemaren tu Anong bilang ngeprint sendiri. Makanga data itu nggak Anong kasih ke sekolah.”

    “Astaga, gimana dong, dek?”

    “Kak, antarin ke rumah sebelah ya! Please, Anong nggak berani sendirian.”

    “Aduh dek, gimana ya, kakak masih ngeri keingatan yang tadi malam tuh.”

    “Ayo kak, kak, please lah kak!”

    “Hmmm… Yaudah ayo lah. Tapi kita berdoa dulu ya!”

    “Iya kak.”

    Selesai berdoa kami pun menuju rumahku yang memang jaraknya dibatasi oleh tembok aja. Saat membuka pintu rumah dan ternyata.

    “Astagafirllullah, Ya Allah, kak Ayiiiinnn..!!!”

    Selesai berdoa kami pun menuju rumahku yang memang jaraknya dibatasi oleh tembok aja. Saat membuka pintu rumah dan ternyata.

    “Astagafirllullah, Ya Allah, kak Ayiiiinnn..!!! Toloongg kaaakkk..!!!”

    “Ada apa, Anong, kok teriak?” yang pada saat aku berteriak kak Ayin sedang menggetek listrik karena tiba-tiba padam.

    “Kaakk… Kaak Inong. Lihat itu kak! Hik hik hik. Kenapa bisa begini kak?”

    Aku berteriak histeris karena melihat kak Inong bersibah darah, sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka.

    “Ya Allah, Inooongg…!!!Nong, Nong bangun!” kak Ayin menggerak-gerakkan badan kak Inong yang sudah tidak bernyawa lagi.

    “Kak, siapa yang tega berbuat seperti ini kak?” aku tertunduk lemas.

    “Dek, cepat kabarin Mamak dan Abah di kampung.”

    “Iya kak, kakak aja yang ngomong. Anong nggak kuat kak,” aku pun menangis karena sakit melihat kakakku sudah tidak bernyawa lagi.

    Aku mencoba menelepon Mamak dan Abah di kampung. Pantas saja nomor handphone kak Inong nggak aktif kalau ternyata orangnya sudah tiada begini. Kuambil handphonenya yang berserakan di lantai. Sambungan telepon dengan Mamak pun tersambung.

    “Assamualaikum, ada apa Anong? Mamak lagi masak buat nenek ini.”

    “Walaikumsalam Mak, kak Inong. Kak Inong, Mak. Huaaa… Hauaaa…,” aku nggak kuat menjelaskan pada Mamak.

    “Hallo, Anong. Kak Inong, kenapa nak?”

    “Sini dek, biar kakak yang ngomong,” kata kak Ayin.

    “Assamualaikum, ini Ayin, Mak.”

    “Walaikumsalam, Inong kenapa, Yin?”

    “Mamak dan Abah harus ke kota, Mak. Bilang sama bang Bagas juga. Inong, Mak. Inong udah tiada,” kak Ayin pun tak kuasa menahan air matanya.

    “Apa-apaan sih kalian berdua ni. Mamak bingung, jangan aneh-aneh ya!”

    “Ayin, serius Mak. Coba video call, Mak.”

    “Astagafirlullah, Abaaaahh… Ayo kita pulang. Lihat ini, Inong bah. Inong, kenapa bisa begini sih,” terdengar suara tangisan Mamak dari seberang sana.

    “Ada apa sih, Mak? Ya Allah, Bagaaaasss. Istrimu itu. Ya Allah, Ayin apa yang kalian lakukan?”

    “Kami nggak ada melakukan apa-apa, Bah. Pokoknya Mamak dan Abah cepat ke sini!”

    “Iya, kalian telepon polisi segera. Mamak, Abah dan Bagas segera ke sana!”

    Aku dan kak Ayin hanya bisa berpelukan dalam tangisan. Kulihat wajah kak Inong tidak bisa dikenalin, tapi aku kenal betul postur tubuhnya. Baju dinasnyalah yang membuatku yakin bahwa itu kak Inong.

    Kami hanya tertunduk lesu, apalagi keadaan rumah pun berantakan.

    Kucoba menelepon rumah sakit tempat kak Inong bekerja. Aku bertanya apakah kak Inong benar ada dinas sampai besok sore. Mereka bilang benar, menggantikan Tina yang izin pulang karena orang tuanya di kampung sakit. Tetapi, kak Inong izin pulang sekitar pukul 19.30 WIB. Sampai sekarang katanya belum balik, ditelepon nomornya nggak aktif. Aku mengatakan bahwa kak Inong ada di rumah dan sudah tidak bernyawa lagi, dengan keadaan yang mengerikan. Mereka yang di rumah sakit kaget dan tidak percaya.

    Pantas saja, wanita yang berdiri di jendela kamar Mamak tadi malam adalah kak Inong serta suara langkah kaki itu juga suara kaki kak Inong. Hanya saja kami seakan dibutakan telinga ini, tidak mendengar kalau kak Inong minta tolong.

