Penulis | Eci Dwi Hartati, S.Th.
Jakarta, detikborneo.com – Banyak upaya dilakukan pemerintah dalam meningkatkan mutu Pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya tersebut berupa revisi kurikulum. Sampai sebelum pandemi covid-19, berlaku kurikulum 2013. Kemudian pada tahun 2020 sampai 2021, kemdikbud menyederhanakan kurikulum 2013 menjadi kurikulum darurat sehingga berlaku kurikulum 2013 dan kurikulum darurat.
Selanjutnya pada tahun 2021 sampai 2022 Kemdikbud mengeluarkan kebijakan menerapkan kurikulum merdeka di Sekolah Penggerak (SP) dan SMK Pusat Keunggulan (PK). Dengan demikian, sampai tahun 2022 ada tiga jenis kurikulum yaitu kurikulum 2013, kurikulum darurat, dan kurikulum merdeka. Ketiga kurikulum tersebut bersifat pilihan. Artinya setiap satuan Pendidikan bebas untuk memilih kurikulum mana saja yang ingin diterapkan.
Bagi yang memilih kurikulum merdeka, ada tiga juga kategori implementasinya yaitu kategori mandiri belajar, kategori mandiri berubah, dan kategori mandiri berbagi. Pada kategori mandiri belajar, satuan Pendidikan diminta menerapkan beberapa bagian dan prinsip kurikulum merdeka dengan tetap menggunakan kurikulum 2013.
Sementara itu, kategori mandiri berubah, pendidik sudah menerapkan perangkat ajar jenjang PAUD, Kelas 1, 4, 7, dan kelas 10. Berbeda dengan sebelumnya, kategori mandiri berbagi menuntut kreativitas satuan Pendidikan untuk mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar pada jenjang PAUD, Kelas 1,4,7, dan kelas 10. Dalam penerapannya lebih berpusat kepada penguatan komunitas belajar bagi pendidik dan satuan Pendidikan. Fleksibelitas yang terukur dan didukung teknologi seperti Platform merdeka mengajar dan Belajar. Id menjadi aspek penting dalam kurikulum merdeka.
Dengan membatinkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum merdeka menjawab pertanyaan, “bagaimana belajar dan mengajar?” jika ini benar, maka kurikulum merdeka belum menjawab persoalan fundamental bangsa Indonesia. Pertanyaan mendasar yang diperlukan untuk negeri ini ialah apa yang dipelajari dan diajarkan? Pertanyaan ini menjadi penting karena ini:
- Karakter para penghuni negeri ini umumnya sedang keropos. Bahkan keroposnya justru pada tiang-tiang penyangga bangsa. Indikasinya dapat disebutkan beberapa hal saja. Misalnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan oleh rakyat jelata, melainkan oleh kebanyakan para oknum pejabat ternama. Iwan Fals menyebutnya sebagai “tikus-tikus kantor”.
Bahkan praktik korupsi terjadi di lingkungan instansi-instansi terpenting di negeri ini seperti oleh oknum-oknum yang bekerja di lembaga Pendidikan, kepolisian, lembaga eksekutif, legislatif, dan Lembaga Yudikatif. Kasus lainnya ialah KDRT, perselingkuhan, cerai dan kawin lagi, perdagangan orang, penyalahgunaan narkoba, pelecehan dan kekerasan seksual. Bahkan pelecehan seksual tidak jarang dilakukan oleh oknum-oknum yang seharusnya mengayomi/melindungi anak-anak seperti orang tua, tokoh agama, tenaga pendidik (guru atau dosen), polisi. Istilah oknum perlu ditekankan karena tidak sedikit juga diantara mereka yang berkarakter luhur. - Generasi kita sedang berada dalam rumah yang kerapuhan atau keropos seperti itu. Mereka sedang kehilangan keteladanan karakter baik. Mereka pada akhirnya bukan saja generasi kurang aman, tetapi juga generasi yang sedang belajar dari sumber belajar yang rapuh, busuk, ternoda. Mereka sedang belajar moral dari orang-orang yang kurang bermoral. Mereka sedang belajar keteladanan dari orang-orang yang tidak layak diteladani. Namun bagaimana pun, masyarakat dan keluarga merupakan lingkungan yang sekaligus menjadi sumber belajar mereka.
Pertanyaannya Pendidikan seperti apa dan/atau kurikulum seperti apa yang diperlukan dalam konteks krisis moral/krisis karakter/krisis keteladanan sebagaimana dijelaskan di atas. Pendidikan karakter merupakan suatu keharusan, tetapi bagaimana? Kurikulumnya bagaimana? Sebab yang harus belajar karakter bukan hanya peserta didik, melainkan para pendidik dan kaum elit sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Itu berarti amat penting mendesain pendidikan nasional umumnya dan kurikulum khususnya yang terintegrasi dengan kehidupan nyata (Pendidikan karakter berdasarkan dan/atau melalui pengalaman). Bukan sekedar platfom pembelajarannya, melainkan konten/isi pembelajarannya yang paling diperlukan. Bukan hanya kemampuan berpikir tingkat tinggi, tetapi karakter/perilaku/budi pekerti tingkat tinggi yang diperlukan di negeri ini.
Seorang pendidik dan kaum elit/pejabat/tokoh masyarakat bukan sekedar pintar mengajar/melatih/membina, melainkan sudah memastikan bahwa dia sudah melakukan apa yang dia ajarkan/dia latih/dia bina. Itulah karakter berintegritas yakni melakukan apa yang dia katakan dan mengatakan apa yang dia lakukan.