
Samarinda, detikborneo.com — Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) menggelar Kongres Nasional XXXIX pada 16–25 Mei 2025 di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Kongres ini menjadi momentum penting dalam sejarah perjalanan organisasi, menjadi yang ketiga kalinya digelar di Pulau Kalimantan, setelah sebelumnya dilaksanakan di Palangkaraya (1986) dan Pontianak (2014).
Kongres yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi ini dihadiri oleh utusan-utusan cabang GMKI dari seluruh Indonesia. Mereka membawa kemajemukan dari berbagai daerah, suku, gereja, dan perguruan tinggi, mencerminkan wajah Indonesia dalam keberagaman.
Dalam semangat kehidupan masyarakat Dayak, pelaksanaan Kongres kali ini mengambil inspirasi dari filosofi rumah betang, sebuah simbol kebersamaan, gotong royong, dan toleransi. GMKI berharap seluruh peserta hadir sebagai satu keluarga besar yang hidup dalam persaudaraan dan persekutuan, sesuai dengan motto organisasi: Ut Omnes Unum Sint — “Agar Mereka Semua Menjadi Satu.”

Menjawab Tantangan Internal dan Eksternal
GMKI tidak menutup mata terhadap berbagai dinamika yang melanda organisasi. Konflik internal pasca kongres dan konferensi cabang, hingga tantangan eksternal seperti korupsi, krisis lingkungan, diskriminasi pendirian rumah ibadah, hingga ketimpangan demokrasi, menjadi bagian dari perenungan dalam kongres ini.
Sebagaimana pesan pendiri GMKI, Johannes Leimena, kader-kader GMKI harus menjadi warga negara yang bertanggung jawab—memuji pemerintah atas keberhasilan dan menyuarakan kritik secara legal atas kegagalannya. Kongres kali ini menjadi ruang refleksi sekaligus perumusan solusi yang membumi, kritis, dan relevan.
Tiga Sifat GMKI: Mahasiswa, Kristen, Indonesia
Kongres ini juga menjadi ajang evaluasi dan pembaruan diri bagi GMKI agar tetap setia pada jati dirinya: mahasiswa yang berpikir kritis dan membangun, Kristen yang saleh sekaligus berpihak pada keadilan, serta warga negara yang nasionalis dan penuh kasih.
Kader GMKI diharapkan menjadi benih unggul dalam segala bidang kehidupan: sebagai jaksa yang adil, dokter yang melayani dengan kasih, pendeta yang menyampaikan kebenaran, hingga pemimpin yang mengutamakan kepentingan bersama. Etos kerja, disiplin, kesederhanaan, dan pelayanan menjadi nilai-nilai yang dihidupi dan ditumbuhkan.
Kritik dan Harapan: Kongres Harus Menjadi Solusi, Bukan Masalah
Realita yang tak terhindarkan, selama ini pelaksanaan Kongres GMKI kerap terjebak dalam konflik kepentingan. Proses pemilihan lebih menonjol daripada pembahasan program. Praktik manipulasi dan perebutan kekuasaan menjadi tantangan serius. Namun, Kongres XXXIX ini diharapkan mampu menjadi tonggak perubahan.
Suasana persidangan idealnya diliputi damai sejahtera, kasih, dan kesediaan untuk saling mendengarkan. Interupsi yang penuh amarah digantikan dengan diskusi yang penuh empati. Persidangan yang tenang dan produktif menjadi refleksi spiritualitas kader GMKI yang matang.
Isu Lingkungan dan Masa Depan GMKI
Sebagai bentuk tanggung jawab kontekstual, GMKI perlu memberikan perhatian khusus terhadap isu lingkungan di Kalimantan, yang dikenal sebagai benteng terakhir ekosistem tropis Indonesia. Eksploitasi alam yang masif harus diimbangi dengan kesadaran ekologis dan teologi lingkungan hidup yang kuat.
Kehadiran GMKI di tengah masyarakat, gereja, dan perguruan tinggi harus menjadi garam dan terang. Tugas kesaksian dan pelayanan harus menyentuh akar persoalan dan membawa transformasi. GMKI harus menjadi ujung tombak pelayanan gereja yang holistik dan berdampak.
Selamat Berkongres
Kongres GMKI XXXIX di Samarinda menjadi harapan baru bagi terwujudnya organisasi yang lebih dewasa, inklusif, dan berdampak. Semoga seluruh rangkaian kongres berlangsung dalam sukacita, kebersamaan, dan menghasilkan keputusan-keputusan yang membawa kabar baik bagi organisasi dan bangsa. (Rd)