    Polisi datang langsung mengevakuasi jenazah kak Inong. Aku dan kak Ayin hanya bisa menangis dan menangis melihat keadaan ini. Tidak berapa lama mobil Mamak dan Abah datang di depan rumah. Tetangga pada heboh, anehnya juga tetangga yang kami kira pulang kampung ternyata ada aja di rumah mereka. Semuanya pada kaget menyaksikan kejadian di rumah kami.

    Mamak berteriak histeris dan langsung pingsan, bang Bagas tertunduk lesu. Hanya Abah yang terlihat tabah. Nenek juga ikut datang, nenek hanya diam seribu kata melihat kejadian di rumah kami. Terlihat jelas nenek menangis tanpa suara. 3 hari setelah dievakuasi jenazah kak Inong pun dimakamkan di TPU km 12. Banyak saudara dan kawan-kawan kak Inong datang melayat, mereka semua tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Malam ke-7 setelah kak Inong dimakamkan, aku dan kak Ayin penasaran dengan apa yang terjadi di rumah kami.

    Kak Ayin punya teman yang punya kenalan orang pintar. Kami pun berangkat menuju rumah orang yang maksud. Saat sampai di rumah orang pintar tersebut, kami menjelaskan secara detail kejadian. Bahkan kejadian yang sudah sejak aku kuliah dulu sering melihat sosok wanita berambut panjang di kamar Mamak dan Abah. Orang pintar itu bilang sosok wanita yang kulihat memang ada sejak dulu di sana, karena rumah yang kami tepatin merupakan rumah peninggalan zaman Belanda.

    Rumah itu Abah beli saat aku SD kelas 1 dan Kak Inong SD kelas 6. Sebenarnya dulu sebelum kakek meninggal pernah berpesan agar kami pindah dari rumah itu, karena akan ada kejadian yang mengerikan. Mamak dan Abah tidak percaya, mereka bilang itu hanya takhayul saja. Mana ada setan di tengah kota.

    Apa yang kakek bilang terbukti, kak Inong memang sudah lama diincar sosok perempuan itu, katanya kak Inong dibunuh untuk dijadikan kawan, sebab perempuan itu merasa kesepian. Sosok perempuan tersebut adalah Noni Belanda yang saat hidup dulu tidak punya teman, diasingkan karena dianggap aneh oleh keluarganya.

    Rumah kami tersebut dulunya adalah gudang, dibangun perumahan oleh developer yang membeli tanah tersebut. Katanya kami harus ikhlas dan sabar menerima keadaan ini, tetapi kami juga harus pindah sebab sasaran berikutnya adalah aku dan kak Ayin. Kami mengucapkan terima kasih pada orang pintar tersebut dan pulang. Sesampai di rumah aku dan kak Ayin menceritakan hal ini pada Mamak dan Abah.

    Mereka awalnya tidak percaya, namun setelah kejadian di malam hari ke-100 kak Inong, Mamak bermimpi bertemu kak Inong. Kak Inong yang tampak sedih dan meminta Mamak dan Abah untuk pindah membawa aku pergi dari rumah itu, serta kak Ayin juga disuruh pindah. Kata kak Inong tidak ingin aku dijadikan sasaran juga. Kak Inong tidak ingin Mamak dan Abah kehilangan anaknya lagi, cukup kak Inong saja yang menjadi teman Noni Belanda tersebut.

    Bang Bagas sekarang pulang ke kampung orang tuanya, untuk menenangkan diri. 10 hari setelah Mamak mimpi bertemu kak Inong, kami pun pindah dari rumah yang penuh kenangan tersebut, kak Ayin juga disarankan pindah tetap memilih bertetangga dengan kami di komplek perumahan yang baru. Aku berharap di komplek perumahan yang baru ini, aku tidak melihat sesuatu yang mengerikan lagi. Aku takut dan kasihan pada Mamak dan Abah yang benar-benar terpukul dengan kejadian ini. Namun, kami tetap ikhlas dan tabah agar arwah kak Inong tenang di alam sana.

    ***

    Malam malam jumat di minggu pertama di rumah yang baru, saat aku pergi ke dapur karena tiba-tiba merasa haus sekali. Malam itu tepat pukul 23.00 WIB. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan melintas di hadapanku. Aku berteriak karena gelas yang kupegang jatuh dari tanganku dan kambuh lagi ketakutanku.

    “Astagfirullah, Mamaaakkk…!!!” teriakku histeris.

    The End

    ***

    Bionarasi:

    Image In5

    Penulis bernama Desi Safitri, S. Pd merupakan seorang guru Bahasa Indonesia di sekolah SMK Al Ishlah Kota Palangka Raya, Kalteng. Lahir pada tanggal 18 Juni 1992. Sudah menerbitkan sebanyak 11 buku, baik itu buku fiksi dan nonfiksi, berupa buku tunggal dan antologi, seperti buku cerpen, puisi, novel, dan artikel. Alamat media sosial penulis, facebook “Ming Ming Chy”.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita