| Penulis: Matius Mardani
Resensi Buku
Judul: Mengkhianati Keputusan Sendiri, Memoar Politik YTP: Refleksi Perikehidupan Politik Indonesia
Penulis: Dr. Yansen T.P., M.Si.
Penerbit: Buku Kompas, Jakarta
Tahun: 2022
Tebal: xlvi + 402 (448 hlm)
Ukuran: 15 cm x 23 cm
ISBN: 978-623-346-374-4
Pergulatan batin! Itu yang tersirat dalam karya ini. Sebuah pergulatan dengan diri sendiri. Antara keinginan dan kenyataan yang tak bisa diabaikan. Seorang pribadi yang selayaknya manusia biasa dan menjadi seorang pemimpin tentulah berbeda. Sebab pemimpin sejati melihat siapa yang dipimpinnya. Kisah dalam karya ini melukiskan perjalanan hidup yang pada akhirnya membawa pada satu titik, apa yang disebut kepemimpinan melalui panggung politik. Walaupun begitu karya ini bukan sebuah novel yang penuh imajinasi. Lebih menggambarkan perjalanan hidup seorang Yansen T.P yang menjadikannya pemimpin berpengalaman bagaimana membangun masyarakat.
Hidup sebagai sebuah kesempatan
Membaca dari halaman pertama, kita akan disuguhkan seperti apa sosok Yansen T.P sebagai manusia yang menjalani kehidupan sesuai dengan kesempatan yang berikan oleh pencipta-Nya. Yansen memahami konsep kesempatan dalam tiga konsep sifat manusia, yakni: Manusia yang banyak “tahu”, manusia yang bisa “kerjakan” apa yang dia tahu, dan manusia yang bisa “jadikan” apa yang dia tahun dan dia kerjakan hinga menjadi sesuatu yang bermanfaat dan berdaya guna bagi kehidupan (halaman 24). Tanpa disadari “ramalan tentang orang besar” itu terwujud nyata.
“Kesempatan” yang dijalaninya melahirkan tawaran kesempatan dari luar dirinya seperti, keinginan masyarakat hingga pimpinan partai politik. Maka halaman berikutnya kita akan disuguhkan topik politik sebagai topik utama, secara khusus dibahas dalam bab 2 hingga bab 4.
Politik sebagai cara menjalani kesempatan
Ia memulainya dengan belajar etika dan politik sebagai dasar perilaku seorang politikus. Buku politik yang berpengaruh adalah gurunya, seperti karya Nicollo’ Machiavelli. Ini menunjukkan Yansen sebagai seorang pembelajar yang memang telah diajarkan dan “didoktrin” oleh keluarga terutama ayahandanya.
Pengaruh jalan pikir dan perilaku politiknya juga ia pelajari dari tokoh idolanya termasuk Mahatma Gandhi dengan konsep ahimsa-nya. Ahimsa fokus pada kepentingan banyak orang, selfless (halaman 128). Ia mengakuinya, sadar tidak sadar, ahimsa dan bukan jalan kekerasan (nonviolence) dari Gandhi saya terapkan setiap hari (halaman 129). Selain itu, Gus dur sebagai bapak plurarlisme dan guru bangsa yang menjadi panutan dalam konsep berpolitik di Indonesia dengan masyarakatnya pluralis.
Namun memahami konsep saja tidaklah cukup berpolitik juga perlu strategi, menguasai teknik perang dalam dunia demokrasi harus dilakukan dengan belajar banyak tentang ilmu dan strategi perang. Strategi perang yang cukup terkenal memberi inspirasi bagi banyak orang, termasuk saya, terdapat dalam buku The Art of War karya Sun Tzu (halaman 140). Dalam konteks politik di Indonesia politik harus dibangun berdasarkan nilai agama yang tinggi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kemenangan politik adalah sebuah upaya dalam proses membangun rakyat (halaman 149).
Sebagai kendaraan politik ia berlabuh dalam kapal partai Demokrat. Ia menjadi seorang demokrat sejati dengan sikap tidak menghalalkan segala cara, dan mampu menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok Etnis dan politik identitas. Meski dalam politik nasional partainya sebagai oposisi namun ia konsisten menjaga dan merawat kebhinnekaan. Untuk itu, ia menyadari penting komunikasi politik dengan prinsip tujuh nilai integritas (seven values).
Lalu, dimana letak pengkhianatannya toh nampak semua baik-baik saja. Selama karirnya ia merupakan seorang birokrat. Politik adalah pilihan yang kemudian dia sebutnya sebagai “pengkhianatan” karena janjinya cukup sampai disini, birokrat! Tak heran kalau sebenarnya pengkhianatan itu terjadi hingga tiga kali. Namun jelas dorongan kuatnya berkhianat, karena khawatir dan wawas dengan arah pembangunan Kaltara yang tidak menentu (halaman 337). Dan pengkhianatan itu pun mendapat restu dari keluarga dengan mendukung keputusannya. Politik sebagai cara menjalani kesempatan maka tindakan “berkhianat” bukan untuk merugikan orang lain tetapi justru sebaliknya.
Akhirnya, kesempatan itu dia ambil dan demi membangun Kaltara, Yansen “berkhianat”. Walau apa yang sebelumnya ia lakukan juga sudah bentuk pengabdian dan perjuangan membangun masyarakat Kaltara, khususnya Kabupaten Malinau.
Karya yang sangat menarik untuk belajar bagaimana berpolitik dan menjadi pemimpin yang baik. Unsur pemikiran politik yang sehat menjadi sangat dominan dalam karya ini. Namun demikian, untuk pembaca yang memiliki pilihan terhadap partai politik tertentu yang berbeda dengan pilihan sang sosok tentu bisa tidak obyektif mencerna karya ini. Oleh karena itu, membaca karya ini perlu menempatkan diri sebagai seorang yang netral melihat perjalanan politik seseorang.
***
Bionarasi
Matius Mardani, S.Pd.K. dilahirkan di Kadipiro, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada 23 Januari 1986. Guru di Sekolah Kristen Kalam Kudus Jakarta.
Selain sebagai guru, bergiat di sebuah lembaga gerakan literasi nasional, yakni 3.1 Creative Writing bersama Paran Sakiu dan Penerbit sekaligus penulis profesional, R. Masri Sareb Putra.
Telah Menerbitkan buku: Guru dan Perannya Menumbuhkembangkan Habitut Baca di Kalangan Siswa (2019).