| Fransiskus Gregorius Nyaming
Peradaban modern harus kita akui telah banyak mendatangkan banyak manfaat dan kemudahan bagi hidup kita manusia. Kemajuan dalam bidang transportasi dan komunikasi merupakan contoh nyatanya.
Akan tetapi, kemajuan tersebut juga kerap kali menimbulkan keresahan dan kegelisahan. Salah satu dampak yang cukup meresahkan ialah tergerusnya tradisi dan budaya lokal yang dulu pernah hidup dalam sebuah komunitas adat. Hilangnya permainan-permainan tradisional dari ruang bermain anak-anak adalah contohnya.
Ada yang sudah tergerus oleh zaman, tapi syukur ada juga yang masih tetap bertahan. Dalam masyarakat Dayak Desa, salah satu kearifan lokal yang sampai hari ini masih bertahan ialah ngelepak jalai.
***
Apa itu ngelepak jalai? Ngelepak jalai kurang lebih dapat diartikan sebagai tindakan “menandai jalan”. Dengan apa? Dengan menggunakan ranting berdaun.
Salah satu contoh aktivitas komunal masyarakat Dayak Desa di mana kearifan lokal ini biasa dihadirkan ialah dalam aktivitas mansai (menangguk) ikan dan udang di sungai.
Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Dayak Desa, khususnya ketika musim kemarau tiba, mengadakan mansai raya.
Di kampung saya sendiri ada dua (2) buah sungai yang selalu menjadi lokasi bagi warga untuk mansai: Sungai Lalau dan Sungai Raya. Letak kedua sungai ini cukup jauh dari perkampungan.
Ketika penduduk bepekat, bermufakat untuk mansai, harus ditentukan di sungai mana mereka akan mansai. Hasil dari permufakatan itu haruslah diinformasikan kepada semua penduduk agar mereka tahu ke sungai mana mereka akan melangkahkan kaki.
Apabila tempat untuk mansai sudah ditentukan, maka sangat dianjurkan agar siapa saja yang mau ikut, sedapat mungkin berangkatnya bersama dengan rombongan supaya tidak tersesat.
Anjuran tersebut diberikan mengingat ada banyak persimpangan jalan yang dapat membingungkan warga untuk bisa sampai ke tempat tujuan mansai.
Karena satu dan lain alasan, tentu saja tidak semua orang bisa mengikuti anjuran tersebut. Dalam situasi inilah, mereka yang berangkat terlebih dahulu akan ngelepak jalai untuk saudara-saudari mereka yang akan berangkat belakangan.
Caranya cukup dengan menandai dengan ranting berdaun setiap persimpangan jalan setapak yang tidak mengarah ke lokasi dilaksanakannya mansai.
Dengan adanya tanda tersebut, mereka yang berangkat belakangan tidak perlu merasa khawatir akan tersesat. Bila mereka teliti memperhatikannya, mereka akan sampai di lokasi mansai dengan selamat dan bisa bergabung dengan saudari-saudarinya yang lain untuk bersuka cita menangguk ikan dan udang.
Tindakan ngelepak jalai ini tidak hanya dilakukan oleh warga dalam aktivitas mansai. Ketika warga pergi ke hutan rimba untuk berburu dan sebagainya, mereka juga akan mematahkan sebanyak mungkin ranting pada setiap jalan yang telah mereka lewati.
Tujuannya ialah untuk memastikan bahwa saat nanti kembali pulang, mereka akan melewati jalan yang sama.
Jika selama dalam perjalanan pulang, mereka tidak menemukan ranting-ranting yang tadinya sudah dipatahkan, kemungkinan besar mereka sedang tersesat.
***
Begitulah nenek moyag zaman dulu mewariskan sebuah kearifan yang sangat bermanfaat bagi hidup berkomunitas. Dengan menciptakan kearifan lokal ini, para leluhur tidak hanya menginginkan agar sesama anggota komunitas tidak tersesat ketika berada di dalam hutan. Lebih dari itu, mereka ingin mengingatkan dan mengajarkan satu hal yang sangat penting kepada anak cucu mereka. Yakni, supaya selalu saling menjaga dan melindungi satu sama lain.
***
Sumber ilustrasi: indosurvival.com
***
Bionarasi
Fransiskus Gregorius Nyaming, dilahirkan di Medang, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada 17 Agustus 1984.
Seorang Pastor Katolik. Sedang menempuh studi program doktoral jurusan Teologi Dogmatik di Universitas Katolik St. Paus Yohanes Paulus II Lublin, Polandia