| Penulis: R. Masri Sareb Putra, M.A
Saya belum menemukan serapan patah kata itu dalam kosa kata Indonesia. Asli Ingris-nya “feudatory”, yang dirumuskan sebagai konsep di dalam bentukan adjective-nya: owing feudal allegiance to. Sedangkan sebagai noun, dengan contoh: a person who holds land under the conditions of the feudal system.
Berdasarkan rumusan, misal: History –> histori; saya mengindonesiakannya menjadi: feudatori.
Istilah ini, muncul dalam praktik di sejarah Borneo, bagaimana para penguasa Borneo di kemudian hari adalah feudatori kerajaan Majapahit di Jawa Timur (sekitar 1293–1520).
Dengan kedatangan Islam pada awal abad ke-16, sejumlah kerajaan Islam didirikan, termasuk Banjarmasin, Sambas, Sukadana, Mempawah, Landak, Sanggau, Sekadau, dan Sintang. Para penguasa Sukadana (kemudian Sanggau dari Sukadana ini dan juga Ndai Abang, tokoh Ketungau Tesaek) berutang budi pada kerajaan Mataram yang dipengaruhi Islam di Jawa.
Saya tengah merajut sejarah klan Ketungau Tesaek, subrumpun Ibanik. Bertemu naskah-naskah kuna, dan coba merajutnya, sedemikian rupa, menjadi semacam sejarah. Bagai main puzzle.
Tahap heruistik sudah dilakukan. Untungnya, ada alat-alat bantu sejarah.
Saya kesulitan menemukan sepatah kata saja istilah Indonesia untuk “feudatori” ini. Sebagai penulis, sesekali berada selangkah di depan Khalayak.
Sekaligus, rekam jejak digital bahwa pada tanggal, bulan, dan tahun ini saya memperkenalkan istilah tersebut.
Kini tahap Interpretasi/ penafsiran. Dan memanglah. Yang namanya “sejarah” itu sarat-muatan dengan penafsiran, yang penting jujur dan tunduk pada sumber. Dalam hal ini, apa yang disebut “vorurteil”, pengetahuan dan pengalaman penulis, amat sangat: mewarnai.
***
Dalam perspektif sejarah dan feudatori inilah kemudian, kita berjumpa dengan kisah sekaligus legenda Ndai Abang. Bagaimana pemimpin perempuan orang Ketungau Tesaek ini berjumpa pada suatu ketika dengan putri yang dikisahkan tersesat di lautan, dan pada akhirnya menuju muara sealir sungai yang kemudian dikenal dengan Sungai Kapuas.
Di sana putri kerajaan Majapahit menambatkan kapalnya dan berelasi serta berkomunikasi dengan penduduk lokal Borneo.
Peristiwanya berlangsung sirka pada masa peralihan pengaruh Hindu ke Islam, sebab diketahui bahwa Dara Nante, asal Sukadana (dekat Labai Lawai yang ditengarai asal Ndai abang dan klan Ketungau Tesaek), pada waktu itu telah dipengaruhi oleh Islam.
Tanpa masuk jauh ke alam masa lampau feudatori ini, tidak mungkin memahami tali-temali migrasi Ndai Abang sampai ke Sekadau, Ketungau Tesaek, dan kemudian sebagian ke sungai Ketungau.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.